Pekanbaru, (ANTARA) - Gejolak aksi mengecam tindak kekerasan terhadap wartawan mencapai puncaknya, ketika peristiwa penganiayaan terhadap sejumlah jurnalis menodai perjuangan si juru kunci gerbang informasi tersebut.
Peristiwa yang sangat disayangkan itu terjadi ketika kaum pers mengejar nalurinya yang menggebu saat pesawat tempur Superhawk 200 milik TNI Angkatan Udara (AU) yang dipiloti oleh Letnan Dua (Letda) Penerbang Reza Yori kehilangan kendali hingga terhempas dan meledak di sekitar permukiman warga Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Riau, Selasa (16/10).
Pada peristiwa ini tidak ada korban jiwa, namun sejumlah wartawan yang melakukan peliputan di sekitar lokasi insiden, mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari beberapa prajurit bahkan seorang di antaranya merupakan perwira berpangkat Letnan Kolonel (Letkol) Penerbangan.
Didik Herwanto misalnya, seorang fotografer salah satu media cetak lokal di Riau ini harus menderita luka memar di bagian wajah sebelah kirinya setelah mendapat pukulan telak yang diduga dari seorang perwira TNI AU yang tengah berjaga-jaga di 'bangkai' pesawat tempur naas itu. Bahkan ia harus rela kehilangan satu unit kamera foto Cannon EOS 7D yang diduga dirampas oleh anggota TNI tanpa alasan yang jelas.
Kemudian ada pula seorang pewarta Kantor Berita ANTARA, Rian FB Anggoro. Di lokasi yang sama, pria berpostur tubuh atletis ini juga harus rela menerima keberingasan prajurit dengan ditendang, dan dipukul hingga membuat wajahnya juga mengalami memar. Lagi-lagi, kamera foto yang ditentengnya, merk Nikon D300s juga dirampas oleh seorang prajurit yang diduga anggota paskhas, termasuk kaca matanya pun turut hilang.
Selain dua pewarta tersebut, sejumlah pewarta lainnya juga mengalami perlakuan sama. Tindak penganiayaan bahkan dilakukan oknum TNI AU yang menjaga 'bangkai' pesawat naas terhadap sejumlah warga yang mencoba untuk mengabadikan peristiwa itu dengan menggunakan kamera ataupun 'handphone'.
Rentetan tindak kekerasan itu memaksa beberapa jurnalis untuk membuat laporan resmi ke Polisi Militer (POM) TNI AU yang berlokasi di kompleks Kantor Satuan Polisi Militer Lanud Roesmin Nurjadin Pekanbaru.
<b>Unjuk Rasa</b>
Puncaknya terjadi pada Rabu (17/10), di mana berbagai komunitas pers yang tergabung dalam sejumlah organisasi pers mulai dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI) serta Pewarta Foto Indonesia (PFI) dan sejumlah oranisasi per lainnya menggelar aksi unjuk rasa.
Aksi solidaritas mengecam kekerasan terhadap wartawan ini bahkan digelar di hampir seluruh wilayah Tanah Air.
Ragam cara dilakukan oleh kalangan pers di nusantara untuk menentang tindak kekerasan dari orang-orang yang berani mengusik kebebasan jurnalis dalam menjalankan amanah tugas sebagai 'juru kunci' jendela informasi bagi masyarakat.
Seperti di Padang, Sumatra Barat, puluhan wartawan menggelar aksi solidaritas mengecam tindak kekerasan terhadap pers dengan memusatkan aksi di bundaran Simpang Haru (Tugu Api) sambil menyuarakan tuntutan terhadap proses hukum pada oknum TNI-AU yang melakukan tindak kekerasan tersebut.
Para wartawan Padang juga melakukan aksi mencopot atribut jurnalistik mereka sebagai bentuk matinya kebebasan pers. Tidak hanya itu, aksi membubuhkan tanda tangan di kain putih juga dilakukan.
Tanda tangan yang ada di kain putih dalam aksi tersebut kemudian dibawa puluhan wartawan ke Lanud Tabing dan kemudian diserahkan kepada pihak TNI-AU sebagai bentuk protes atas kekerasan yang menimpa rekan media di Riau.
Koordinator Aksi Koalisi Wartawan Anti Kekerasan (KWAK) Afriyandi di Padang mengatakan, aksi solidaritas itu sebagai bentuk simpati terhadap kekerasan yang dialami wartawan di Riau.
"Tindakan tersebut sudah jelas merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 02 KUHP Jo Pasal 351 ayat (2), Pasal 170 KUHP, Pasal 406 KUHP, serta melanggar ketentuan Pasal 04 ayat (2) dan (3) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelanggaran penyiaran. Hal itulah yang tidak diindahkan oleh oknum terkait," katanya.
Sementara di Kota Palu, puluhan jurnalis juga menggelar aksi pengecaman kekerasan yang dilakukan aparat terhadap wartawan serta mengancam akan memboikot peliputan setiap acara yang dilakukan TNI AU.
Ketua Pewarta Foto Indonesia (PFI) Sulawesi Tengah Basri Marzuki di Palu mengatakan, boikot itu akan dilakukan hingga oknum anggota TNI AU itu meminta maaf melalui media cetak dan media elektronik.
Kemudian, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Manado juga turut menggelar unjuk rasa damai yang dipusatkan di tugu 'zero point' yang berada di pusat Kota Manado.
Dalam aksi tersebut, para wartawan membawa spanduk dengan berbagai ukuran yang bertuliskan antara lain "Stop kekerasan terhadap jurnalis" dan "Kecam aksi premanisme oknum TNI.
Di hari yang sama, Rabu (17/10), puluhan wartawan di Jawa Barat dari media cetak dan elektronik juga melakukan aksi di Lapangan Udara (Lanud) Wiriadinata, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Aksi wartawan yang tergabung dalam solidaritas jurnalis wilayah tugas Kota/Kabupaten Tasikmalaya dan Ciamis itu, mengecam tindakan oknum aparat TNI AU yang melakukan tindakan penganiayaan terhadap wartawan di Pekanbaru.
Aksi-aksi serupa, yakni mengecam tindak kekerasan terhadap wartawan Riau oleh oknum TNI AU juga 'mengobar' di sejumlah wilayah lainnya di berbagai penjuru Tanah Air, termasuk Aceh, Sumatra Utara, Kalimantan, dan sejumlah wilayah lainnya di Pulau Sulawesi.
<b>"TNI Bukan Preman"</b>
Tidak ketinggalan, kalangan pers di Ibukota Riau, Pekanbaru, juga menggencarkan aksi turun ke jalan, dengan seruan "TNI Bukan Preman, TNI Kok' Sadis".
Massa pers di Pekanbaru bahkan bergerak ke Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau yang berlokasi di Jalan Sudirman, Pekanbaru, meminta agar para wakil rakyat segera memanggil Danlanud Pekanbaru Kolonel Bowo Budiarto guna mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahnya.
"TNI Bukan Preman, TNI Kok' Sadis," dua kalimat tersebut juga tertulis dalam sejumlah poster yang dibawa oleh massa pengunjuk rasa.
Dalam orasinya, awak media juga meminta agar anggota legislatif segera menyidang secara terbuka Komandan Lanud Pekanbaru guna mempertanggungjawabkan perbuatan anak buahnya yang telah terbukti melakukan kekerasan terhadap wartawan.
Sejumlah anggota DPRD Riau menyambut kedatangan wartawan dan berjanji akan memenuhi tuntutan wartawan.
Aksi unjuk rasa kawanan awak media menyertakan sebanyak lima organisasi mulai dari PWI, Solidaritas Wartawan (Sowat), Pewarta Foto Indonesia (PFI), Ikatan Jurnalistik Televisi (IJTi) dan AJI Riau menggelar aksi unjuk rasa dengan melibatkan puluhan wartawan mengecam tindak kekerasan oleh oknum TNI AU terhadap pers.
Aksi unjuk rasa yang melibatkan puluhan wartawan dari berbagai media cetak, elektronik dan online tersebut pertama kali dilakukan di bundaran Jalan Sudirman tepatnya di bawah tugu Zapin, dan kemudian dilanjutkan ke Gedung DPRD Riau.
Sementara di Ibukota Negara, Jakarta, sejumlah pakar dan pengamat jurnalis juga turut mengecam aksi kekerasan terhadap wartawan dengan ragam pendapat.
Ketua DPR RI Marzuki Alie menyayangkan tindakan perwira TNI AU yang menganiaya wartawan saat meliput peristiwa jatuhnya pesawat tempur jenis Hawk 200 di Kabupaten Kampar, Riau.
Menurut dia, kekerasan yang dilakukan anggota TNI AU tersebut tidak bijaksana dan tidak pantas terjadi.
Kemudian Ketua Aliansi Rakyat Untuk Perubahan, Rizal Ramli, yang melontarkan komentar mendesak agar tindak kekerasan terhadap pers dihentikan.
<b>Minta Maaf</b>
Gejolak 'hati yang tersinggung' kalangan pers kian menggebu ibarat kupu-kupu yang menjadi hama kian mewabah, hingga menyudutkan citra TNI AU yang pada akhirnya melontarkan kalimat berulang berbunyi satu kata, "Maaf".
TNI Angkatan Udara menyampaikan permintaan maaf atas terjadinya pemukulan terhadap wartawan yang tengah meliput berita setelah jatuh pesawat Superhawk beberapa kilometer dari landasan udara Rusmin Nurdjadin di Siak Hulu Kabupaten Kampar, Riau.
"Kami dengan ini atas nama TNI AU meminta maaf kepada rekan-rekan media atas kejadian tersebut," kata Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama Azman Yunus.
Azman menduga aparat jengkel kepada warga dan wartawan yang sudah mengerumuni lokasi kecelakaan padahal hal itu sangat berbahaya.
"Perwira di lokasi mengatakan kepada saya, tim penolong yang hendak ke lokasi sulit karena terhalang massa. Nah insiden ini mungkin terjadi karena aparat kalut memikirkan nasib penerbang yang diduga masih ada dalam pesawat," kata Azman.
Perwira yang dimaksud, Penerbang Reza Yori Prasetyo, ternyata selamat karena sudah lebih dulu menggunakan kursi pelontar saat pesawat hendak jatuh.
Pernyataan maaf juga dilontarkan oleh pelaku penganiayaan terhadap wartawan, Letkol Robert Simanjuntak.
Perwira TNI AU ini menyampaikan permintaan maaf atas tindakan yang tidak terpuji, yaitu melakukan penganiayaan pada wartawan yang tengah meliput. Perwira menengah TNI Angkatan Udara itu mengaku khilaf saat melakukan kekerasan itu.
Robert adalah perwira TNI AU yang melakukan pemukulan terhadap Didik, wartawan media cetak di Riau, sesaat setelah pesawat tempur Superhawk 200 jatuh.
Sebelumnya, tindakan kekerasan terhadap insan pers yang tengah bertugas juga banyak terjadi di berbagai daerah. Pelakunya pun beragam, mulai dari oknum anggota polisi, tentara, Sarpol PP, dan preman yang mungkin dibayar untuk itu.
Semuanya menggambarkan bahwa kebebasan pers yang sebetulnya dijamin oleh undang-undang, masih kerap menghadapi sandungan. (*)