Sepanjang 2016 upaya penegakan hukum oleh jajaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Barat terus bergulir dengan menuntaskan sejumlah kasus-kasus besar yang dikirim ke pengadilan.
Namun sejumlah catatan menjadi sorotan korps adhiyaksa itu terutama dalam aspek pengawasan dan evaluasi penanganan perkara.
Pada Maret 2016 publik dikagetkan dengan keterlibatan oknum jaksa atas nama Zulkarnain Daud, yang terlibat penyalahgunaan narkoba jenis sabu-sabu.
Kemudian kejaksaan tinggi itu kembali disorot dengan munculnya kasus suap jaksa yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Kasus dugaan suap yang dilakukan oleh pengusaha Xaveriandy Sutanto kepada oknum jaksa Kejati bernama Farizal terkait masalah hukum kasus pengedaran gula tanpa label Standar Nasional Indonesia (SNI) seberat 30 ton, di Padang.
Praktik suap terhadap jaksa itu terjadi ketika proses perkara Xaveriandy Sutanto tengah disidang di Pengadilan Negeri Klas I A Padang. Sedangkan jaksa Farizal, dalam perkara itu berlaku sebagai ketua tim Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dalam perkara tersebut jaksa Farizal yang seharusnya melakukan pembuktian terhadap Xaveriandy Sutanto di pengadilan, malah berperilaku sebaliknya. Dari KPK terungkap, bahkan jaksa bersangkutan juga ikut membantu membuatkan nota keberatan (eksepsi) untuk terdakwa.
Kasus suap jaksa itu secara otomatis mencoreng nama baik Kejati Sumbar, dan menimbulkan kekecewaan masyarakat terhadap proses hukum. Reaksi dan komentar bermunculan, terlebih dari pegiat anti korupsi yang ada di Sumbar.
Koordinator Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Integritas Arif Paderi meminta agar Kepala Kejati Sumbar Diah Srikanti menjadikan kasus itu sebagai catatan. Sehingga tidak terjadi lagi kejadian sama yang dapat menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di institusi itu.
"Kasus jaksa Farizal membuka mata kita bahwa praktik suap masih terjadi di lingkungan jaksa dalam menangani perkara. Ini harus menjadi catatan, dan benar-benar dijadikan prioritas agar tidak ada lagi oknum-oknum yang berperilaku yang sama," tegasnya.
Kejati diminta meningkatkan pengawasan internal, serta membangun jaringan partisipasi masyarakat sipil di Sumbar untuk ikut mengawasi.
Terhadap persoalan itu, Kajati Diah Srikanti yang menggantikan Widodo Supriyadi, menegaskan pihaknya akan meningkatkan pengawasan internal terhadap jaksa.
Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah mewajibkan jaksa untuk melapor kepada atasan masing-masing setiap meninggalkan kantor di jam dinas baik untuk urusan penanganan perkara, ataupun lainnya.
Sehingga dengan cara tersebut diharapkan tujuan jaksa yang akan pergi itu bisa dipantau dan tanpa tujuan yang tidak jelas. Selain itu juga strategi pengawasan yang akan dilakukan internal kejaksaan sendiri, ujarnya.
Selain kasus suap jaksa, jajaran Kejati juga disorot terhadap pengawasan tahanan yang tengah menjalani persidangan. Berdasarkan catatan pada 2016 terdapat dua kejadian larinya tahanan dari pengadilan.
Pertama adalah mantan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pasaman Barat, Asgiarman, yang melarikan diri usai sidang di Pengadilan Negeri Tipikor Padang pada Jumat (2/12). Kemudian empat tahanan yang kabur dari sel Pengadilan Negeri Pariaman pada Rabu (10/8).
Saat ini tiga tahanan masih diburu, sementara satu tahanan bernama Doni Saputra, yang terjerat kasus dugaan pencabulan, berhasil ditangkap kembali pada Rabu (10/8), di rumah saudaranya kawasan Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman. Para tahanan itu nekad melarikan diri melalui ventilasi yang berada di toilet ruang tahanan pengadilan.
Sementara untuk penanganan korupsi, meskipun telah berhasil menyelamatkan keuangan negara sebesar Rp1,3 miliar, dari Uang Pengganti (UP) kasus korupsi pada 2016, Kejati tercatat masih memiliki tunggakan kasus yang prosesnya lebih dari setahun.
Beberapa kasus tersebut adalah dugaan korupsi pemberian fasilitas kredit Cabang Utama Bank Nagari Padang. Bahkan dalam kasus itu pihak kejaksaan telah melakukan penyitaan uang sebesar Rp1,4 miliar. Lalu kasus dugaan korupsi waterboom Malibo Anai, Padangpariaman, yang telah dilakukan penyelidikannya sejak Juli 2014.
Kajati Diah membenarkan bahwa Standar Operasional (SOP) dalam memproses suatu kasus adalah tiga bulan ditambah perpanjangan.
"Hanya saja itu untuk perkara biasa, jika terdapat hambatan bisa dilakukan perpanjangan dan itu dilaporkan kepada Kejaksaan Agung (Kejagung) RI," katanya.
Berdasarkan data Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Padang, yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara korupsi di 19 kabupaten dan kota di Sumbar, sejak Januari hingga pertengahan Desember 2016, menerima pelimpahan kasus sebanyak 39 berkas. Sedangkan pada 2015 diterima sebanyak 40 berkas.
Dari 39 berkas kasus yang diterima 2016 itu, tercatat dua daerah yang tidak melimpahkan satu berkas korupsi sama sekali. Yaitu Kabupaten Solok Selatan, dan Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Kejaksaan Negeri Sawahlunto pun ikut menjadi sorotan terhadap penanganan kasus korupsi. Pasalnya dalam lima tahun, berdasarkan data pengadilan Kejari itu hanya melimpahkan satu berkas korupsi. Ironisnya, satu kasus tersebut pun divonis bebas oleh Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Padang.
Kasus itu adalah pengerjaan proyek rehabilitasi bendung, tanggul, cek dam, dinding penahan dan bronjong batang lunto Kota Sawahlunto, pada 2012, dengan dua nama sebagai terdakwa.
Kasus Sawahlunto itu menjadi satu-satunya kasus korupsi yang divonis bebas oleh Pengadilan Tipikor Padang pada 2016. Sedangkan pada 2015 tercatat 12 terdakwa mendapatkan vonis bebas.
Untuk daerah yang tidak menyetor perkara korupsi, Kejati Sumbar menyebutkan akan dijadikan catatan evaluasi kinerja Kejari. Hanya saja menurut Diah, hal itu tetap harus memperhatikan fakta yang ada di lapangan.
"Jika memang tidak ada indikasi korupsi di daerah itu, tentu tidak boleh dipaksakan mencari-cari kesalahan, " kata Diah Srikanti.
Sementara untuk vonis bebas, ia mengatakan itu adalah perbedaan pendapat hukum antara jaksa dengan majelis hakim. Selain itu juga masih bisa dilakukan kasasi terhadap putusan bebas itu.
Meskipun demikian, hal itu juga harus menjadi perhatian kejaksaan untuk lebih cermat dan teliti menyusun dakwaan, demi kepentingan pembuktian di persidangan.
Pada 2016 Kejati Sumbar juga tercatat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk satu kasus korupsi yang sedang ditangani.
Sementara Koordinator Integritas Arif Paderi, meminta Kejati Sumbar untuk meningkatkan transparansi penanganan perkara di institusi itu. Karena dinilai sistem informasi penanganan perkara saat ini, belum bisa dijadikan basis data yang mendukung partisipasi masyarakat.
"Perbaikan dan pembangunan sistem informasi yang berbasis partisipasi oleh Kejati Sumbar, hendaknya menjadi prioritas. Karena hal itu dapat dijadikan basis kontrol masyarakat, dalam mendukung kinerja kejaksaan dalam penanganan perkara," katanya. (*)