Painan (ANTARA) -
Menarik untuk menyimak kolom komentar pada salah satu media cetak Harian di Sumbar, pada 3 November 2022, ditulis salah seorang wartawan senior dengan judul "Serapan APBD Rendah, Pemprov Sumbar Lemah?".
Wartawan senior media harian itu mengulik dengan runut realisasi belanja APBD Provinsi Sumbar yang masih rendah yakni pada kisaran 58% termasuk 10 daerah terendah di Indonesia.
Sementara itu menurutnya, dengan sisa 2 bulan hingga tutup tahun anggaran 2022, justru membuatnya kuatir anggaran yang sudah direncanakan tidak terserap maksimal dan menjadi preseden buruk.
Disamping itu dengan rendahnya serapan belanja tersebut maka perputaran roda ekonomi juga mandek dan tersendat.
Apa yang dikuatirkan tersebut cukup beralasan, namun perlu juga dikuliti sehingga persoalan itu bisa didudukkan secara proporsional dan pada kesempatan ini penulis akan coba bahas dari perspektif struktur APBD dan pola pengelolaan keuangan daerah.
Sebelum dibahas lebih jauh maka terkait dengan serapan APBD yang rendah bahkan berulangkali disentil oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, terakhir Mantan Direktur World Bank itu mencatat anggaran daerah yang parkir di bank sebesar Rp. 212 triliun. Penyumbang terbesar adalah Pemprov Jawa Timur hampir Rp22,04 triliun (sumber : kumparan).
Data terakhir yang dirilis oleh djpk.kemenkeu.go.id terkait realisasi belanja dapat penulis sampaikan bahwa hingga 2 November 2022 dari 19 kabupaten/kota plus Pemprov Sumbar yang realisasi belanjanya 58 persen, maka kabupaten/kota yang serapannya paling tinggi adalah Kabupaten Tanah Datar 72,14%, dan urutan berikutnya Kabupaten Pesisir Selatan 71,12% dan urutan ketiga tertinggi Kabupaten Padang Pariaman 69,68%.
Sementara 3 kabupaten/kota terbawah realisasi belanjanya adalah Kab. Sijunjung, Kab. Solok dan Kab. Kepulauan Mentawai masing-masing pada kisaran 53%.
Lalu dengan realisasi belanja yang masih rendah itu, apakah dengan sisa waktu yang kasip daerah dapat membelanjakan uangnya?.
Sebelum sampai pada kesimpulan, maka perlu kita pahami dulu struktur belanja yang ada dalam APBD. Sehingga nanti akan jelas penyumbang tertinggi porsentase belanja, karena tidak bisa pukul rata.
Secara sederhana belanja dalam APBD ada 4 onggok besar; belanja operasional, belanja modal, belanja tidak terduga, dan belanja transfer.
Dari keempat katakanlah jenis belanja itu, maka belanja operasional karena didalamnya ada belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta ada belanja hibah dan bansos maka serapannya lebih tinggi sesuai dengan rentang bulan artinya makin keujung serapannya makin naik. Hingga dipenghujung Desember akan mendekati 100%. Kendalanya tidak banyak, karena lebih banyak menyangkut urusan administrasi.
Kelompok kedua belanja modal, belanja ini biasanya yang serapannya acap rendah diawal hingga medio tahun berjalan. Belanja ini berurusan dengan fisik, dan banyak faktor yang turut menyumbang serapannya, bisa jadi terkait tender, cuaca dan berbagai unsur teknis lainnya.
Belanja tidak terduga juga memiliki potensi besar tidak terserap karena untuk realisasinya memerlukan syarat khusus, seperti bencana alam atau non alam dan sebagainya.
Dan yang terakhir adalah belanja tranfer, belanja ini serapannya mengalir mengikuti waktu dan tahapan yang rutin, mengalir seperti air, alias datar-datar air.
Jadi dari 4 pokok belanja yang penulis sampaikan di atas maka penyumbang terbesar rendah-tingginya serapan anggaran itu adalah belanja modal dan belanja tidak terduga.
Namun, seperti yang dikuatirkan oleh banyak pihak bahwa serapan belanja bermasalah artinya akan banyak Silpa tentu kurang beralasan karena data realisasi belanja tahun-tahun sebelumnya serapan akan mendekati 100%.
Sekadar data bahwa realisasi belanja Pemprov Sumbar pada tahun 2021 sebesar 95,41%, alokasi belanja Rp6,7 triliun terserap Rp6,4 triliun dengan Silpa Rp300 miliar.
Terkait serapan belanja Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan yang nangkring diperingkat 2 atas se Sumatera Barat dengan data sebagai berikut; total belanja pada APBD 2022 sebesar Rp1,659 triliun dengan realisasi Rp1,180 triliun.
Belanja pegawai alokasi Rp770 miliar dengan realisasi Rp563 miliar (73%), belanja B/J Rp342 miliar teralisasi Rp231 miliar (67%).
Selanjutnya belanja modal alokasi Rp248 miliar dengan realisasi Rp166 miliar (66,92%),
Sementara itu belanja lainnya, hibah Rp47,5 miliar realisasi belanja Rp22,5 miliar (47,4%), belanja tak terduga Rp5,35 miliar terealisasi Rp0,98 miliar, belanja bagi hasil dengan alokasi Rp4,54 miliar realisasinya masih nihil.
Terkait dengan belanja bantuan keuangan yang dianggarkan Rp240 miliar sudah teralisasi sebesar Rp195,1 miliar (81,06%).
Dari sisi realisasi pendapatan dan belanja pada APBD Pessel 2022 pun terdapat selisih yang kecil atau sekitar 8,13% saja. Dari realisasi pendapatan Rp1,290 triliun yang dibelanjakan dari Rp1,180 triliun atau selisih Rp110 miliar.
Dan bisa disandingkan dengan realisasi pendapatan Prov. Sumbar Rp4,738 triliun dan realisasi belanja Rp3,653 triliun dengan saldo Rp1,085 triliun. Artinya secara saldo kas baik provinsi Sumatera Barat maupun Kabupaten Pesisir Selatan bukanlah penyumbang besar uang APBD yang parkir diperbankan.
Dari catatan data tersebut maka serapan belanja daerah kabupaten Pesisir Selatan sudah sesuai dengan harapan. Seperti yang diberbagai kesempatan disampaikan oleh Bupati Rusma Yul Anwar agar OPD untuk terus memonitor serapan anggaranya.
Karena menurut Bupati bahwa serapan anggaran yang baik maka akan berpengaruh sekali terhadap bergeraknya ekonomi masyarakat.
Seperti dipahami bahwa APBD menjadi stimulus positif bagi bergeraknya roda ekonomi.
Bahkan sejalan dengan harapan Menteri Keuangan SMI, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan tidak ingin memperlambat proses serapan anggaran, justru serapan itu optimal. Karena dampaknya yang besar, terutama bagi masyarakat yang berharap pada proyek padat karya misalnya.
Namun, menurut Bupati asal cepat cair tanpa mengindahkan rambu-rambu dan aturan keuangan juga tak seperti itu. Karena akan berdampak hukum dan potensi masalah agar dihindari.
Kita berharap dalam dua bulan sisa tahun anggaran 2022 ini, baik realisasi pendapatan maupun belanja dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan yang pasti memberi dampak dan manfaat nyata bagi masyarakat.
Sebagai penutup seperti yang dikuatirkan oleh wartawan senior di salah satu media cetak tersebut, bahwa realisasi belanja yang akan menjadi kabar 'duka' tidak akan terjadi, karena fenomena ini sudah terjadi berulangkali, dari tahun ke tahun, karena serapan belanja modal acap melambung pada dua bulan terakhir mengikuti pola kegiatan fisik.
Tentu masukan yang disampaikan menjadi cemeti bagi pemerintah daerah untuk bekerja lebih optimal sehingga kekuatiran itu terjawab dengan kinerja yang baik. (Penulis Staf Ahli Bupati Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setdakab Pesisir Selatan)
Menarik untuk menyimak kolom komentar pada salah satu media cetak Harian di Sumbar, pada 3 November 2022, ditulis salah seorang wartawan senior dengan judul "Serapan APBD Rendah, Pemprov Sumbar Lemah?".
Wartawan senior media harian itu mengulik dengan runut realisasi belanja APBD Provinsi Sumbar yang masih rendah yakni pada kisaran 58% termasuk 10 daerah terendah di Indonesia.
Sementara itu menurutnya, dengan sisa 2 bulan hingga tutup tahun anggaran 2022, justru membuatnya kuatir anggaran yang sudah direncanakan tidak terserap maksimal dan menjadi preseden buruk.
Disamping itu dengan rendahnya serapan belanja tersebut maka perputaran roda ekonomi juga mandek dan tersendat.
Apa yang dikuatirkan tersebut cukup beralasan, namun perlu juga dikuliti sehingga persoalan itu bisa didudukkan secara proporsional dan pada kesempatan ini penulis akan coba bahas dari perspektif struktur APBD dan pola pengelolaan keuangan daerah.
Sebelum dibahas lebih jauh maka terkait dengan serapan APBD yang rendah bahkan berulangkali disentil oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, terakhir Mantan Direktur World Bank itu mencatat anggaran daerah yang parkir di bank sebesar Rp. 212 triliun. Penyumbang terbesar adalah Pemprov Jawa Timur hampir Rp22,04 triliun (sumber : kumparan).
Data terakhir yang dirilis oleh djpk.kemenkeu.go.id terkait realisasi belanja dapat penulis sampaikan bahwa hingga 2 November 2022 dari 19 kabupaten/kota plus Pemprov Sumbar yang realisasi belanjanya 58 persen, maka kabupaten/kota yang serapannya paling tinggi adalah Kabupaten Tanah Datar 72,14%, dan urutan berikutnya Kabupaten Pesisir Selatan 71,12% dan urutan ketiga tertinggi Kabupaten Padang Pariaman 69,68%.
Sementara 3 kabupaten/kota terbawah realisasi belanjanya adalah Kab. Sijunjung, Kab. Solok dan Kab. Kepulauan Mentawai masing-masing pada kisaran 53%.
Lalu dengan realisasi belanja yang masih rendah itu, apakah dengan sisa waktu yang kasip daerah dapat membelanjakan uangnya?.
Sebelum sampai pada kesimpulan, maka perlu kita pahami dulu struktur belanja yang ada dalam APBD. Sehingga nanti akan jelas penyumbang tertinggi porsentase belanja, karena tidak bisa pukul rata.
Secara sederhana belanja dalam APBD ada 4 onggok besar; belanja operasional, belanja modal, belanja tidak terduga, dan belanja transfer.
Dari keempat katakanlah jenis belanja itu, maka belanja operasional karena didalamnya ada belanja pegawai, belanja barang dan jasa serta ada belanja hibah dan bansos maka serapannya lebih tinggi sesuai dengan rentang bulan artinya makin keujung serapannya makin naik. Hingga dipenghujung Desember akan mendekati 100%. Kendalanya tidak banyak, karena lebih banyak menyangkut urusan administrasi.
Kelompok kedua belanja modal, belanja ini biasanya yang serapannya acap rendah diawal hingga medio tahun berjalan. Belanja ini berurusan dengan fisik, dan banyak faktor yang turut menyumbang serapannya, bisa jadi terkait tender, cuaca dan berbagai unsur teknis lainnya.
Belanja tidak terduga juga memiliki potensi besar tidak terserap karena untuk realisasinya memerlukan syarat khusus, seperti bencana alam atau non alam dan sebagainya.
Dan yang terakhir adalah belanja tranfer, belanja ini serapannya mengalir mengikuti waktu dan tahapan yang rutin, mengalir seperti air, alias datar-datar air.
Jadi dari 4 pokok belanja yang penulis sampaikan di atas maka penyumbang terbesar rendah-tingginya serapan anggaran itu adalah belanja modal dan belanja tidak terduga.
Namun, seperti yang dikuatirkan oleh banyak pihak bahwa serapan belanja bermasalah artinya akan banyak Silpa tentu kurang beralasan karena data realisasi belanja tahun-tahun sebelumnya serapan akan mendekati 100%.
Sekadar data bahwa realisasi belanja Pemprov Sumbar pada tahun 2021 sebesar 95,41%, alokasi belanja Rp6,7 triliun terserap Rp6,4 triliun dengan Silpa Rp300 miliar.
Terkait serapan belanja Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan yang nangkring diperingkat 2 atas se Sumatera Barat dengan data sebagai berikut; total belanja pada APBD 2022 sebesar Rp1,659 triliun dengan realisasi Rp1,180 triliun.
Belanja pegawai alokasi Rp770 miliar dengan realisasi Rp563 miliar (73%), belanja B/J Rp342 miliar teralisasi Rp231 miliar (67%).
Selanjutnya belanja modal alokasi Rp248 miliar dengan realisasi Rp166 miliar (66,92%),
Sementara itu belanja lainnya, hibah Rp47,5 miliar realisasi belanja Rp22,5 miliar (47,4%), belanja tak terduga Rp5,35 miliar terealisasi Rp0,98 miliar, belanja bagi hasil dengan alokasi Rp4,54 miliar realisasinya masih nihil.
Terkait dengan belanja bantuan keuangan yang dianggarkan Rp240 miliar sudah teralisasi sebesar Rp195,1 miliar (81,06%).
Dari sisi realisasi pendapatan dan belanja pada APBD Pessel 2022 pun terdapat selisih yang kecil atau sekitar 8,13% saja. Dari realisasi pendapatan Rp1,290 triliun yang dibelanjakan dari Rp1,180 triliun atau selisih Rp110 miliar.
Dan bisa disandingkan dengan realisasi pendapatan Prov. Sumbar Rp4,738 triliun dan realisasi belanja Rp3,653 triliun dengan saldo Rp1,085 triliun. Artinya secara saldo kas baik provinsi Sumatera Barat maupun Kabupaten Pesisir Selatan bukanlah penyumbang besar uang APBD yang parkir diperbankan.
Dari catatan data tersebut maka serapan belanja daerah kabupaten Pesisir Selatan sudah sesuai dengan harapan. Seperti yang diberbagai kesempatan disampaikan oleh Bupati Rusma Yul Anwar agar OPD untuk terus memonitor serapan anggaranya.
Karena menurut Bupati bahwa serapan anggaran yang baik maka akan berpengaruh sekali terhadap bergeraknya ekonomi masyarakat.
Seperti dipahami bahwa APBD menjadi stimulus positif bagi bergeraknya roda ekonomi.
Bahkan sejalan dengan harapan Menteri Keuangan SMI, Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan tidak ingin memperlambat proses serapan anggaran, justru serapan itu optimal. Karena dampaknya yang besar, terutama bagi masyarakat yang berharap pada proyek padat karya misalnya.
Namun, menurut Bupati asal cepat cair tanpa mengindahkan rambu-rambu dan aturan keuangan juga tak seperti itu. Karena akan berdampak hukum dan potensi masalah agar dihindari.
Kita berharap dalam dua bulan sisa tahun anggaran 2022 ini, baik realisasi pendapatan maupun belanja dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana dan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan yang pasti memberi dampak dan manfaat nyata bagi masyarakat.
Sebagai penutup seperti yang dikuatirkan oleh wartawan senior di salah satu media cetak tersebut, bahwa realisasi belanja yang akan menjadi kabar 'duka' tidak akan terjadi, karena fenomena ini sudah terjadi berulangkali, dari tahun ke tahun, karena serapan belanja modal acap melambung pada dua bulan terakhir mengikuti pola kegiatan fisik.
Tentu masukan yang disampaikan menjadi cemeti bagi pemerintah daerah untuk bekerja lebih optimal sehingga kekuatiran itu terjawab dengan kinerja yang baik. (Penulis Staf Ahli Bupati Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setdakab Pesisir Selatan)