Sarilamak, (Antaranews Sumbar) - Petani kakao di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, mengharapkan pemerintah daerah setempat memberikan penyuluhan secara berkala mengenai komoditas bahan baku cokelat itu.
"Saat ini produksi kakao tidak optimal karena kakao yang dipanen banyak busuk dan hitam sehingga kualitasnya tidak bagus," kata salah seorang petani, Risman (60) di Sarilamak, Jumat.
Kondisi kakao saat ini ketika dipanen biji kakao banyak yang membusuk dan hitam sehingga kualitas dan nilai jualnya rendah.
Makanya pemerintah daerah diharapkan dapat memberikan penyuluhan secara berkala mengenai cara budidaya tanaman kakao, mulai dari memilih bibit yang bagus agar tidak mudah terserang hama dan bagaimana perawatannya.
Ia menyebutkan jika produksi kakao lancar dan kualitasnya bagus maka hasil penjualannya akan bisa menutupi kebutuhan sehari-hari.
"Karena pohon kakao diserang penyakit menyebabkan penghasilan juga tidak menentu," katanya.
Selisih harga kakao dengan biji menghitam dibanding dengan kakao bekualitas bagus mencapai Rp5.000 per kilogram.
Jika harga kakao saat ini Rp26.000 per kilogram, maka kakao dengan kualitas rendah hanya dihargai Rp20.000 per kilogram.
Untuk itu ia meminta pemerintah daerah melakukan penyuluhan dan juga memberi bantuan bibit kakao yang unggul sehingga produksi petani bisa stabil.
Sebelumnya Kepala Bidang Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Sumbar, Akhirudin menyebutkan produksi kakao di Provinsi Sumatera Barat mencapai 66.917 ton per tahun dengan luas tanam 145.735 hektare.
Untuk produksi kakao di Limapuluh Kota rata-rata per tahun mencapai 4.394 ton dengan area tanam 10.305 hektare.
"Kakao ini berbuah sepanjang tahun dan dapat dipanen setiap minggu," katanya.
Menurutnya tanaman kakao dapat tumbuh dimana saja, terutama di daerah yang memiliki ketinggian nol hingga 800 meter dari permukaan laut.
Prospek pasar kakao cukup luas karena kebutuhan dunia untuk kakao terus meningkat sekitar tiga persen setiap tahunnya.
Kebutuhan biji kakao fermentasi di Indonesia juga tinggi, kata dia, hal itu terlihat sampai saat ini Indonesia masih mengimpor 30.000 ton biji kakao per tahun.
"Selain itu untuk berkebun kakao tidak membutuhkan lahan yang luas, di pekarangan sekitar rumah juga bisa," kata dia. (*)