Simpang Empat (ANTARA) - Perusahaan kelapa sawit PT Agrowiratama Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat diduga menggarap sebagian besar lahan seluas 1.600 hektare di Muaro Kiawai Kecamatan Gunung Tuleh masuk dalam kawasan hutan lindung sejak keluarnya Keputusan Bupati Pasaman Nomor 188.45/583.a/BUP-PAS/2003 tentang pemberian izin lokasi peruntukan penggunaan tanah pembangunan kebun kelapa sawit di Muaro Kiawai.
Meskipun telah ditegaskan pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 35 Tahun 2013 merupakan lahan areal penggunaan lain (APL) namun perusahaan telah menggarap kebun sejak 2003 sesuai Keputusan Bupati Pasaman.
"Benar sejak keluarnya SK Menteri Kehutanan tahun 2013 maka lahan itu masuk APL. Namun sebelumnya masuk pada kawasan hutan lindung," kata Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Pekerjaan Umum Penataan Ruang Pasaman Barat Sri Marningsih di Simpang Empat, Kamis.
Selain itu, kata dia, sesuai dengan Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 13 tahun 2021, maka PT Agrowiratama yang merupakan penanaman modal asing, kewenangan penerbitan Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) nya berada pada kementrian ATR/BPN atau pemerintah pusat.
"Terkait PKKPR PT Agrowiratama yang 1.600 hektare kita sudah usulkan pembatalannya dan informasinya saat ini PT Agrowiratama sedang proses pengurusan di pusat," katanya.
Kemudian, disampaikan bahwa sisa lahan dari luas 1.600 hektare itu merupakan lahan eksisting yang terdiri dari kebun PT Agrowiratama dan ada juga kebun masyarakat.
"Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) RTRW Nomor 18 Tahun 2012 memang masih ada sebagian kecil masuk dalam kawasan hutan di Perda, namun di dalam SK Menteri kehutanan Nomor 6599/MENLHK/PLA.2/10/2021 bukan termasuk kawasan hutan tetapi merupakan area penggunaan lain (APL)," ujarnya.
Akan tetapi, Sri Marningsih menegaskan bahwa lahan yang dikuasai oleh PT Agrowiratama sesuai surat Dinas Kehutanan Nomor 522.1/1184/PRPH-2019 sampai tahun 2016 lahan yang berada pada APL seluas 315 hektare.
"Sisanya bukan kewenangan PT Agrowiratama lagi, karena secara penguasaan hanya sekitar 315 hektare yang dikuasai. Tentunya kembali kepada status dasar tanah sebelumnya. Saat ini lahan yang dikuasai hanya 289 hektare dan kabarnya sedang pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) saat ini," katanya.
Dia menyebutkan untuk penilaian penerbitan PKKPR dengan Permen ATT/BPN Nomor 13 Tahun 2021 dilakukan dengan azas berjenjang dan komplementer serta wajib mengacu pada peraturan sektor lainnya.
Revisi RTRW, kata dia, sudah mengacu pada peraturan terbaru termasuk kawasan hutan yang menjadi kewenangan kementerian kehutanan.
"Pada Perda RTRW Nomor 18 Tahun 2012 masih kawasan hutan lindung. Pada SK Menteri Kehutanan Nomor 35 Tahun 2013 merupakan lahan areal penggunaan lain. Lalu penyusunan RTRW wajib mengakomodir peraturan kementrian terbaru dan penerbitan kawasan hutan kewenangannya berada pada kementerian kehutanan dan daerah wajib mengakomodir," jelasnya.
Diketahui, PT Agrowiratama membeli kebun dari PT Mutiara Agam dengan luas 1.600 hektare dan itu banyak berada di kawasan hutan lindung.
Selain itu, perusahaan kelapa sawit PT Agrowiratama ini diketahui beroperasi mengelola lahan di Nagari Muara Kiawai ini sejak tahun 2011 hanya mengantongi Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa mempunyai HGU dan izin lingkungan.
Sesuai IUP dengan Nomor: 188.45/308/BUP-PASBAR/2011, luas lahan PT Agrowiratama seluas 1.600 hektare.
Menurut Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Pasaman Barat Ziad Abdul Rozaq IUP mempertanyakan IUP bisa keluar tanpa adanya izin lingkungan.
"Dasar mengeluarkan IUP itu salah satunya harus ada izin lingkungan. Aneh, IUP keluar namun izin lingkungan belum ada," ungkapnya.
Apalagi menurutnya, dari 1.600 hektare lahan yang dikelola itu banyak masuk ke kawasan hutan, baik itu hutan produksi maupun hutan lindung.
Ia menegaskan, jika memang lahan yang dikelola selama ini berada di kawasan hutan tentu perusahaan harus bertanggung jawab.
"Selama ini mereka yang menikmati hasil, begitu ribut dilepaskan begitu saja. Harusnya perusahaan bertanggungjawab sebab mereka mengolah kebun di kawasan hutan," katanya.
Ia mengakui bahwa beberapa kali PT Agrowiratama mengajukan permohonan izin lingkungan namun ditolak karena tidak sesuai dengan aturan yang ada.
Sementara itu, Manager Humas PT Agrowiratama Pasaman Barat Lelo Ritonga sebelumnya membantah lahan yang dikelolanya masuk pada kawasan hutan.
Namun, ia membenarkan HGU dan izin lingkungan PT Agrowiratama memang belum ada.
Pihaknya saat ini sedang mengurus HGU namun terhalang oleh aturan kementerian ATR/BPN karena mereka sedang evaluasi seluruh HGU perkebunan se-Indonesia.
"Proses pengurusan HGU telah kita lakukan sejak 2019 dan telah sampai ke provinsi atau panitia B," tegasnya.
Lambatnya proses pengurusan HGU, kata dia, disebabkan adanya dualisme ninik mamak di lapangan. Kedua kubu ninik mamak itu bersurat ke BPN agar jangan diproses HGU PT Agrowiratama.
"Kita akan terus berkoordinasi dengan BPN dan ninik mamak di tingkat sebagai pemilik tanah ulayat," sebutnya.
Mengenai IUP perusahaan, katanya, tidak ada masalah dahulunya. Namun, saat ini pihaknya sedang revisi karena dari luas 1.600 hektare itu yang bisa dikuasi saat ini hanya 289 hektare.
Selain itu mengenai tidak adanya izin lingkungan, dia menyebutkan karena terganjal oleh Peraturan Daerah Pasaman Barat. Padahal di Surat Keputusan Menteri Kehutanan lahan itu masuk ke APL.
"Menurut perda tidak mengakui. Izin lingkungan terhalang oleh perda itu. Padahal telah kami ajukan sejak lama," sebutnya.
Untuk itu, pihaknya, mengurus langsung ke Kementerian Lingkungan Hidup dan semua prosesnya telah diikuti namun masih belum keluar.
"Sebenarnya kita telah diberikan sanksi mengenai izin lingkungan ini. Setelah diurus ternyata menurut perda lahan itu masuk dalam kawasan hutan. Padahal lahan itu tidak masuk dalam kawasan hutan," tegasnya.
Dia juga menegaskan dari 1.600 hektare itu pihaknya hanya mengelola seluas 315 hektare dan yang dalam pengurusan HGU saat ini hanya 289 hektare.
"Mengenai keluarnya IUP dahulunya saya tidak mengetahuinya karena sudah lama," ujarnya.
Dia juga mengatakan lahan di luar 289 hektare itu ada yang dikelola oleh perusahaan dan juga ada dari masyarakat.