"Denda Rp2,5 Triliun Asian Agri tak Lazim"

id "Denda Rp2,5 Triliun Asian Agri tak Lazim"

Jakarta, (Antara) - Pengamat Pajak Prijohandojo Kristanto menilai putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum Asian Agri membayar denda pajak sebesar Rp2,5 triliun tidak lazim dan satu-satunya di dunia. Prijohandojo dalam siaran persnya yang diterima di Jakarta, Minggu, mengatakan ketidaklaziman itu karena persoalan pajak adalah "lex spesialis" dan hanya bisa diputuskan oleh orang-orang pajak yang mengerti betul mengenai seluk beluk perpajakan. "Jadi sangat tidak rasional orang di luar pajak tiba-tiba mengerti dan menjatuhkan putusan atas denda pajak terhadap wajib Pajak (WP)," katanya. Prijohandojo yang juga Wakil Ketua Komite Pajak, Kadin, menilai, dalam banyak kasus sengketa pajak, putusan pengadilan pajak kerap subjektif. "Jangankan MA, keputusan yang ditetapkan pengadilan pajak sering subjektif. Ini karena banyak putusan ditetapkan hanya dengan mengacu kepada pendapat pegawai pajak yang juga belum tentu mempunyai pengetahuan yang mumpuni," kata Prijohandojo. Terkait putusan pajak Asian Agri, Prijohandojo menilai keputusan itu lebih bermuatan politis, tapi masih terbuka peluang untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) karena dalam pajak berlaku prinsip keadilan. Menurut dia, wajib pajak berhak untuk menyatakan keberatan dan banding jika memang keputusan itu merugikan wajib pajak. Dirjen Pajak harus membuka pintu bagi wajib pajak yang menyatakan keberatan. "Dalam keputusan pajak, segala sesuatu harus dapat dibicarakan karena metode yang diterapkan Dirjen Pajak adalah mengisi sendiri (self assessment)," kata Prijohandojo. Penentuan kesalahan dalam mengisi SPT, seperti kekurangan bayar atau kelebihan harus bisa dibicarakan karena tidak ada yang baku dengan penghitungan "self assessment". Sementara itu, pengamat ekonomi Faisal Basri menilai, sanksi denda dan pembayaran pajak Asian Agri tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Asian Agri dinilai telah menggelapkan pajak sepanjang 2002-2005 total sebesar Rp1,25 triliun yang sama dengan pendapatan perusahaan pada periode tahun itu. "Ini tidak rasional dan berpeluang untuk ditinjau kembali," tukasnya. Dia menduga, dalam banyak sengketa pajak, ada pihak tertentu yang sengaja menggiring opini publik untuk menyalahkan wajib pajak, sehingga harus dilihat latar belakang permasalahan dan melihat latar belakang orang-orang yang memutuskannya. Menurut Faisal, Asian Agri masih jauh lebih baik dibandingkan dengan kebanyakan perusahaan sawit lainnya karena merupakan salah satu pembayar pajak yang cukup besar. "Masih banyak perusahaan sawit yang besar membayar pajak dengan nilai sangat kecil," demikian Faisal. (*/wij)