Berita proklamasi dorong Liga Arab akui Indonesia

id Proklamasi, liga arab, warief djajanto

Berita proklamasi dorong Liga Arab akui Indonesia

Pengunjung melihat isi rumah bersejarah peninggalan Djiauw Kie Siong yang pernah disinggahi Proklamator RI Soekarno-Hatta di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, Minggu (15/8/2021). Rumah tersebut menjadi salah satu destinasi wisata sejarah untuk mengenang tempat persinggahan Soekarno dan Moh Hatta menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus 1945. ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/wsj.

Jakarta (ANTARA) - Muhammad Abdul Mun’im, konsul jenderal Mesir di Bombay (kini Mumbai), berada di Yogyakarta 13-16 Maret 1947. Pada 15 Maret, Mun’im menghadap Presiden Sukarno untuk menyampaikan pesan-pesan dari Liga Arab.

Mun’im menyampaikan satu hasil keputusan sidang Dewan Liga Arab pada 18 November 1946 yang menganjurkan semua negara anggota “mengakui kedaulatan Republik Indonesia berdasarkan ikatan keagamaan, persaudaraan serta kekeluargaan”.

Pada 10 April 1947 delegasi empat orang pemerintah RI berkunjung ke Mesir. Anggota misi itu adalah Haji Agus Salim, A.R. Baswedan, Nasir Pamuntjak dan Rasyidi. Perjanjian persahabatan Mesir-Indonesia ditandatangani 10 Juni 1947.

Mesir menjadi negara Timur Tengah pertama pada 1949 yang resmi mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka. Pengakuan negara-negara Arab lain menyusul kemudian.

“Semua itu muncul berkat usaha serius yang dilakukan APB di bawah pimpinan M. Asad Shahab.”

Demikian sekelumit penggalan narasi dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi RI, Perjuangan M. Asad Shahab & Arabian Press Board.

Diplomasi pers

Buku terbitan 2017 ini menceritakan peran Arabian Press Board, APB, dalam berdiplomasi pers untuk memenangkan dukungan Arab bagi Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Kantor berita ini dibangun orang Indonesia keturunan Arab pada 2 September 1945 jaraknya 16 hari setelah DwiTunggal Bung Karno dan Bung Hatta mengucapkan proklamasi itu di Jalan Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat, saat Indonesia masih dalam pendudukan Jepang.

Domei, kantor berita resmi pemerintah Jepang, beroperasi di negara-negara jajahannya di Asia Timur termasuk Indonesia saat Perang Asia Raya berkecamuk. Domei, dibangun 1935 untuk menandingi Reuters, satu-satunya kantor berita asing yang memberitakan proklamasi kemerdekaan ke luar negeri.

Usai perang, Jepang membubarkan Domei dan fungsinya beralih ke Kyodo News dan Jiji Press.

Sementara itu, di zaman Hindia Belanda, kantor berita dalam negeri sudah ada.

ANTARA didirikan 13 Desember 1937. Tapi waktu Jepang menduduki Indonesia, penguasa baru ini pada 29 Mei 1942 menetapkan ANTARA berganti nama menjadi Yashima (Semesta) untuk bisa tetap beroperasi.

Berdirinya kantor berita Arabian Press Board didorong adanya panggilan.

Pendiri dan pemimpin redaksi Muhammad Asad Shahab membangun APB bersama kakaknya, M. Dzya Shahab, berikut wartawan lain, dengan maksud menyiarkan Indonesia Merdeka ke luar negeri dan menjaring pengakuan negara sedunia bahwa Indonesia itu negara berdaulat.

Memakai kata “Arabian” dalam namanya ialah untuk menggaet perhatian dan dukungan kawasan Arab. Cara menarik perhatian itu ialah dengan APB menerbitan buletin dalam bahasa Arab dan Inggris selain bahasa Indonesia.

APB menerbitkan sampai 11 terbitan. Selain buletin harian dalam tiga bahasa tersebut, APB juga menerbitkan National Press Digest, surat kabar berbahasa Inggris terbit dua kali seminggu.

Kementerian Luar Negeri mengirimkan 17 buletin, harian dan majalah ke semua perwakilan RI di luar negeri termasuk buletin harian berbahasa Indonesia Berita APB dan National Press Digest.

RRI turut berjasa. Siaran bahasa Arabnya mengutip berita-berita APB. Menurut Asad Shahab, pada tahun-tahun 1940an APB menyiarkan dua berita sehari mengenai perjuangan Indonesia.

Jaringan luas

Jejaring APB dengan media dunia Arab luas. APB mewakili dan menjadi koresponden khusus harian-harian Al-Muklattan dan Al-Ikwan di Kairo, Al-Amal dan Al-Alam di Irak, Al-Irfan di Lebanon, Al-Manar di Syria, misalnya.

APB juga menjalin hubungan dengan sejumlah kantor berita seperti AAP (Pakistan), Agency Charqh (Teheran). Lebanon News (Lebanon), dan Near East Broadcasting Station (Cyprus), dan Jeft de Propaganda Arab (Argentina).

A.M. Shahab, penulis buku ini dan putra bungsu M. Asad Shahab, memuat berbagai dokumen mengenai ayahnya dan testimonial wartawan APB. Sayang penulis tidak menyertakan contoh berita APB tahun 1945-50 yang berpengaruh dalam menangkap simpati negara-negara Arab.

Yang jelas, APB terima aneka apresiasi dari kalangan Arab.

Apresiasi Arab

“Kami sangat optimistis dan berbesar hati dengan berdirinya kantor berita APB terutama dalam waktu yang sangat genting dan penting ini. Terutama untuk memperkenalkan Indonesia kepada dunia di Timur Tengah dan memberitakan tentang jalannya peperangan Kemerdekaan Indonesia.” (Muhammad Munir al-Jufri, Kairo, 10 Juni 1948)

“Kami menyampaikan rasa bahagia atas usaha-usaha yang dikerahkan APB dalam memperkenalkan Indonesia di dunia luar.” (Harian Akhbar al-Yaum, Mesir).

“Atas apa yang telah dilakukan kantor berita APB dan menunaikan segala tanggung jawab yang dipikulkan kepadanya sejak berdirinya saat ini, maka Liga Arab menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya atas segala usaha APB dengan berharap agar selalu APB maju dan berhasil baik.” (Ketua Liga Arab, Abdurrahman Azam)

Kami mengucapkan selamat atas berbagai kemajuan yang telah dicapai APB. Kami berdoa Insya Allah Tuhan memberi berkat dan selalu mendampingi saudara-saudara dalam perjuangan menjalankan tugas yang suci. (Syed M. Amin al-Husainy, Grand Mufti Palestina Arab High Committee).

Juga, buku yang merupakan biografi Asad Shahab ini, tidak mengutarakan operasi pengiriman berita berikut perangkatnya. Sebelum teknologi digital internet, pengiriman berita dengan seketika ialah dengan telegraf dan telex (teleprinter exchange).

Pengeluaran bisa besar.

Penulis buku juga tidak menjelaskan sumber dana APB untuk menutup biaya kirim berita dan operasi jaringan koresponden. Satu sumber jelas ialah komitmen dana 1.500 rupiah per bulan dari Menteri Penerangan Moh. Natsir tertanggal 1 Mei 1948.

Misi APB berhasil dalam menggalang dukungan bangsa-bangsa Arab di kurun waktu 1945-1950. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar Desember 1949, Arabian Press Board berganti nama menjadi Asian Press Board. Ini untuk menghilanghkan kesan eksklusivitas dan etnisitas.

Lebur

Pada 2 Desember 1962, beberapa lembaga pemerintah seperti Departemen Luar Negeri, Penerangan, dan Hankam berhenti menjadi pelanggan APB.

Seminggu kemudian, pejabat Departmen Penerangan bernama Soebagio mengundang makan Asad Shahab di restoran Italia Mario di Jalan Djuanda I.

Soebagio mengatakan APB perlu bergabung ke ANTARA. Lebih baik bersatu “supaya menjadi lebih kuat”, nalarnya. Semua wartawan dan staf APB secara sukarela dilebur ke ANTARA “dan pimpinan APB akan mendapat kedudukan istimewa di ANTARA,” tambahnya.

“Kalau tidak, apa ada sanksinya,” Shahab mendesak.

Dari pembicaraan panjang lebar dapat dipahami akan ada sanksi tegas kalau APB tidak bersedia dilebur ke dalam ANTARA, Shabab mencatat dalam kronologi pembubaran APB.

Pada 13 Desember 1962, pukul 9 pagi, dua petugas angkatan bersenjata dalam jeep datang ke kantor APB di Jalan Salemba Tengah no 19. Mereka menyodorkan Ketetapan Penguasa Perang Tertinggi nomor 43/Peperti Tahun 1962. Ini surat perintah Presiden Sukarno menutup dan membubarkan APB bertepatan dengan hari ulang tahun ANTARA.

Mulai hari penerimaan surat itu APB harus berhenti dalam semua kegiatannya. Pembubaran APB itu diadakan dalam membangun “Kantor Berita Nasional yang kuat dan lengkap berasaskan Sosialisme Indonesia ... dalam rangka revolusi ... ”

Wartawan APB yang kemudian bergabung ke ANTARA a.l. Khalid Rasyidi, H.M. Hamidy, Ismail Albanjar dan Djamhur Jusuf.

Asad Shahab tidak masuk ANTARA. Ia sudah punya perusahaan percetakan NV ANGIN di Jalan Blora 29 dan berfokus ke sana. Kemudian ia menerbitkan dan menjadi pemimpin redaksi majalah mingguan Pembina.

Asad Shahab Juni 1965 meninggalkan Jakarta dan berada di luar negeri selama hampir 20 tahun. Di Saudi Arabia ia menerima tawaran kerja di Mekah di kantor Rabithah Al-Alam Al-Islami, Liga Dunia Islam, yang disponsori Raja Faisal bin Abdulazis. Satu tujuan organisasi rohani ini ialah menyampaikan dawah dan ajaran Islam.

Menaruh satu batu

Asad Shahab kembali ke Tanah Air tahun 1984. Selain menerima berbagai penghargaan seperti dari harian Berita Buana dan Persatuan Wartawan Indonesia mengingat jasa jurnalistik APB, Asad Shahab tinggal di Jalan Kencana 30, Jakarta Selatan dengan tenang tetapi tidak pernah sepi tamu.

Lahir di Jakarta 23 September 1910, Asad Shahab wafat 5 Mei 2001 pada usia 90 tahun.

Buku ini layak dibaca karena bercerita tentang peran pers nyaris terlupakan seputar proklamasi.

Ia mencontohkan bagaimana pers pejuang itu nyata berwujud dengan mengedepankan sebuah panggilan bangsa dan mengesampingkan keuntungan bisnis.

Apa kata hati M. Asad Shahab mengenai peran APB berdiplomasi pers pada tahun 1945-50 untuk membuahkan pengakuan bangsa-bangsa Arab atas Indonesia merdeka?

Dalam syukuran temu tokoh perintis pers di gedung Dewan Pers 29 November 1985 untuk menghormatinya, Shahab berkata:

“Kita dengan ikhlas tidak mengharapkan apa-apa, meskipun hanya menaruh satu batu untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Dengan tidak mengharap, tidak ada niat yang lain, kecuali niat yang ikhlas untuk ikut bersama-sama mencapai satu Indonesia makmur, Indonesia bersatu, Indonesia yang jaya.”

*) Warief Djajanto Basorie adalah wartawan senior dan pengajar di Lembaga Pers Dokter Soetomo (LPDS)