Jutaan bintang tersenyum di langit Bandung pada malam yang cerah, Minggu menjelang pukul 21.30 WIB. Belasan orang duduk di peron menunggu kereta terakhir menuju Jakarta sambil menikmati "live" musik yang tersuguh.
Alunan suara sang vokalis diiringi petikan gitar "kapok" dipadu gitar listrik memanjakan telinga. Lagu-lagu pop yang sedang hits ditembangkankan satu persatu.
"Live" musik akustik itu merupakan inovasi PT KAI untuk memanjakan penumpang yang sedang menunggu di stasiun kereta sehigga tidak bosan menunggu.
Alunan musik itu masih terdengar. Namun posisi sang vokalis sudah berganti. Pemuda kurus berkaca mata sekarang duduk di kursi menghadap microfon. Mengutak-atik smartphone sebentar, mencari lagu yang akan dinyanyikan. Lalu mengalunlah suara itu, mendayu-dayu di peron Stasiun Bandung.
Puluhan orang yang sedang menunggu kereta seperti kunang-kunang ditarik kerlip lampu, mendekat menikmati lagu Batak yang dinyanyikannya, "Sai Anju Ma Au". Di salah satu sudut, sepasang penganten baru mesra saling peluk menikmati merdu suaranya.
Di sisi lain, dua orang perempuan mematikan semua aplikasi di ponselnya dan mulai merekam video penampilan yang tiba-tiba itu.
Malam makin larut di Bandung saat lagu itu berakhir. Namun kereta masih belum tiba. Lalu suara pemuda ceking berkaca mata itu, Riki Chandra namanya, kembali mengalun membawakan sebuah tembang lawas dari Ranah Minang. Lagu Minang di Bumi Parahyangan, "Pulanglah Uda".
Duh, suara yang syahdu itu seakan mengajak untuk membeli karcis argo parahyangan dan pulang kembali ke Ranah Minang. Padahal, saya baru saja sampai di Bandung.
Puluhan pasang mata melirik pemuda kurus yang datang entah dari mana itu, yang mengalunkan lagu Minang di peron stasiun paling ujung Argo Parahyangan.
Seorang laki-laki paruh baya memejamkan mata menikmati alunan lagu itu, sesekali terlihat bibirnya mengikuti lirik yang lupa-lupa ingat di kepalanya.
Mungkin, ia juga seorang pria Minang yang mengikuti kerasnya hati dan kokohnya kaki, merantau ke kota itu. Lama tak pulang terobati malam itu ; Pulanglah Uda.....
*****
Kreativitas itu sepertinya memang lekat dengan Kota Bandung. Tidak hanya di stasiun, di berbagai sudut kota terlihat konsep kreativ yang menggabungkan kemegahan masa lalu dan fleksibilitas kekinian dengan sangat apik.
Bangunan tua bisa ditemui hampir di semua sudut kota, terpelihara dengan baik bahkan dimanfaatkan sebagai tempat usaha yang kreatif. Banyak kafe unik dengan suasana "oldish" yang bisa dinikmati dan tentu saja jadi lokasi yang menarik untuk spot foto.
Pedestrian juga menjadi hal yang menarik di kota itu. Lebar dan nyaman untuk dilalui. Pada beberapa titik yang terlindung, disediakan tempat duduk untuk wisatawan dengan pemandangan yang menawan, gedung-gedung tua penuh sejarah, yang membawa angan pada waktu puluhan tahun yang berlalu.
Pada sejumlah titik juga dihiasi seni instalasi yang unik memancing imajinasi dan tentu saja "instagramable". Selain itu, pejalan kaki mendapatkan penghargaan lebih di ibu kota Jawa Barat itu. Pada beberapa persimpangan terdapat lampu lalu lintas yang dimodifikasi. Disediakan sebuah tombol khusus yang bisa ditekan kapan saja oleh pejalan kaki jika ingin menyeberang.
Lima detik setelah tombol itu di tekan, secara otomatis lampu lalu lintas akan berubah bewarna merah selama 15 detik dan kendaraan otomatis berhenti.
Melihat Bandung, mengingatkan saya pada Kampung Pondok di Padang, Sumatera Barat. Ada banyak persamaan antara dua daerah ini, terutama banyaknya bangunan tua yang masih berdiri kokoh dan kondisi jalan yang khas, sempit namun terlindung.
Bahkan Kampung Pondok mungkin memiliki kelebihan yaitu adanya sungai Batang Harau yang bermuara ke Pantai Padang dan dijadikan tempat sandar untuk kapal-kapal wisata.
Nuansa jingga di bibir sungai itu, saat senja membawa suasana romantis yang sungguh menggetarkan.
Sayang, pengelolaan antara Kampung Pondok dan Bandung tidak sama. Terbentang jurang yang lebar antara keduanya, meski sama memiliki visi pariwisata.
Meski sebagian bangunan tua di Kampung Pondok sudah dipugar dan dikelola untuk kepentingan pariwisata, namun masih banyak yang terbengkalai hingga menyisakan pemandangan tak sempurna. Pembenahan sudah dilakukan oleh pemerintah daerah setempat, bahkan Sungai Batang Harau juga dipercantik. Pedestrian dibangun agar “Kota Tua” itu kembali bisa bersinar.
Kafe-kafe bernuansa "oldish" juga menjamur di berbagai sudut, sebagian malah telah menjadi favorit bagi wisatawan terutama wisatawan asing.
Pemerintah daerah bersama komunitas Tionghoa juga mulai menggelar even-even berbasis budaya yang berpotensi menarik wisatawan untuk datang setiap tahun.
Perkembangan Kampung Pondok saat ini sepertinya sudah menuju arah yang tepat. Mudah-mudahan, pada masa depan, Kota Tua Padang bisa seperti Kota Tua di Bandung dengan ciri khas sendiri. Mudah-mudahan itu bukan hanya sekadar mimpi di siang bolong. ****