Baghdad, (Antara Sumbar) - Perdana Menteri Irak Haider Al-Abadi pada Selasa (12/9) menyerukan diadakannya pembicaraan dengan para pemimpin Kurdi mengenai referendum kemerdekaan Wilayah Semi-Otonomi Kurdistan.

        "Saya menyeru para pemimpin Kurdi untuk datang ke Baghdad guna memulai dialog, dan kita harus memberi perhatian pada mereka yang berusaha meningkatkan langkah rasisme," kata Al-Abadi dalam satu taklimat setelah pertemuan mingguan Kabinetnya.

        "Dewan Menteri adalah untuk semua orang Irak, dan kalian adalah warga kelas satu. Berhati-hati lah agar tidak terseret ke dalam bujukan yang akan menyia-nyiakan apa yang telah dicapai," demikian peringatan Al-Abadi.

        Perdana Menteri Irak tersebut juga menolak pemberlakuan status quo secara paksa dari satu pihak.

        "Sekali lagi saya menekankan pada persatuan dan perlunya dialog," kata Al-Abadi, sebagaimana dikutip Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Rabu pagi. Ia menambahkan, "Referendum tidak konstitusional."
   Pada Selasa pagi, Parlemen Irak melakukan pemungutan suara untuk rancangan peraturan yang menolak referendum kemerdekaan Kurdistan, dan menugaskan Al-Abadi untuk "melakukan semua tindakan yang memelihara persatuan Irak dan memulai dialog serius guna menangani masalah yang mengganjal antara Baghdad dan Wilayah Kurdi".

        Hoshyar Zebari, tokoh utama Kurdi dan mantan menteri luar negeri dan keuangan Irak, sebelumnya mengatakan dalam satu wawancara dengan Xinhua bahwa referensum akan diselenggarakan pada 25 September, setelah semua lembaga resmi di wilayah tersebut menyelesaikan persiapan mereka dalam semua bidang keamanan dan logistik.

        Pada 7 Juni, Presiden Kurdi Masoud Barzani mengumumkan keinginannya untuk menyelenggarakan referendum mengenai kemerdekaan Wilayah Kurdi dari Irak pada 25 September.

        Kemerdekaan Wilayah Kurdi diperkirakan akan ditentang oleh beberapa negara sebab itu akan mengancam keutuhan wilayan Irak dan proses tersebut dilakukan saat pasukan Irak memerangi aksi teror, termasuk kelompok garis keras IS.

        Selain itu, negara tetangga Irak --Turki, Iran dan Suriah-- memandang langkah tersebut akan mengancam keutuhan wilayah mereka, sebab lebih banyak orang Kurdi tinggal ke negara-negara itu. (*)

Pewarta : Antara
Editor :
Copyright © ANTARA 2024