Tuapejat, (Antaranews Sumbar) - Selain sebagai sebuah komunitas masyarakat adat, Mentawai yang berada di Sumatera Barat memiliki banyak kearifan lokal selain keberadaan tato maupun sikerei atau dukun tradisional.
Salah satu kearifan lokal dari daerah tersebut adalah dalam bidang kuliner, sejak zaman dahulu mereka sudah bertahan hidup dengan menjadikan sagu sebagai makanan pokok.
Sagu tersebut dapat diolah menjadi berbagai macam penganan, untuk menikmatinya, penganan itu dapat dicampur dengan beraneka makanan tambahan, seperti ikan maupun kerang air tawar atau yang biasa disebut dengan lokan.
Salah satu olahan sagu tersebut adalah sagu kapurut, penganan ini dimasak dengan cara dipanggang setelah dibungkus di dalam daun sagu, sagu tersebut dapat dicampur dengan sedikit garam dan parutan kelapa.
"Sagu kapurut dapat dipanggang selama lebih kurang 30 menit," kata salah seorang masyarakat Mentawai, Marta Salakopak saat menyajikan penganan sagu dalam rangkaian kegiatan Festival Masyarakat Adat di Tuapejat, Kamis.
Menurutnya, selain itu sagu juga dapat diolah menjadi penganan sagu kaobbuk, yaitu sagu yang dimasak di dalam bambu dengan cara dipanggang selama 10 hingga 15 menit.
Sebagai makanan pokok, sagu masih dapat diolah menjadi berbagai penganan lain, diantaranya jadi aneka kue, serta lempang sagu yang dimasak di dalam periuk dengan campuran parutan kelapa dan gula secukupnya.
"Bagi kami masyarakat Mentawai, sagu harus ada untuk makanan sehari-hari, berbeda dengan nasi, kalau tidak ada ya tidak masalah," ujarnya.
Kehidupan masyarakat Mentawai sangat bergantung dengan keberadaan hutan, salah satunya adalah ketergantungan terhadap aneka tumbuhan untuk sumber makanan, salah satunya adalah pohon sagu.
Salah seorang sikerei, Aikub Sakaliau mengatakan hutan menjadi sumber kehidupan di dalam kehidupan, salah satunya karena sumber makanan mereka tersimpan di dalamnya. (*)