Padang (ANTARA) - Lantunan Surat Annaziat mengalir lancar dari mulut Dwi Wahyuni Nur Sakinah, siswa kelas 11 SMK Negeri 7 Padang, Sumatera Barat yang tengah mengikuti ujian hafalan Al Quran pada pelaksanaan Pesantren Ramadhan 1442 Hijriah.
Tidak hanya mampu menyelesaikan hafalan Surat Annaziat dengan baik, ia juga bisa melafalkan bacaan dengan tajwid yang benar membuat sang guru penguji tak kuasa menahan haru.
Sebab siswa yang tengah diujinya itu penyandang tunanetra yang sama sekali tak pernah melihat Al Quran namun bisa melafalkan dengan benar.
Sementara siswa lainnya yang normal masih banyak dijumpai kesalahan tajwid sehingga sang guru pun bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang tua dan guru yang mampu mengajarinya sebaik itu membaca Al Quran tanpa ada kesalahan.
Lahir di Bengkulu pada 19 April 2003, Dwi sejak lahir mengalami gangguan penglihatan sehingga tak dapat melihat sama sekali. Putri kedua dari pasangan Slamet Widihartanto dan Rohayati itu didiagnosa dokter mengalami kebutaan sejak lahir.
Ketika baru lahir, kedua orang tua Dwi bingung karena penglihatan putri keduanya berwarna biru semuanya. Berdasarkan saran dokter, mereka pun membawa bayinya ke Padang untuk diperiksa ke Rumah Sakit Umum Pusat M. Djamil Padang.
Umur setengah bulan, Dwi dibawa ke Padang, diperiksa dan disarankan dirujuk ke RSCM Jakarta. Akhirnya, pada usia 1,5 bulan Dwi dibawa ke Jakarta. Sesampai di RSCM diperiksa oleh sembilan dokter mata.
Kesimpulannya, kornea mengalami gangguan dan disarankan ke bank mata untuk mendapatkan donor. Pada usia tiga tahun, ia pun mendaftarkan donor mata dan mendapatkan donor dari Jerman. Namun, berdasarkan pandangan dokter jika dioperasi kemungkinan keberhasilan hanya satu persen sehingga orang tua mengurungkan niat.
Sejak saat itu, Rohayati dengan gigih dan penuh semangat terus membesarkan Dwi dan memasukkan ke TK. Semua perkembangan fisik Dwi tumbuh dengan normal kecuali penglihatan yang terganggu.
Meski pun awam dan belum pernah mengalami hal ini, orang tuanya tetap berusaha bertanya ke sana kemari soal Dwi. Saat itu menjadi masa terberat dalam hidup mereka karena meraba-raba dan cemas akan seperti apakah masa depan putri keduanya itu.
Orang tuanya pun meminta pendapat guru TK selepas ini sebaiknya apakah Dwi disekolahkan ke SLB atau SD. Sang guru pun melakukan penilaian. Dari hasil pengamatan, perkembangan IQ Dwi baik sehingga disarankan masuk sekolah umum.
"Anak ini cuma penglihatan aja yang terganggu," kata guru itu kepada Rohayati.
Ia segera mengikuti saran guru tersebut dan mendaftarkan Dwi di SD Negeri 09 Ngalau, Kecamatan Lubuk Kilangan. Di luar dugaan kendati berstatus tunanetra, anak itu langsung dinyatakan diterima di sekolah.
"Anak buta kok dibawa ke sekolah umum, anak saya yang normal aja susah belajarnya," demikian cemooh dari tetangga kepada Rohayati saat memasukkan Dwi ke sekolah umum.
Awalnya, ia masih sabar dan tidak terlalu mendengarkan omongan tetangganya, namun setiap hari tetangga selalu mencemooh.
"Mbak maaf, Dwi mau sekolah SD, mau SLB itu urusan saya, mohon jangan ikut campur," kata Rohayati kepada tetangga.
Bukannya terima tetangga malah mengira Rohayati menyuap pihak sekolah karena heran anak tunanetra bisa diterima di SD negeri.
Namun, ia tidak surut dan pantang menyerah. Setiap hari ia mengantar dan menemani Dwi di sekolah. Untuk belajar membaca dan menulis, Rohayati membelikan gambar abjad lalu memandu dan melatih Dwi di rumah. Tak sia-sia, selama SD Dwi menorehkan prestasi selalu rangking lima besar di kelasnya.
Selepas SD, Dwi melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 23 Padang. Ia kian cemerlang dan pernah menggondol juara umum pada kelas 1 dari sembilan kelas yang ada. Selama belajar di SMP, Dwi sudah memiliki guru pendamping sehingga ketika ujian cukup dibacakan kemudian dijawab dan ditulis oleh gurunya.
Setelah SMP, awalnya Dwi ingin melanjutkan ke Madrasah Aliyah Negeri. Namun setelah didatangi sang ibu, pihak sekolah menyampaikan belum ada guru pendamping sehingga khawatir Dwi tidak maksimal belajar. Akhirnya, orang tuanya memutuskan memasukkan Dwi ke SMK Negeri 7 Padang mengambil jurusan musik.
Di SMKN 7 jurusan musik, Dwi terus mempertahankan prestasinya menjadi juara kelas. Pada penutupan Pesantren Ramadhan 1442 Hijriah di sekolah, ia mendapatkan tiga penghargaan, yaitu sebagai santri terbaik, hafiz Al Quran terbaik, dan siswa yang paling aktif pada materi bela negara.
Di bidang olahraga, ia juga berprestasi saat mengikuti kejuaraan paralympic dan menjadi juara I lari 100 meter tingkat provinsi.
Motivasi Ibu
Bagi Dwi, ibu adalah segalanya yang selalu memotivasi dan menemaninya ke mana-mana dan menjadi semangat hidupnya.
Setiap hari ia diantar dan ditemani di sekolah. Dwi biasanya berangkat diantar oleh ayah yang bekerja sebagai buruh di pabrik pupuk menggunakan motor.
Sang ibu juga yang mengajarkan Dwi mengaji dan kini ia telah hafal Al Quran lima juz. Awalnya, ia dibacakan Al Quran oleh ibu, kemudian diulang hingga lancar.
Pada kelas 4 SD, ia mendapatkan hadiah Al Quran digital dari ibu-ibu di permukiman usai menang lomba tahfiz Al Quran tingkat kecamatan. Lewat Al Quran digital, ia belajar menghafal hingga saat ini sudah hafal lima juz.
Ia pun tak pernah memandang dirinya buta sehingga terus bersemangat menjalani hidup dan bercita-cita menjadi seorang peneliti.
Selalu terngiang nasihat ibunya bahwa apa yang dialami saat ini adalah pemberian Allah.
"Nduk kalau terus-terus begini nggak akan maju, nggak akan balik tu mata semua punya Allah, nyawa kita juga punya Allah, dan rahmat-Nya begitu besar," kata ibunya menasehati Dwi.
Di rumah, Dwi juga dididik oleh ibunya untuk bisa mandiri sebagaimana anak normal. Ia dilatih mencuci pakaian, melipat, memasak nasi, dan semua aktivitas harian bisa dilakukan sendiri kendati tak bisa melihat.
Sang ibu berprinsip jika ia memanjakan Dwi maka anaknya tidak akan bisa maju.
"Ya caranya pakai 'feeling' (perasaan)," ujar Dwi.
Bahkan, tak jarang Dwi lalai atau malas maka tak segan ibu memarahi dan mengingatkan.
Dalam keseharian Dwi merupakan anak yang ceria karena itu Royati selalu yakin ini adalah amanah yang diberikan Allah kepadanya untuk dijaga dan diperjuangkan.
Untuk berkomunikasi Dwi pun menggunakan telepon genggam yang dibekali aplikasi "talk back".
Dwi juga beruntung karena di SMKN 7 Padang, ia di lingkungan yang mendukung untuk pengembangan potensi diri. Selama bersekolah, ia tak pernah mendapatkan perlakuan buruk dari kawan-kawannya. Malah sebaliknya, banyak yang membantunya.
Kepala SMKN 7 Padang Herawaty menyampaikan sekolah yang ia pimpin salah satu sekolah inklusi di Sumbar dengan saat ini terdapat 18 siswa inklusi mulai dari tunanetra, autis, hingga kesulitan belajar dari total 680 siswa.
Bahkan, Dwi salah seorang siswa yang menonjol karena setiap ia masuk kelas selalu lebih respons.
"Di sini justru siswa inklusi itu yang lebih semangat dan merespons apa yang guru sampaikan," kata dia.
Saat belajar, para siswa didampingi oleh guru pendamping khusus yang membantu proses belajar mengajar.
Saat ini, Dwi terus bersemangat menjalani hidup dan mewujudkan cita-cita menjadi peneliti dan tak pernah surut dengan keterbatasan yang dimiliki.