Jakarta (ANTARA) - Debat capres putaran keempat ditutup dengan pernyataan yang manis manakala kedua pasangan calon presiden; Jokowi dan Prabowo saling mengungkap pentingnya menjaga tali persahabatan.
Pernyataan penutup itu ibarat oase di sebuah gurun yang terik yang menyudahi panasnya seteru akibat debat yang panjang.
Keduanya berbeda pandangan dalam soal konsep dan cara menata kebijakan, namun mereka tak ingin rantai atau tali persahabatan putus karenanya.
Tak berselang begitu lama atau sekitar beberapa menit setelah debat usai, kedua tim pemenangan menggelar konferensi pers di ruangan yang berbeda di Hotel Shangri-La Jakarta menjelang dini hari.
Dari kubu capres nomor urut 01 terlihat hadir Ketua Harian Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Moeldoko didampingi Yenny Wahid dan Emil Dardak.
Sementara dari kubu capres nomor urut 02 diwakili Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Dahnil Anzar Simanjuntak bersama Direktur Materi Debat BPN Sudirman Said dan mantan Kepala Staf Umum (Kasum) TNI Letjen (Pur) JS Suryo Prabowo.
Dahnil mengawali pernyataan timnya yang menyebut bahwa debat keempat kali ini “Prabowo banget” karena selama kariernya Prabowo banyak dihabiskan pada bidang pertahanan.
Dahnil sekaligus mengapresiasi karena dalam debat, Prabowo mengungkapkan perspektif lain, bukan sekadar pertahanan keamanan atau militer semata, tapi juga ketahanan pangan sebagai simbol ketahanan dan keamanan bangsa.
Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah itu menyebut dalam mempersiapkan debat keempat tim BPN justru banyak diajari oleh Prabowo.
Menurut Dahnil, selama persiapan debat keempat dilakukan, Prabowo tidak banyak mendapatkan materi briefing dari timnya.
Jadi Prabowo disebutnya tidak mengonsumsi briefing yang berlebihan dan yang disajikan di depan khayalak lebih banyak gagasan dirinya secara pribadi.
Rekan setimnya yang juga mantan Kasum TNI Suryo Prabowo menyebut awalnya berharap akan ada pembahasan mengenai perkembangan pengadaan drone, namun justru lebih banyak disampaikan persoalan radar.
Ia mengatakan Prabowo dalam debat telah mampu menunjukkan bahwa pemerintah masih menerapkan kebijakan yang kurang tepat dalam soal modernisasi alutsista dimana kebutuhan modernisasi justru dijawab dengan pembentukan organisasi yang lebih gemuk.
Sedangkan Sudirman Said sebagai Direktur Materi kubu 02 menyebut Prabowo sudah mampu menunjukkan tiga hal dalam debat, yakni visi, value, dan courage. Keberanian melakukan terobosan dan komitmen serta passion untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Ia menekankan pernyataan Prabowo bahwa persoalan bangsa ini terletak pada aset ekonomi yang tidak tinggal di wilayah republik sehingga perlu reorientasi pembangunan melalui tujuan swasembada pangan, energi, dan air.
Sudirman Said juga melihat gestur yang sangat baik ketika Prabowo menyampaikan substansi penting nada suaranya akan sangat serius, tetapi berubah humanis, bahkan jenaka, saat merespons persoalan sosial.
Bukan Retorika
Dari kubu 01, Ketua Harian TKN Moeldoko kemudian menyampaikan beberapa hal yang digarisbawahi, yakni soal strategi untuk mengatasi persoalan yang bukan sekadar retorika atau informasi persoalan.
Moeldoko melihat betapa capres nomor urut 01 mengetengahkan strateginya dan bukan retorika.
Menurut dia, mengetahui masalah-masalah yang terjadi pada bangsa ini adalah baik, tapi bagaimana kemudian solusi yang ditawarkan juga harus bisa disampaikan.
Hal kedua yang menurut dia perlu ditekankan, yakni bahwa mengelola negara ini juga memerlukan pengalaman. Ia melihat betapa Jokowi bisa menyampaikan langkah-langkah dalam persoalan pemerintahan, membangun hubungan internasional dalam equilibrium yang baik, yang sangat tampak jelas.
Sementara untuk masalah pertahanan, Jokowi diakuinya lebih banyak berbicara makro, bukan teknis. Moeldoko menilai seorang pemimpin tidak perlu berbicara terlampau teknikal, tapi harus bisa melihat cakrawala yang lebih luas tentang bagaimana ketahanan harus dipertahankan.
Yenny Wahid kemudian menambahkan soal apresiasinya terkait jalannya debat dan betapa ia sempat mengaku GR (gede rasa) ketika disebut sebagai salah satu sahabat oleh capres nomor urut 02 dalam pernyataan penutup saat debat capres putaran keempat.
Yenny Wahid menyebut jalannya debat agak panas di awal tapi kemudian berakhir dengan sangat baik dengan saling rangkul.
Yenny Wahid menilai debat capres meninggalkan kesan yang baik bagi masyarakat sebagai gestur yang sangat baik.
Yenny yang mewakili kubu Jokowi menegaskan bahwa ia tidak meragukan sedikitpun jiwa nasionalisme dan patriotisme Prabowo, bahkan ia sangat kagum. Sayangnya menurut Yenny, Prabowo banyak menyampaikan data yang keliru soal pertahanan.
Yenny menggarisbawahi salah satu kesalahan data Prabowo, yaitu terkait dengan anggaran pertahanan yang menyebut anggaran pertahanan Indonesia lebih kecil dibanding Singapura. Di sisi lain, ia melihat bahwa Jokowi lebih menekankan pada upaya penyejahteraan personel militer sambil membangun alutsisa, bukan semata modernisasi.
Sementara Emil Dardak melihat Jokowi dalam debat telah menyampaikan substansi dengan tepat dari mulai penyampaian ideologi, bukan melalui indoktrinasi, memberikan contoh keberagaman, dan menunjukkan konsistensinya dalam dunia pendidikan.
Jokowi juga dianggapnya sudah memaparkan hal-hal yang konkret di era otonomi daerah, termasuk menekankan pentingnya penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik untuk memangkas birokrasi yang panjang dan berbelit.
Kembali Berdebat
Adu argumentasi kemudian muncul mewarnai konferensi pers yang dihadiri puluhan wartawan dari berbagai media itu.
Dahnil Simanjuntak menggarisbawahi pernyataan Yenny Wahid terkait masih kurangnya alutsista TNI berdasarkan berita yang disampaikan oleh Panglima TNI secara langsung di sebuah media nasional belum lama ini.
Ia juga menilai Jokowi kerap kali mendapatkan informasi atau bisikan yang keliru dari para pembantunya yang berbahaya sekali apabila terkait dengan bidang pertahanan dan keamanan.
Suryo Prabowo kemudian menambahkan pernyataan Dahnil bahwa saat bicara data, Prabowo justru lebih akurat dari Jokowi.
Ia mengaku tak suka dengan data Global Fire Power Indeks yang digunakan Yenny Wahid sebagai acuan yang dikutip terkait perbandingan kekuatan militer Indonesia dengan Singapura.
Suryo bahkan menyebut data yang dikeluarkan lembaga tersebut sebagai data “ketengan” karena hanya bicara angka tanpa membahas kualitas di dalamnya.
Menurut dia, meski misal Indonesia punya seribu tentara, tapi musuh punya tank 1 maka sulit bagi Indonesia untuk bisa bertahan.
Ia berpendapat militer membutuhkan alustsista yang lebih modern sehingga tak perlu terlalu banyak personel. Faktanya ia justru melihat saat ini organisasi dibesarkan tetapi persenjataan dan anggaran tidak signifikan ditambah.
Yenny Wahid menanggapi hal itu dalam suasana suhu adu argumentasi yang sedikit memanas.
Menurut dia, jika tidak menggunakan data Global Fire Power Indeks sebagai acuan kemudian acuan apa yang akan digunakan.
Ia menekankan indikator kekuatan militer bukan hanya dari banyaknya senjata yang dipunyai, melainkan indikator lain, termasuk kekuatan personel. Indonesia memiliki personel militer sebagai salah satu yang terkuat di dunia dengan 476.000 personel TNI dan 400.000 sisanya cadangan.
Itu belum termasuk warga yang dapat dimobilisasi ketika ada pertempuran, akses-akses ke objek strategis, termasuk ekonomi yang bertumbuh dengan positif.
Oleh karena itu Yenny menekankan bahwa masalah keamanan tidak bisa cuma soal persenjataan, tapi holistik meliputi banyak hal.
Sedangkan Moeldoko mengatakan besar kecilnya anggaran merupakan persoalan pada pilihan dan prioritas dimana negara tidak bisa fokus pada masalah pertahanan semata.
Kemudian terkait debat, pertahanan dianggapnya hanya salah satu poin dari banyaknya aspek lain yang perlu dipikirkan. Sebagai mantan panglima TNI ia menilai pembangunan militer yang dilakukan saat ini sudah cukup memadai.
Suhu yang sempat memanas kemudian kembali cair saat ada pertanyaan wartawan soal bisik-bisik dan ABS. Moeldoko berseloroh bahwa Jokowi diteriaki saja tidak didengar, apalagi dibisiki. Hal itu membuat Dahnil kemudian tertawa terbahak-bahak.
Ketika konferensi pers ditutup enam orang yang mewakili dua kubu itu pun saling bersalaman dan berangkulan.
Menandakan sebuah pesta demokrasi sudah seharusnya disambut bukan dengan permusuhan. (*)