Mereduksi Politik Identitas sebagai langkah peningkatan kualitas demokrasi

id Bawaslu, DPT, pemilu

Mereduksi Politik Identitas sebagai langkah peningkatan kualitas demokrasi

Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Pasaman Barat Aditia Pratama, S.Pd, M. Pd. (ANTARA/Altas Maulana)

Simpang Empat (ANTARA) - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat menyatakan politik identitas menjadi salah satu objek pengawasan agar tidak menjadi penghalang demokrasi dalam Pemilu 2024.

"Politik identitas bisa menjadi menggerus kualitas demokrasi saat ini. Ini harus menjadi perhatian kita semua," kata Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Bawaslu Pasaman Barat Aditia Pratama, S.Pd, M. Pd di Simpang Empat, Kamis.

Menurutnya tahapan demi tahapan sudah banyak di lalui. Sekarang KPU Pasaman Barat masuk dalam tahapan pencermatan Daftar Calon Sementara (DCS) menuju penetapan DCS.

Tepat pada hari rabu 14 Februari 2024, Indonesia akan melangsungkan pesta demokrasi untuk memilih pemimpin hingga wakil rakyat untuk perhelatan lima tahun sekali.

Baik, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, hingga Pemilihan Legislatif ( DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten).

Selama 75 hari terhitung tiga hari sebelum hari tenang di hitung mundur tahapan paling menantang akan di hadapi oleh masyarakat.

Kenapa dikatakan menantang, katanya, karena di tahapan ini masyarakat akan di kunjungi atau dikumpulkan oleh para peserta pemilu dalam ajang penyampaian visi dan misi serta program-programnya nanti jika terpilih.

Kampanye adalah sebagai alat untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat pemilih di Pasaman Barat agar pemilih simpatik dan malahan empatik terhadap satu satu caleg tersebut dan pemilih mau untuk datang keTPS pada hari pencoblosan.

Pemilih bisa memberikan hak suaranya secara cerdas dan arif di bilik suara. Hiruk pikuk nuansa politik sudah dirasakan saat ini.

Salah satu bentuk perwujudan nilai demokrasi sebagaimana amanat dari Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang berbunyi Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar adalah dengan melaksanakan Pemilihan Umum, dengan melibatkan rakyat secara langsung untuk memilih orang-orang yang akan mewakili mereka nantinya.

Artinya, masyarakat diberikan kewenangan yang cukup luas untuk memilih dan menentukan wakilnya. Oleh karena itu, untuk bisa memperoleh dukungan dari rakyat, peserta pemilu akan melakukan cara-cara tertentu.

Cara-cara tertentu yang dilaksanakan pun beragam, baik dengan cara yang baik, benar dan diperbolehkan oleh Undang-Undang, hingga cara-cara yang tidak baik dan cenderung mengarah kepada pelanggaran.

Salah satu contoh yang tidak baik adalah politik identitas. Namun, dalam tahun politik saat ini yang harus menjadi perhatian dan antisipasi adalah politik identitas yang dinilai dapat menggerus kualitas demokrasi ini.

Sehingga politik identitas menjadi salah satu objek dalam pengawasan dilakukan Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) di tahun 2024.

Politik identitas adalah sebuah alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama atau yang lainnya untuk tujuan tertentu, misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut.

Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim yang bertujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa sama baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Hal itu, tidak lepas politik identitas ini, merujuk pada praktik politik yang mengacu pada identitas kelompok tertentu yang dapat membuat perpecahan di tengah masyarakat.

Sedangkan, di tanah air ini, sangat menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika adalah moto atau semboyan bangsa Indonesia yang tertulis pada lambang negara Indonesa, Garuda Pancasila.

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 36A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menegaskan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

"Frasa ini berasal dari bahasa Jawa Kuno yang artinya adalah Berbeda-beda tetapi tetap satu. Semboyan tersebut sangat bertolak belakang dengan keberadaan politik identitas," katanya.

Pasaman Barat adalah merupakan daerah yang pemilihnya menganut heterogen. Dimana ada pemilih dengan suku Mandailing, Minang dan Jawa. Begitu juga dengan agama sangat beragam tidak hanya Islam yang mayoritas, tapi ada Kristen protestan dan Katholik.

Apalagi secara umum pemilih Pasaman Barat berjumlah 296.254 sesuai Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dominasi oleh pemilih milenial dengan kategori usia 28-43 tahun sebanyak 102.814 pemilih.

Begitu juga dengan suku, walaupun Pasaman Barat adalah bagian ranah minang tetapi suku Mandailing dan Jawa juga sangat berpengaruh dan menentukan.

Untuk itu, katanya, pihaknya akan selalu meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat agar politik identitas itu jangan sampai muncul kepermukaan.

Masyarakat diberikan kewenangan yang cukup luas untuk memilih dan menentukan wakilnya.

Ia mengajak masyarakat jangan mudah terpengaruh dengan politik identitas. Sebab, peserta pemilu akan melakukan cara-cara tertentu untuk mencapai tujuan. *