Pentingnya Budaya Sadar Bencana Untuk Meminimalkan Korban

id bencana

Pentingnya Budaya Sadar Bencana Untuk Meminimalkan Korban

Banjir. (Antara)

Padang, (Antara Sumbar) - Sepanjang 2017 ancaman gempa bumi masih terus membayangi Sumatera Barat disebabkan provinsi itu dilalui tiga zona seismik aktif.

Diapit sesar besar Sumatera, sesar Semangko serta sesar Mentawai membuat bumi Ranah Minang menjadi tiada hari tanpa gempa meski skalanya tidak besar.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika stasiun Geofisika Padang Panjang mencatat sepanjang 2017 terjadi 409 gempa bumi yang mengguncang Sumatera Barat. Angka tersebut melonjak dua kali lipat dibanding 2016 yang hanya tercatat 195 kejadian gempa.

"Dari 409 tersebut 23 gempa bumi berkekuatan diatas 5,0 Skala Richter dan 10 gempa bumi dirasakan getarannya oleh masyarakat," kata Kepala Stasiun Geofisika BMKG Padang Panjang Rahmat Triyono.

Ia memaparkan dari peta seismisitas periode Januari sampai awal Desember 2017 gempa bumi di laut lebih banyak terjadi di sekitar kepulauan Mentawai dibandingkan gempa bumi di darat.

"Dilihat dari episenter dan kedalaman gempa hal ini diduga disebabkan oleh subduksi Megathrust dan beberapa gempa bumi lainnya disebabkan oleh sesar Mentawai ditunjukkan dengan banyaknya gempa dengan kedalaman dangkal kurang dari 20 kilometer," kata dia.

Ia merinci pada 2017 gempa yang bersumber di darat berjumlah sekitar 62 kejadian, dan 30 diantaranya diakibatkan oleh aktivitas sesar Sumatera.

Untuk gempa yang bersumber di darat terdapat empat segmen yang meliputi segmen Segmen Sumpur, Segmen Sianok, Segmen Sumani dan Segmen Suliti.

"Sepanjang 2017 segmen Sumani dan Sianok mempunyai aktivitas seismik yang lebih aktif dibandingkan dengan segmen Sumpur," katanya.

Segmen Sumani terletak di sebelah selatan Danau Singkarak, tepatnya berada di Kabupaten Solok. Patahan segmen Sumani memiliki panjang patahan lebih kurang 60 kilometer dan pergeseran patahannya berkisar 3 milimeter per tahun.

Sementara Segmen Sianok berada di sekitar kota Bukittinggi, dengan panjang patahan sekitar 90 kilometer dan pergeseran patahan berkisar 23 milimeter per tahun.

Rahmat mengatakan dilihat dari intensitas bisa disimpulkan tiada hari tanpa gempa di Sumatera Barat.

"Bahkan pada Januari dan April terdapat sekitar 51 gempa atau hampir dua kali sehari ada gempa," katanya,

Sementara pada September dan November terdapat sekitar 26 kejadian gempa bumi yang terjadi atau satu gempa per hari didominasi oleh magnitudo kurang dari 5,0 Skala Ricnter.

Ia menilai meskipun gempa yang terjadi di Sesar Sumatera magnitudonya relatif kecil namun hal ini menunjukkan adanya aktivitas dari sesar-sesar di wilayah Sumatera Barat.

"Akan tetapi sepanjang 2017 BMKG tidak pernah mengeluarkan peringatan dini tsunami karena memang gempa yang terjadi tidak berpotensi," ujar dia.

Terkait dengan tingginya intensitas gempa ia mengingatkan masyarakat tetap waspada terhadap aktivitas seismik di wilayah Sumatera Barat karena gempa yang terjadi jauh meningkat dibandingkan 2016

"Masyarakat juga harus waspada terhadap potensi terjadinya tsunami di pesisir Barat wilayah Sumatera Barat," katanya.

Ia mengungatkan sekalipun saat ini Indonesia telah memiliki sistim peringatan dini tsunami yang disebut Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS) namun sebaik-baik peringatan dini terletak pada kesadaran diri individu masyarakat untuk melakukan evakuasi mandiri tanpa harus menunggu informasi dari emerintah dan BMKG.

"Begitu merasakan a goncangan gempa yang kuat masyarakat yg tinggal di daerah pantai langsung melakukan evakuasi menjauh dari pantai mencari tempat-tempar yang lebih tinggi," pintanya.

Tingkatkan Kesiap-Siagaan

Sementara Pakar gempa Universitas Andalas (Unand) Padang, Dr Badrul Mustafa menilai terjadi peningkatan aktivitas gesekan lempeng di segmen megathrust Siberut menyebabkan sejumlah gempa getarannya dirasakan cukup kuat.

Peningkatan aktivitas itu ada dua kemungkinn pertama segmen tersebut melepas energinya secara perlahan-lahan dan kedua tetap diperkirakan akan ada gempa cukup kuat tapi tidak sebesar yang diperkirakan para ahli.

Menurutnya saat ini pada segmen megathrust di Siberut masih menyimpan energi yang periode pelepasan sudah memasuki siklus untuk melepaskannya.

"Oleh sebab itu mengantisipasi terjadinya gempa diperlukan sejumlah kesiapan mulai dari infrastruktur, jalur evakuasi hingga kesiapan warga untuk meminimalkan korban," katanya.

Ia melihat untuk di Padang secara umum kesiapan warga sudah cukup baik terbukti dari beberapa kali gempa beberapa waktu terakhir masyarakat sudah mulai tenang dan tidak terlalu panik lagi sebagaimana dulu. Artinya sosialisasi apa yang harus dilakukan saat gempa sudah mulai efektif namun harus terus dilakukan.

Kemudian dari sisi infrastruktur seperti kekuatan bangunan jika dibangun setelah 2009 diperkirakan lebih tahan gempa, akan tetapi pemangku kepentingan terkait tetap harus memperhatikan hal ini.

"Jangan sampai ada bangunan yang strukturnya tidak kuat," ujar dia.

Sedangkan untuk evakuasi vertikal dan horizontal juga perlu lebih dimaksimalkan agar bisa menampung warga.

Pada sisi lain Badrul menilai materi kebencanaan mendesak dimasukan ke dalam kurikulum sekolah apalagi di Sumatera Barat daerahnya rawan bencana.

Dia menegaskan, yang perlu dimasukan itu tentang potensi bencana alam yang ada di Sumbar agar siswa bisa memahami dengan baik.

Menurutnya setelah siswa paham potensi bencana juga perlu disampaikan intensitasnya sehingga bisa melakukan antisipasi atau mitigasi. Jadi langkah mitigasi juga dilakukan di sekolah mulai dari sebelum bencana terjadi, saat bencana terjadi dan setelah bencana.

Ia memberi contoh sebelum bencana terjadi apa yang harus dipersiapkan siswa di sekolah dan seperti apa respon yang harus dilakukan saat bencana terjadi.

"Ketika gempa terjadi maka siswa bisa merespon dengan baik sehingga tidak mengalami ketakutan," katanya.

Ia mengatakan ketika materi kebencanaan sudah masuk kurikulum bisa meminimalkan informasi yang menyesatkan soal bencana.

"Dulu ada isu tanggal sekian jam sekian akan datang gempa besar, padahal gempa tidak bisa diperkirakan waktunya, tentu siswa akan tahu kabar ini tidak benar," katanya.

Kemudian ketika siswa memahami bencana dengan baik setelah dewasa ilmu yang didapatkan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Ia menekankan semakin banyak masyarakat yang memahami bencana, bagaimana cara bereaksi dan antisipasi maka kerugian bisa diminimalkan.

Di negara-negara maju ketika terjadi bencana gempa kerugian yang ditimbulkan kecil karena warganya sudah paham bencana, katanya.

Sementara di daerah kita saat terjadi gempa yang tidak terlalu besar namun kerugian malah besar karena banyak yang belum paham soal bencana, lanjutnya.

Tidak hanya itu ia juga berpendapat di Sumatera Barat perlu hadir program studi kebencanaan mengingat daerah itu rawan gempa.

Kehadiran program studi kebencanaan dibutuhkan untuk melakukan kajian dan analisis terhadap potensi gempa yang ada.

Sebelumnya pihaknya telah mengusulkan izin pembukaan program studi kebencanaan kepada Kementerian Riset dan Dikti namun hingga saat ini belum ada lampu hijau. "Sementara kita butuh banyak penelitian seputar gempa di Sumbar," ujarnya.

Meningkatkan kesiap-siagaan menghadapi bencana adalah hal mutlak apalagi bencana merupakan siklus yang selalu berulang dalam kehidupan manusia, karena itu ruang ikhtiar untuk menyelamatkan diri selalu terbuka sejalan dengan kesadaran yang dimiliki. (*)