Menilik di balik kontroversi isu penghapusan madrasah

id Ruu sisdiknas, madrasah, mendikbudristek

Menilik di balik kontroversi isu penghapusan madrasah

Sejumlah siswa sekolah Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasawahan kerja bakti membantu membangun kelas baru saat jam istirahat di Dusun Ciakar, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Selasa (6/3). Minimnya biaya pembangunan untuk kelas baru, ditambah tinggnya biaya angkut material bangunan karena letaknya di daerah terpencil, menyebabkan siswa dan orang tua murid bergotong royong membantu membangun sekolah yang kelasnya roboh akibat bencana pergerakan tanah. ANTARA JABAR/Adeng Bustomi/agr/18

Jakarta (ANTARA) - Memasuki bulan Ramadhan 1443 Hijriyah/2022 media nasional banyak menyajikan polemik terkait beredarnya isu penghapusan madrasah dalam Revisi UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003.

Seperti dilansir berita di portal banten.antaranews edisi 31 Maret 2022 misalnya, memuat pernyataan Ketua Umum PB Al-Khairiyah yang meminta pembahasan RUU Sisdiknas tidak dilanjutkan karena di dalamnya tidak menyebutkan frasa madrasah sehingga mencederai tujuan pendidikan dalam membentuk karakter akhlakul karimah serta tidak relevan dengan pentingnya solusi atas persoalan sistem pendidikan nasional saat ini.

Padahal sehari sebelumnya LKBN ANTARA Biro Bali dalam pemberitaannya memuat pernyataan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim bahwa sedari awal tidak ada keinginan atau pun rencana untuk menghapus sekolah, madrasah, atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional.

Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit sama sekali.

Pernyataan Mendikbudristek benar, karena madrasah sudah memiliki akar yang panjang dalam sejarah perjuangan pendidikan di Indonesia sebelum kemerdekaan.

Secara kelembagaan pendidikan islam mulai berkembang pada awal abad ke-20 dengan didirikannya madrasah dan pondok-pondok pesantren atau surau baik di pulau jawa, Sumatera dan Kalimantan.

Semangat pendirian madrasah sebagai sentral pendidikan Muslim setidaknya didasarkan pada dua hal, pertama pendidikan islam tradisional kurang sistematis dan terstruktur.

Kedua, laju perkembangan sekolah-sekolah model Belanda di masyarakat cenderung meluas dan membawakan watak sekuler sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan islam yang lebih teratur dan terencana.

Dengan demikian didirikanlah sistem pendidikan Islam yang berbentuk madrasah, baik di Jawa maupun luar Jawa di antaranya Pondok Pesantren Tebuireng Jombang (1899), Jawa Timur, didirikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari.

Madrasah formalnya didirikan pada tahun 1919,dengan nama salafiyah, dan diasuh oleh K.H. Ilyas (mantan Menteri Agama). Madrasah ini memberikan pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Kebijakan pemerintah Belanda terhadap pendidikan Islam pada saat itu pada dasarnya bersifat represif.

Hal ini disebabkan kekhawatiran pemerintah Belanda akan bangkitnya sikap anti-penjajah dari madrasah tersebut. Oleh sebab itu pendidikan islam harus dikontrol, diawasi, dan dikendalikan.

Salah satu kebijakan yang diberikan adalah penerbitan ordonansi guru, yaitu kewajiban bagi guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah Belanda.

Akibat pemberlakuan ordonansi guru adalah tidak semua orang dapat menjadi guru agama dan diperbolehkan mengajar di lembaga-lembaga pendidikan meskipun dia ahli agama.

Latar belakang penerbitan ordonansi ini adalah untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Selain kebijakan ordonansi guru, pemerintah Belanda juga memberlakukan ordonansi sekolah liar.

Ordonansi ini mengatur tentang kewajiban mendapatkan izin dari pemerintah Hindia-Belanda bagi penyelenggaraan pendidikan, melaporkan kurikulum dan keadaan sekolah. Ketidaklengkapan laporan sering dijadikan alasan untuk menutup kegiatan pendidikan.

Tindakan represif penjajah tidak banyak membuahkan hasil terbukti banyak murid madrasah dan alumninya menjadi pejuang melawan penjajah membentuk laskar-laskar seperti Laskar Hizbullah yang menjadi embrio berdirinya TNI.

Melihat besarnya peran madrasah terhadap perjuangan bangsa Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia maka setelah kemerdekaan pemerintah RI memberikan perhatian cukup besar pada pengembangan madrasah.

Tidak tanggung-tanggung keberadaan madrasah di atur dalam Dalam TAP MPRS No. 27 Tahun 1966 dan dalam TAP MPRS No.2 Tahun 1960, yang ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan Menteri Agama.

Jadi benar kata Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim tidak mungkin menghapus madrasah melalui UU atau aturan di bawahnya. Jika dihapuskan, itu merupakan tindakan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian yang besar bagi bangsa Indonesia.

Data Statistik Pendidikan emispendis.kemenag.go.id semester 2019/2020 menunjukkan dari total. 82.418 madrasah yang ada di Indonesia, sebagian besar sekitar 95,1 persen adalah madrasah swasta. Dan hanya 4,9 persen saja yang merupakan madrasah negeri. Jika sampai madrasah dihapus, pemerintah tidak cukup dana untuk membiayai lembaga pendidikan penggantinya.

Pemerintah makin kesulitan menjalankan amanat UUD 45 Pasal 31 ayat 3 (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan (PP&K) yang pertama Ki Hajar Dewantara juga menyatakan dengan tegas bahwa pendidikan agama perlu di jalankan di sekolah-sekolah negeri. Tetapi jelas madrasah lebih memungkinkan banyak ruang untuk pengajaran agama.

Revisi UU Sisdiknas tahun 2003 harus menjawab beberapa persoalan madrasah selama ini. Seperti adanya anggapan dan perlakuan madrasah masih di pandang sebagai sekolah kelas nomor dua setelah sekolah umum.

Selain itu, masyarakat masih mempunyai image bahwa madrasah adalah sekolah yang kurang bermutu, berkualitas dan lulusannya kurang mampu berkompetisi dalam melanjutkan di sekolah atau perguruan tinggi berkelas favorit. Masih banyak yang melihat sekolah di madrasah bermasa depan ekonomi “yang tidak jelas”.

Perlu adanya pemetaan proyeksi lulusan madrasah terutama madrasah aliyah (MA) --setingkat SMA-- tentang minat, kompetensi dan peluang setelah kelulusan dengan peluang melanjutkan pendidikan lebih tinggi atau mengabdi pada masyarakat menjadi ustadz, guru ngaji, mubaligh, yang begitu banyak peluangnya di masyarakat atau bekerja di sektor ekonomi perdagangan, industri, wiraswasta, perkantoran dan sebagainya.

Jika UU baru Sisdiknas hasil revisi bisa merumuskan persoalan di atas melalui pasal-pasal UU baru, diharapkan madrasah bisa bertransformasi menjadi lembaga pendidikan yang lebih membawa kemajuan dan kemaslahatan bagi umat dan bangsa. Semoga.

*) M Aminudin adalah Peneliti Senior Institute for Strategic and Development Studies (ISDS), Ketua Departemen Penelitian Pengurus Nasional Masika ICMI, Staf Ahli Pusat Pengkajian MPR RI tahun 2005, Staf Ahli DPR RI tahun 2008, dan Tim Ahli DPD RI tahun 2013