Menelusuri sejarah di Ngalau Tompok Tanah Datar
Dari kejauhan, suara genset atau pembangkit listrik berbahan bakar solar terdengar berdengung memenuhi udara kaki perbukitan di daerah Nagari Situmbuak Kecamatan Salimpauang Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Tidak ada yang berbeda dari kampung itu, kecuali lalu lalang beberapa orang baru yang setiap pagi berombongan menuju kaki bukit di ujung persawahan dan baru kembali di sore harinya.
Genset tersebut merupakan salah satu sumber listrik bagi mereka yang telah mulai melakukan aktifitas sejak tanggal 11 Juli 2018 di dalam salah satu goa yang berada di barisan perbukitan.
Di dalam goa yang bagi masyarakat sekitar lebih dikenal dengan nama Ngalau Tompok Syoiah tersebut, beberapa orang tengah sibuk menggali tanah pada beberapa titik yang telah ditentukan.
Goa gelap itu menjadi ramai semenjak kedatangan tim peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara yang bertujuan untuk melakukan eskavasi atau penggalian pada goa yang diprediksi menyimpan potongan sejarah kehidupan masyarakat zaman dahulu.
Tak kurang dari dua puluh orang terlibat dalam kegiatan tersebut, mulai dari peneliti dari Balar Sumut, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, mahasiswa Arkeologi Universitas Jambi serta beberapa masyarakat setempat.
"Dari Balar Sumut terdapat tiga orang arkeolog serta ditambah dengan satu orang ahli geologi untuk melakukan eskavasi ini," kata Ketua tim peneliti, Nenggih Susilowati.
Informasi terkait keberadaan goa ini menurutnya sudah diterima sejak tahun 2015 lalu, akan tetapi itu masih berupa informasi umum, belum diketahui pasti apakah goa tersebut termasuk goa prasejarah atau tidak.
Setelah dilakukan survei, kemudian ditemukan beberapa temuan seperti menhir, makam semu, serta 'rock art' atau gambar pada dinding goa, serta beberapa benda yang merupakan hasil galian.
Berangkat dari temuan tersebut maka selanjutnya pihaknya memutuskan untuk melakukan eskavasi untuk mengumpulkan bukti-bukti dari peninggalan yang ada dalam goa tersebut.
Temuan Budaya Megalitikum
Adanya bukti bahwa goa ini pernah dimanfaatkan sejak zaman megalit atau zaman batu besar adalah dengan ditemukannya menhir dan makam semu yang ada di tengah-tengah goa.
Temuan tradisi megalit ini tidak dapat dipastikan periodesasinya, sebab menurut Nenggih keberlangsungan budaya atau tardisi itu berbeda pada tiap-tiap daerah, bahkan ada tradisi megalit yang masih eksis ketika sudah memasuki zaman sejarah.
Sementara tradisi megalit yang ada di Ngalau Tompok bisa jadi sejajar dengan zaman Adityawarman atau pada kisaran abad ke-14 masehi, sebab pada masa tersebut di daerah Tanah Datar terdapat beberapa prasasti yang tertulis di atas batu dan bisa jadi tradisi megalit ini sudah ada sejak masa tersebut.
Adanya perlakuan khusus terhadap goa ini juga terlihat dari keberadaan menhir yang berdiri di tengah-tengah goa, batuan tersebut diprediksi didatangkan dari goa lain, sebab keberadaan stalagmit pada goa itu tidak seperti pada goa lainnya.
"Akan tetapi hal ini masih berupa dugaan, karena kami masih menunggu hasil analisa pakar geologi untuk menjelaskan hal tersebut," ujarnya.
Selain itu, keberadaan makam semu juga menjadi indikasi lain dari eksistensi tradisi megalit, makam tersebut memiliki posisi menghadap ke arah timur dan barat, yang mana pada kedua sisi tersebut terdapat Gunung Marapi dan Sago.
'Rock Art'
Temuan lain yang juga juga berkaitan dengan budaya megalit ialah adanya 'rock art' atau lukisan dinding yang terdapat pada dinding goa, pada gambar tersebut terdapat beberapa motif salah satunya adalah motif manusia kangkang.
Media 'rock art' sendiri dapat berupa dinding gua, ceruk, tebing karang, bongkahan batu dan lain-lain, selain itu 'rock art' tersebut pada umumnya menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada masa tertentu.
Pada tahun 2017 lalu, pihak Balar Sumut sengaja membawa pakar aksara untuk melihat simbol-simbol yang saling tumpang tindih pada dinding Ngalau Tompok tersebut.
Beberapa simbol yang ada diantaranya memiliki bentuk manusia, matahari, daun, jala, serta adanya indikasi simbol berbentuk bulat dan silang yang diperkirakan berkaitan dengan penanggalan atau penghitungan hari.
Nenggih menjelaskan, karena tidak adanya aksara pembanding di daerah Minangkabau, maka simbol tersebut kemudian dibandingkan dengan penanggalan batak.
Menurutnya penemuan tersebut juga tidak dapat dikatakan sama dengan penanggalan batak, akan tetapi indikasinya mirip dan biasa digunakan untuk penanggalan yang berkaitan dengan pertanian, seperti penentuan tanggal panen atau menanam.
Selain itu pada lukisan dinding tersebut juga ditemukan beberapa simbol yang diduga sebagai aksara, seperti aksara yang terdapat pada prasasti, akan tetapi aksara tersebut tidak dapat terbaca jumlahnya juga tidak banyak.
Peneliti biasa menyebutnya dengan istilah aksara pascapalawa, beberapa jenis aksara yang ada pada kategori ini adalah aksara batak, aksara melayu serta aksara Jawa Kuno.
Sama dengan temuan sebelumnya, prediksi awal terkait aksara ini ada sejak abad ke-18, akan tetapi juga bisa berasal dari zaman Adityawarman karena belum ditemukan arang untuk diteliti lebih lanjut guna mengetahui tahun ia digunakan.
Sementara itu temuan berupa keramik yang ada pada goa ini juga diperkirakan berasal dari abad ke-18. Selain keramik masih ada beberapa temuan lain, seperti tulang, gigi, gerabah, kerang dan batu kapur.
Hunian Sementara
Dari beberapa temuan yang ada, Nenggih memprediksi bahwa Nagalau Tompok Syoiah merupakan hunian sementara oleh masyarakat, bukanlah hunian tetap.
Menurutnya, hal tersebut diketahui dari banyaknya temuan yang didapatkan, sejak mengadakan penggalian beberapa hari yang lalu pihaknya belum mendapatkan temuan dalam jumlah yang banyak.
"Sedikitnya temuan mengindikasikan bahwa dahulunya goa ini tidak digunakan sebagai hunian tetap, sebab apabila menjadi hunian tetap maka jumlah temuan biasanya akan lebih banyak," ujarnya.
Ia menambahkan, pada goa tersebut penggalian dilakukan pada beberapa titik, salah satunya adalah pada bagian pintu masuk goa, sebab dahulu aktifitas biasanya banyak dilakukan di sekitar lokasi tersebut karena adanya cahaya yang datang dari luar goa.
Selain itu goa ini juga diprediksi sebagai tempat dilangsungkannya beberapa ritual keagamaan dan aktifitas di dalamnya hanya sebatas untuk menjalankan ritual, bukan untuk tinggal atau menetap dalam waktu yang lama.
Pada salah satu dinding goa juga ditemukan gambar dinding dengan aksara arab, diprediksi goa ini pernah dijadikan sebagai tempat menyepi bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ketika pertama kali masuk ke dalam goa, di dalamnya ia masih menemukan sesajian, akan tetapi tidak diketahui secara pasti tujuan dari diletakkannya sesajian tersebut.
"Pemanfaatan goa lebih kepada tradisi atau ritual-ritual keagamaan serta juga berkaitan dengan pertanian dan beberapa tradisi atau ritual tersebut hingga saat ini masih ada," katanya.
Keberadaan sebuah tradisi menurutnya tidak semata-mata hilang ketika ada kebudayaan atau tradisi baru. Biasanya sebuah tradisi yang berasal dari kebudayaan sebelumnya masih akan bertahan sekalipun telah ada kebudayaan baru.
Terkait dengan kesimpulan resmi terkait kegiatan ekskavasi ini baru dapat disampaikan setelah dilakukannya penelitian dan analisa mendalam terhadap temuan yang ada.
Temuan-temuan tersebut menurutnya perlu diteliti lebih lanjut pada laboratorium untuk mengetahui spesifikasi serta tahun kapan temuan-temuan tersebut dimanfaatkan.
Selain itu ekskavasi tersebut juga akan terus dilakukan hingga tanggal 11 Agustus 2018 nanti, sehingga diharapkan dapat ditemukan lebih banyak temuan lain.
Sebelumnya Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, Nurmatias mengatakan di daerah Tanah Datar terdapat beberapa temuan yang mengindikasikan peradaban
prasejarah. Beberapa temuan tersebut ada di dalam ceruk atau goa yang tersebar pada beberapa daerah di kawasan tersebut.
Ia menyebutkan beberapa tahun lalu pihaknya menemukan beberapa buah ceruk atau gua yang di dalamnya terdapat ukiran atau goresan, beberapa diantara berada di Ngalau Kapalo Lakuak atau Ngalau Bundo Kanduang Jorong Melati Lubuak Jantan Lintau dan Ngalau Tompok Syoiah.
Menurutnya gambar-gambar tersebut bermotif tumpal, motif belah ketupat, motif panah dan juga motif 'anthropomorphic' atau motif manusia. (*)
Tidak ada yang berbeda dari kampung itu, kecuali lalu lalang beberapa orang baru yang setiap pagi berombongan menuju kaki bukit di ujung persawahan dan baru kembali di sore harinya.
Genset tersebut merupakan salah satu sumber listrik bagi mereka yang telah mulai melakukan aktifitas sejak tanggal 11 Juli 2018 di dalam salah satu goa yang berada di barisan perbukitan.
Di dalam goa yang bagi masyarakat sekitar lebih dikenal dengan nama Ngalau Tompok Syoiah tersebut, beberapa orang tengah sibuk menggali tanah pada beberapa titik yang telah ditentukan.
Goa gelap itu menjadi ramai semenjak kedatangan tim peneliti dari Balai Arkeologi (Balar) Sumatera Utara yang bertujuan untuk melakukan eskavasi atau penggalian pada goa yang diprediksi menyimpan potongan sejarah kehidupan masyarakat zaman dahulu.
Tak kurang dari dua puluh orang terlibat dalam kegiatan tersebut, mulai dari peneliti dari Balar Sumut, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatera Barat, mahasiswa Arkeologi Universitas Jambi serta beberapa masyarakat setempat.
"Dari Balar Sumut terdapat tiga orang arkeolog serta ditambah dengan satu orang ahli geologi untuk melakukan eskavasi ini," kata Ketua tim peneliti, Nenggih Susilowati.
Informasi terkait keberadaan goa ini menurutnya sudah diterima sejak tahun 2015 lalu, akan tetapi itu masih berupa informasi umum, belum diketahui pasti apakah goa tersebut termasuk goa prasejarah atau tidak.
Setelah dilakukan survei, kemudian ditemukan beberapa temuan seperti menhir, makam semu, serta 'rock art' atau gambar pada dinding goa, serta beberapa benda yang merupakan hasil galian.
Berangkat dari temuan tersebut maka selanjutnya pihaknya memutuskan untuk melakukan eskavasi untuk mengumpulkan bukti-bukti dari peninggalan yang ada dalam goa tersebut.
Temuan Budaya Megalitikum
Adanya bukti bahwa goa ini pernah dimanfaatkan sejak zaman megalit atau zaman batu besar adalah dengan ditemukannya menhir dan makam semu yang ada di tengah-tengah goa.
Temuan tradisi megalit ini tidak dapat dipastikan periodesasinya, sebab menurut Nenggih keberlangsungan budaya atau tardisi itu berbeda pada tiap-tiap daerah, bahkan ada tradisi megalit yang masih eksis ketika sudah memasuki zaman sejarah.
Sementara tradisi megalit yang ada di Ngalau Tompok bisa jadi sejajar dengan zaman Adityawarman atau pada kisaran abad ke-14 masehi, sebab pada masa tersebut di daerah Tanah Datar terdapat beberapa prasasti yang tertulis di atas batu dan bisa jadi tradisi megalit ini sudah ada sejak masa tersebut.
Adanya perlakuan khusus terhadap goa ini juga terlihat dari keberadaan menhir yang berdiri di tengah-tengah goa, batuan tersebut diprediksi didatangkan dari goa lain, sebab keberadaan stalagmit pada goa itu tidak seperti pada goa lainnya.
"Akan tetapi hal ini masih berupa dugaan, karena kami masih menunggu hasil analisa pakar geologi untuk menjelaskan hal tersebut," ujarnya.
Selain itu, keberadaan makam semu juga menjadi indikasi lain dari eksistensi tradisi megalit, makam tersebut memiliki posisi menghadap ke arah timur dan barat, yang mana pada kedua sisi tersebut terdapat Gunung Marapi dan Sago.
'Rock Art'
Temuan lain yang juga juga berkaitan dengan budaya megalit ialah adanya 'rock art' atau lukisan dinding yang terdapat pada dinding goa, pada gambar tersebut terdapat beberapa motif salah satunya adalah motif manusia kangkang.
Media 'rock art' sendiri dapat berupa dinding gua, ceruk, tebing karang, bongkahan batu dan lain-lain, selain itu 'rock art' tersebut pada umumnya menggambarkan kehidupan sosial ekonomi dan kepercayaan masyarakat pada masa tertentu.
Pada tahun 2017 lalu, pihak Balar Sumut sengaja membawa pakar aksara untuk melihat simbol-simbol yang saling tumpang tindih pada dinding Ngalau Tompok tersebut.
Beberapa simbol yang ada diantaranya memiliki bentuk manusia, matahari, daun, jala, serta adanya indikasi simbol berbentuk bulat dan silang yang diperkirakan berkaitan dengan penanggalan atau penghitungan hari.
Nenggih menjelaskan, karena tidak adanya aksara pembanding di daerah Minangkabau, maka simbol tersebut kemudian dibandingkan dengan penanggalan batak.
Menurutnya penemuan tersebut juga tidak dapat dikatakan sama dengan penanggalan batak, akan tetapi indikasinya mirip dan biasa digunakan untuk penanggalan yang berkaitan dengan pertanian, seperti penentuan tanggal panen atau menanam.
Selain itu pada lukisan dinding tersebut juga ditemukan beberapa simbol yang diduga sebagai aksara, seperti aksara yang terdapat pada prasasti, akan tetapi aksara tersebut tidak dapat terbaca jumlahnya juga tidak banyak.
Peneliti biasa menyebutnya dengan istilah aksara pascapalawa, beberapa jenis aksara yang ada pada kategori ini adalah aksara batak, aksara melayu serta aksara Jawa Kuno.
Sama dengan temuan sebelumnya, prediksi awal terkait aksara ini ada sejak abad ke-18, akan tetapi juga bisa berasal dari zaman Adityawarman karena belum ditemukan arang untuk diteliti lebih lanjut guna mengetahui tahun ia digunakan.
Sementara itu temuan berupa keramik yang ada pada goa ini juga diperkirakan berasal dari abad ke-18. Selain keramik masih ada beberapa temuan lain, seperti tulang, gigi, gerabah, kerang dan batu kapur.
Hunian Sementara
Dari beberapa temuan yang ada, Nenggih memprediksi bahwa Nagalau Tompok Syoiah merupakan hunian sementara oleh masyarakat, bukanlah hunian tetap.
Menurutnya, hal tersebut diketahui dari banyaknya temuan yang didapatkan, sejak mengadakan penggalian beberapa hari yang lalu pihaknya belum mendapatkan temuan dalam jumlah yang banyak.
"Sedikitnya temuan mengindikasikan bahwa dahulunya goa ini tidak digunakan sebagai hunian tetap, sebab apabila menjadi hunian tetap maka jumlah temuan biasanya akan lebih banyak," ujarnya.
Ia menambahkan, pada goa tersebut penggalian dilakukan pada beberapa titik, salah satunya adalah pada bagian pintu masuk goa, sebab dahulu aktifitas biasanya banyak dilakukan di sekitar lokasi tersebut karena adanya cahaya yang datang dari luar goa.
Selain itu goa ini juga diprediksi sebagai tempat dilangsungkannya beberapa ritual keagamaan dan aktifitas di dalamnya hanya sebatas untuk menjalankan ritual, bukan untuk tinggal atau menetap dalam waktu yang lama.
Pada salah satu dinding goa juga ditemukan gambar dinding dengan aksara arab, diprediksi goa ini pernah dijadikan sebagai tempat menyepi bagi orang yang ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ketika pertama kali masuk ke dalam goa, di dalamnya ia masih menemukan sesajian, akan tetapi tidak diketahui secara pasti tujuan dari diletakkannya sesajian tersebut.
"Pemanfaatan goa lebih kepada tradisi atau ritual-ritual keagamaan serta juga berkaitan dengan pertanian dan beberapa tradisi atau ritual tersebut hingga saat ini masih ada," katanya.
Keberadaan sebuah tradisi menurutnya tidak semata-mata hilang ketika ada kebudayaan atau tradisi baru. Biasanya sebuah tradisi yang berasal dari kebudayaan sebelumnya masih akan bertahan sekalipun telah ada kebudayaan baru.
Terkait dengan kesimpulan resmi terkait kegiatan ekskavasi ini baru dapat disampaikan setelah dilakukannya penelitian dan analisa mendalam terhadap temuan yang ada.
Temuan-temuan tersebut menurutnya perlu diteliti lebih lanjut pada laboratorium untuk mengetahui spesifikasi serta tahun kapan temuan-temuan tersebut dimanfaatkan.
Selain itu ekskavasi tersebut juga akan terus dilakukan hingga tanggal 11 Agustus 2018 nanti, sehingga diharapkan dapat ditemukan lebih banyak temuan lain.
Sebelumnya Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumbar, Nurmatias mengatakan di daerah Tanah Datar terdapat beberapa temuan yang mengindikasikan peradaban
prasejarah. Beberapa temuan tersebut ada di dalam ceruk atau goa yang tersebar pada beberapa daerah di kawasan tersebut.
Ia menyebutkan beberapa tahun lalu pihaknya menemukan beberapa buah ceruk atau gua yang di dalamnya terdapat ukiran atau goresan, beberapa diantara berada di Ngalau Kapalo Lakuak atau Ngalau Bundo Kanduang Jorong Melati Lubuak Jantan Lintau dan Ngalau Tompok Syoiah.
Menurutnya gambar-gambar tersebut bermotif tumpal, motif belah ketupat, motif panah dan juga motif 'anthropomorphic' atau motif manusia. (*)