Jakarta, (Antara) - Dimulai dari keinginannnya mematahkan mitos yang ditanamkan oleh gurunya saat bersekolah di AMS Jakarta, TB Simatupang pun bertekad bulat untuk mewujudkan negara Indonesia dan militer yang bersatu. Sang guru, seorang keturunan Belanda, menanamkan kepada Simatupang dan siswa pribumi lain bahwa Indonesia tidak mungkin bersatu dan memiliki angkatan perang untuk merdeka. Kisahnya ia abadikan dalam tulisan "Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos: Menelusuri Makna Pengalaman Seorang Prajurit Generasi Pembebas Bagi Masa Depan Masyarakat, Bangsa dan Negara," yang diterbitkan bersama oleh harian umum "Suara Pembaruan" dan Pustaka Sinar Harapan, di Jakarta, tahun 1991. TB Simatupang menyelesaikan pendidikan di HIS Simatupang dan kemudian melanjutkan pendidikan MULO ke Tarutung, hingga tamat 1937. Tak hanya sampai disitu, putra daerah tersebut itu mengejar cita-citanya dengan melanjutkan pendidikan di AMS Jakarta dan tamat tahun 1940. Ia juga menjadi salah satu pribumi yang mencicipi pendididikan kemiliteran Belanda, Koninklije Militaire Academie (KMA), di Bandung hingga tahun 1942. Pendidikan kemiliteran yang ia butuhkan untuk mewujudkan militer Indonesia yang lebih baik. TB Simatupang ikut bergerilya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia menjadi penasehat militer delegasi RI dalam perundingan-perundingan yang menghasilkan Perjanjian Renville. Aktif dalam perundingan lanjutannya di Kaliurang, 24 kilometer di utara Yogya , serta menjadi salah satu perwira yang hadir dalam Konferensi Meja Bundar di Den Hag Belanda. Lelaki kelahiran Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920 itu, telah menjadi Letnan Jenderal pada usia 30 tahun saat menjabat Kepala Staf Angkatan Perang pada 1950 - 1954. Ia memilih pensiun dini dari militer dengan jabatan terakhir Penasehat Militer Departemen Pertahanan dan berpangkat Letnan Jenderal pada usia 39 tahun, setelah merasa tidak dapat lagi bekerja sama dengan Presiden Soekarno. Hal itu dituliskannya dalam bukunya"Iman Kristen dan Pancasila" terbitan BPK Gunung Mulia, tahun 1984. TB Simatupang kemudian melayani gereja. Ia pun pernah menjadi ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Dewan Gereja - Gereja se Asia dan Ketua Dewan Gereja-gereja Se Dunia. Jendral itu mengabadikan pengalamannya dan pengetahuannya melalui tulisan yang tersebar baik dalam bentuk buku maupun artikel dan pidato, hingga maut menjemputnya pada 1 Januari 1990. Karya-karyanya diantaranya, Soal-soal Politik Militer di Indonesia (1956), Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit selama Perang Kemerdekaan (1960), Tugas Kristen dalam Revolusi (1967), Capita Selecta Masalah Hankam (1967), Pengetahuan Militer Umum (1968), Pengantar Ilmu Perang di Indonesia (1969), Dari Revolusi ke Pembangunan (1987) dan Peranan Angkatan Perang dalam Negara Pancasila yang Membangun (1980). Atas jasa-jasanya tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas nama Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional bersama Dr Radjiman Wedyodiningrat dan Lambertus Nicodemus Palar yang dilaksanakan pada Jumat (8/11), di Istana Negara. Kini nama TB SImatupang tak hanya diabadikan sebagai nama jalan di Jakarta, namun juga sebagai Pahlawan Nasional, sejajar dengan dwitunggal proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Soekarno dan Hatta. (*/jno)