Padang Aro (ANTARA) - Jauh dalam rimba Sumatera di Bidar Alam, Solok Selatan, dua bangunan tua ringkih berdiri, letih menjadi saksi di pinggiran sejarah.
Cat putih dari bangunan pertama telah terlihat kusam dimakan usia. Di bagian belakangnya lebih parah, banyak yang telah bolong-bolong, nyaris runtuh. Saat hujan turun, tempiasnya akan menjadi genangan di dalam ruangan.
Kusen kayu yang mulai terlihat lapuk dilapisi cat bewarna biru. Terlihat sedikit baru, namun tidak membuatnya terlihat lebih baik. Beberapa jendela kayu juga mulai miring, lapuk di makan usia.
Yang agak berbeda hanya plang putih di halaman depan sebelah kiri. Masih terlihat teguh berdiri. Tulisan bewarna hitam di plang itu masih terlihat jelas, "Di sini pernah berada Stasiun Radio TNI AU Pemerintahan Darurat RI Tahun 1948-1949".
Stasiun Radio itulah yang mengabarkan pada dunia internasional, bahwa Negara Indonesia masih ada, meski Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ditangkap dan diasingkan oleh Belanda saat melancarkan agresi keduanya pada 19 Desember 1948.
Stasiun Radio itulah yang mengabarkan pada dunia bahwa telah berdiri Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai denyut hidup tanda Indonesia masih berdaulat sebagai negara.
Di bagian bawah plang tertulis sejumlah nama perwira TNI AU yang berjuang mengabarkan bahwa Negara Indonesia masih ada pada dunia Internasional saat Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI ditangkap Belanda pada agresi II di Yogyakarta pada 19 Desember 1948.
Opsir itu, Opsir Muda Dick Tamimi, Ops MD Udara III Umar Said Noor, Serma Udara Kusnadi, Sersan Udara, Zainal Abidin.
Salah seorang warga yang tinggal di sebelah bangunan putih bekas Stasiun Radio itu, Dahmiyati (60) menyebutkan yang tertinggal dari Stasiun Radio itu hanya bangunan ringkih itu saja. Radio yang digunakan oleh opsir TNI AU itu dibawa kembali saat mereka kembali harus mengungsi meninggalkan Bidar Alam untuk menghindari Belanda.
Bangunan itu, pernah dipugar. Diperluas dari bangunan aslinya. Namun sisa bangunan lama masih ada sebagian yang tersisa di bagian belakang. Hanya saja sedikit susah disebut sebagai bangunan karena sudah rusak.
Saat ini bangunan yang pernah menjadi saksi sejarah kelangsungan Negara Indonesia itu difungsikan sebagai Taman Pendidikan Alquran dan surau bagi masyarakat sekitar. Alih fungsi itu telah terjadi sejak 1968.
Sejak itu kerusakan bangunan diperbaiki sedikit demi sedikit oleh warga sekitar. Namun tidak pernah selesai. Ibarat rusak tiga, diperbaiki satu. Rusak lima diperbaiki dua. Makin lama kerusakan makin parah.
"Kami butuh bantuan untuk memperbaiki bangunan ini karena sebagian besar masyarakat yang memanfaatkannya adalah orang kurang mampu," ujar perempuan tua itu berkaca-kaca.
Tidak jauh dari bekas Stasiun Radio itu berdiri rumah bergaya Rumah Gadang khas Minang. Menurut warga sekitar, Erniwati (58) rumah itu bukan Rumah Gadang atau Rumah Adat Minang, hanya menyerupai. Pemiliknya bernama Jama. Perempuan Minang dengan darah pejuang.
Ia menyerahkan rumah di Jorong Bulian Bidar Alam itu untuk ditinggali oleh Ketua PDRI Syafrudin Prawira Negara saat mengungsi menghindari kejaran Belanda yang hendak menghapus denyut terakhir dari Negara Indonesia itu. Hampir 3,5 bulan laki-laki yang secara de facto adalah pemimpin tertinggi negara saat itu meninggali rumah sederhana tersebut.
Agaknya, Sang Ketua PDRI merasa nyaman tinggal di rumah itu. Beberapa penggal cerita yang masih tertinggal di benak masyarakat setempat, Syafrudin Prawiranegara tidak hanya bersembunyi dalam rumah. Sering juga ia keluar untuk sholat ke masjid, bahkan main bola dengan pemuda setempat.
Rumah itu, yang jadi saksi sejarah penting bangsa itu, kinipun tidak lagi berdiri kokoh. Bagian bawah rumah berbentuk panggung itu sudah rompak. Berlubang. Memperlihatkan puing-puing perabot yang tidak terpakai lagi.
Dulunya, rumah itu telah "diserahkan" sebagai saksi sejarah. Namun sejak gempa besar 2009, cicit Juma, Eva Resmadewi dan suaminya Afrisal pulang ke Bidar Alam dan kembali menempati rumah tersebut. Afrizal bekerja sebagai pembuat perabot.
Bagian dalam rumah dipartisi sederhana dengan kain. Satu-satunya yang menunjukkan Syafrudin Prawiranegara pernah tinggal disana hanya beberapa foto tua yang tergantung di dinding.
Dua bangunan yang pernah menjadi saksi bisu perjuangan itu, kini seakan teronggok di pinggir sejarah yang masih hingar-bingar dengan Hari Bela Negara (HBN) yang diperingati setiap 19 Desember setiap tahun.
Mungkin, jutaan masyarakat Indonesia tidak lagi tahu mengapa mereka memperingati HBN setiap tahun. Mungkin, tidak banyak lagi yang mengetahui jauh di jantung hutan sumatera masih ada dua bangunan yang menjadi saksi mengapa sekarang HBN itu diperingati.
Bom tidak meledak di Bidar Alam
Cerita lain yang juga melekat dalam ingatan masyarakat setempat adalah tentang pesawat Belanda yang mondar mandir di langit Bidar Alam, mencari keberadaan Ketua PDRI Syafruddin Prawiranegara.
Pesawat itu menjatuhkan bom untuk memastikan Sang Ketua mati dan Indonesia sepenuhnya kembali menjadi tanah jajahan. Namun selama Syafruddin Prawiranegara di Bidar Alam tidak satupun bom yang meledak. Padahal di nagari-nagari bersebelahan bom yang dijatuhkan meledak dan mengambil korban jiwa.
Pemerintah tidak lepas tangan
Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik Linmas Sumbar, Jefrinal Arifin mengatakan pemerintah daerah terus berupaya untuk mengangkat sejarah PDRI agar diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia.
Tour de PDRI adalah salah satu upaya itu. Menikam kembali jejak perjuangan selama 207 hari yang menjadi rantai penyambung kelangsungan Negara Indonesia di belantara Ranah Minang dengan pendekatan kekinian menggunakan sepeda.
Bersamaan dengan itu, pemerintah sekaligus mendata dan menginventarisir peninggalan sejarah yang masih ada untuk nantinya dipugar kembali sehingga generasi yang akan datang tetap bisa mengunjungi dan memahami potongan sejarah bangsa.
Upaya itu mungkin belum maksimal, namun menurut Kepala Dinas Pariwisata Sumbar, Novrial evaluasi akan dilakukan secara terus menerus agar bisa menjadi lebih baik lagi.
"Kita bercita-cita menjadikan peristiwa PDRI ini sebagai dasar wisata sejarah yang bisa dinikmati dan dipelajari oleh generasi yang akan datang. Mungkin ke depan kita akan lengkapi dengan story telling agar saat berwisata, masyarakat juga mendapatkan informasi tentang titikk-titik yang menjadi simpul sejarah yang mereka kunjungi.***