Puncak pandemi COVID-19 belum terlewati

id PSBB, covid-19,penanganan corona,virus corona,corona,covid-19,2019-ncov,novel coronavirus 2019

Puncak pandemi COVID-19 belum terlewati

Polisi melakukan pemeriksaan penumpang bus saat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di pintu masuk Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (17/4/2020). ANTARA FOTO/Rony Muharrman/pras.

Jakarta (ANTARA) - Tidak banyak yang berubah, pergerakan tetap ada, meskipun Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk memutus penyebaran SARS-CoV-2 sudah mulai diberlakukan.

Selain di pasar, aktivitas pagi hari terpadat di sebuah kota di Indonesia biasanya terpusat di lokasi-lokasi transportasi publik berada. Terminal, halte, atau stasiun kereta, menjadi hulu dari aliran mobilitas warga suburban.

Kota Bekasi jadi salah satu daerah yang juga menerapkan PSBB bersamaan dengan empat daerah lainnya di Jawa Barat, yakni Kota Bogor, Kabupaten Bogor, Kota Depok dan Kabupaten Bekasi. Mobilitas penduduk Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Ibu Kota jelas tinggi karena, menurut Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi, 60 persen warganya bekerja di Jakarta.

Jika proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk berdasarkan kecamatan di Kota Bekasi pada 2019 mencapai 3,014 juta jiwa, maka setidaknya 1,8 juta orang bekerja di Jakarta. Berbagai moda transportasi biasanya mereka gunakan, mulai dari bus, angkutan kota, ojek online, motor, mobil pribadi, taksi, taksi online, hingga jalur komuter.

Masih menurut Wali Kota Bekasi, setidaknya 120.000 warga Kota Bekasi biasanya bergerak ke Jakarta setiap hari dengan memanfaatkan kereta rel listrik (KRL).

Pada Rabu (15/4) pagi, tidak terlihat antrean panjang calon penumpang maupun bus-bus pengumpan Trans-Jakarta menjelang pintu tol Bekasi Barat, begitu pula di Stasiun Bekasi. Tidak tampak penumpang yang biasanya berjejalan di peron.

Penurunan jumlah penumpang bisa pula terdeteksi dengan berkurangnya kerumunan ojek dan angkutan kota yang biasanya berhenti sekenanya di sekitar pintu masuk stasiun.

Halaman Stasiun Bekasi yang biasanya sejak subuh sudah sesak oleh motor dan mobil yang dititipkan kini terlihat jauh lebih longgar.

Meski demikian, para pelaju Bekasi-Jakarta tetap ada di sana. Mereka yang masih harus bekerja di tengah pandemik COVID-19 tetap bergerak menggunakan KRL menuju Jakarta, Tangerang, Cikarang, Depok ataupun Bogor.

Leolita contohnya, warga Bekasi Barat, yang menjadi staf administrasi di sebuah perusahaan kargo yang tetap harus bekerja di tengah pandemi seperti saat ini. Dirinya tahu soal PSBB Kota Bekasi yang mulai berlaku, namun tidak dapat mengelak dari tugas kantornya.

Perusahaannya yang berada di sekitar Stasiun Manggarai menerapkan kerja secara bergiliran, satu hari masuk satu hari libur. Selain itu, menurut Leolita, mereka hanya beroperasi hingga pukul 16.00 WIB, selama pandemi COVID-19.

Rasa takut tertular virus saat keluar rumah tentu ada. Dengan mengenakan masker, Leolita sebisa mungkin menjaga jarak fisik saat berada di ruang publik, termasuk memilih berdiri di dalam gerbong dan menjauh dari lainnya menjadi caranya agar terhindar dari penularan SARS-CoV-2.

Sementara, Suryanto, seorang pensiunan yang tinggal di Cikarang, Jawa Barat, juga mengaku tahu adanya penerapan PSBB, namun terlihat bergegas di Stasiun Bekasi.

Dirinya menyebut jarang menggunakan fasilitas transportasi publik jalur komuter, namun dapat membandingkan perbedaan pelayanan di stasiun dalam masa pandemik di mana tersedia wastafel dan sabun hingga garis-garis pembatas dalam gerbong untuk penerapan jaga jarak fisik atau physical distancing guna mencegah penularan virus corona jenis baru itu.

Suryanto berupaya sebisanya mengikuti anjuran pemerintah, namun tampaknya keperluan tidak dapat menghentikan langkahnya untuk keluar rumah. Dengan tas ransel berwarna hitam yang terlihat terisi penuh, dirinya melangkah memasuki Stasiun Bekasi.

Ada pula Fitri, asal Jawa Tengah, yang bekerja di bagian administrasi sebuah proyek gedung hunian Tangerang Selatan yang terlihat keluar dari Stasiun Bekasi di hari pertama penerapan PSBB.

Dengan memanfaatkan jalur komuter untuk bertemu rekan kerjanya di Kota Bekasi, Fitri yang berbekal masker dan membawa tas punggung mungil melintasi tiga wilayah provinsi, mulai dari Banten, DKI Jakarta, dan Jawa Barat. Dirinya mengaku tahu pembatasan sosial yang sedang berjalan, dan justru merasa cukup repot dengan pembatasan waktu operasional transportasi publik yang hanya mulai pukul 06.00 WIB hingga pukul 18.00 WIB.

Minimalkan mobilitas

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta jalur komuter atau KRL diujicoba untuk berhenti beroperasi sementara saat Tangerang mulai menerapkan PSBB pada Sabtu (18/4), dengan harapan semakin terisolasinya virus di episentrum COVID-19, yakni Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).

Kecepatan virus menyebar sangat berkorelasi dengan pergerakan atau mobilitas manusia yang secara tidak disadari mereka sudah memiliki virus corona di dalam tubuhnya, dan menularkannya kepada orang lain.

Selama mereka belum pernah menjalani tes swab dengan metode reverse transcript-polymerase chain reaction (RT-PCR), mereka tidak dapat memastikan keberadaan virus di tubuh mereka. Mereka adalah orang-orang tanpa gejala yang tidak terlihat sedang sakit, namun dengan bergerak ke sana kemari telah menyebarkan SARS-CoV-2 tanpa sadar.

Sejak enam hari lalu, tepatnya pada 10 April 2020, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 mengumumkan 34 provinsi di Indonesia telah terpapar virus corona baru dengan ditemukannya kasus positif di Gorontalo. Dengan demikian, penyebaran wabah telah terjadi di seluruh Indonesia hanya dalam waktu sekitar empat bulan setelah penyakit tersebut menyebar di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Penularan sudah meluas ke penjuru Nusantara. Ahli epidemiologi dari Universitas Indonesia Pandu Riono menyebutnya sebagai national wide community transmission.

Karenanya, menurut dia, penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar akan lebih efektif apabila dilakukan pemerintah secara nasional atau menyeluruh, dengan intensitas penerapan di lapangan bisa bervariasi. Daerah yang mungkin memiliki jumlah kasus kecil atau sama sekali tidak ada maka dapat menerapkan 50 persen PSBB di tahap awal.

Peningkatan berkala PSBB di daerah dapat dilakukan sehingga upaya pemutusan penularan virus corona baru menjadi lebih efektif.

Saat ini, menurut dia, yang perlu dilakukan atau dimaksimalkan masyarakat adalah melakukan PSBB secara baik dan benar, yakni dengan tidak mudik, tidak berkumpul melebihi lima orang, selalu menggunakan masker saat di luar rumah dan mengikuti arahan pemerintah lainnya menjadi cara untuk mempercepat pemutusan rantai penyebaran COVID-19.

Namun demikian Pandu Riono berpendapat penghentian total transportasi publik bukan menjadi opsi jika dapat menghambat dokter, perawat, TNI/Polri, dan sebagainya. Pengecualian harus diberikan untuk mereka yang bekerja di sektor-sektor utama yang mengupayakan pemutusan mata rantai penularan virus corona tipe baru tersebut.

Pandu juga mengatakan pentingnya melibatkan tenaga kesehatan masyarakat di berbagai daerah untuk menghadapi situasi penularan penyakit yang mewabah di tengah masyarakat. Dokter dan perawat saja tidak cukup untuk mengatasi pandemi.

Pada Kamis (16/4), Gugus Tugas Percepatan Pengendalian COVID-19 melansir angka akumulasi kesembuhan lebih besar untuk pertama kalinya, yakni 548 orang, sedangkan angka akumulasi yang meninggal mencapai 496 jiwa. Untuk angka akumulasi kasus positif di hari yang sama mencapai 5.516 orang.

Meski angka kesembuhan yang lebih besar membawa angin segar pada Kamis (16/4), namun Ketua Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito juga memberikan proyeksi puncak pandemi di Indonesia akan terjadi di antara awal Mei hingga awal Juni 2020 dengan estimasi kumulatif mencapai 95.000 kasus. Angka tersebut datang dari berbagai kajian para ahli dan lembaga ilmiah.

Setelah masa puncak pandemi di awal Juni, menurut Wiku, kenaikan jumlah kasus positif akan mulai melandai. Pada periode Juni hingga Juli 2020 jumlah pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 di Indonesia bisa mencapai 106.000 kasus.

"Bagaimanapun kita percaya angka ini bukan angka yang sudah ‘rigid’. Kami terus menerapkan berbagai kebijakan agar jumlah kasus positif bisa lebih rendah dari yang diproyeksikan," ujar Wiku.

Dengan demikian tidak ada cara lain, tetap berada di rumah dan meminimalisir mobilitas masih harus dilakukan oleh masyarakat untuk memutus penularan SARS-CoV-2 penyebab penyakit COVID-19 di Indonesia.

Tetap berada di rumah dan meminimalisir mobilitas masih harus dilakukan oleh masyarakat untuk membantu mengurangi jumlah pasien COVID-19 di rumah sakit sehingga lebih meringankan kerja dokter, perawat, dan petugas medis lainnya.

Tetap berada di rumah dan meminimalisir mobilitas masih harus dilakukan oleh masyarakat demi melindungi orang-orang terkasih dan terdekat dari tertular penyakit COVID-19 yang belum ada obatnya ini.