Menikmati beragam seni budaya di Pasa Harau
Lembah Harau yang berada di Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat (Sumbar), yang terkenal dengan pesona alamnya menjadi sangat berbeda semenjak Jumat (13/7) siang, dari kejauhan alunan musik terdengar hilang-hilang timbul terbawa angin.
Sebuah lapangan bola sudah disulap menjadi gelanggang pementasan seni, panggung dengan hiasan botongan bambu yang berjejer terlihat begitu eksotis dengan latar belakang bukit kapur yang membentang di kawasan tersebut.
Payung-payung besar yang biasanya digunakan oleh para pedagang di pasar tradisional terhampar di depan pentas, hal tersebut senada dengan nama kegiatan perhelatan seni dan budaya yang digelar selama tiga hari berturut-turut mulai dari tanggal 13 hingga 15 Juli 2018 ini, yaitu Pasa Harau Culture and Art Festival 3.
Berbagai pertunjukan seni sudah dipersiapkan untuk menghibur para pengunjung dan masyarakat setempat, mulai dari penampilan komposisi musik, tarian kontemporer, tarian kolosal serta pertujukan kesenian tradional Minangkabau, yaitu randai.
Para penampil dalam kegiatan tersebut tidak hanya seniman yang berasal dari Sumbar, melainkan melibatkan beberapa seniman yang berasal dari komunitas yang berasal dari luar daerah, seperti Riau, Lampung, Yogyakarta dan bahkan Thailand.
Direktur Pasa Harau, Dedi Novaldi menyebutkan para penampil tersebut dipilih setelah melakukan kurasi terhadap banyak komunitas yang mendaftar dari beberapa daerah dan negara, seperti Yogyakarta, Riau, Lampung Jakarta, Bandung Thailand dan Malaysia.
"Setelah melihat kesesuaian antara garapan karya seni beberapa komunitas yang mendaftar dengan konsep yang telah disiapkan, maka terpilihlah 12 komunitas dan sanggar yang akan berpartisipasi dalam kegiatan ini," katanya.
Beberapa komunitas yang ikut terlibat dalam kegiatan ini menurutnya adalah Sanggar Puti Ambang Bulan, Komunitas atau Sanggar Bintang Harau, Bengel Seni Minanga Centre, Sanggar Puti Indah Jalito, Gauang Marawa dan Rantak Sadaram.
Selanjutnya adalah Sanggar Bathin Galang, Sanggar Miss Tatho, Glinjo, Jhon Selon and Family, Dighotal serta Marsini Komunitas Budaya Balingka.
Pada malam pertama, kolaborasi antara tiga koreorafer asal Indonesia dan Thailand menampilkan karya tari kolosal yang melibatkan 25 orang penari dengan durasi penampilan selama lima menit.
Koreografer asal Sumbar, Siska Aprisia mengatakan tarian tersebut menjadi tarian selamat datang yang gerakannya berangkat dari gerak dasar tari penyambut tamu yang biasa digunakan di Sumbar, Lampung dan Thailand.
Dari Sumbar gerakan yang diadopsi berasal dari gerakan Ulu Ambek, semacam gerakan silat yang biasa digunakan saat menyambut tamu, sementara dari Lampung gerakan yang diadopsi dari tari Sigah Pengunten dengan gerak Samber Melayang sebagai gerakan dasar.
Sementara dari Thailand, Koreografer Visaka Saeui menuturkan ia mengambil gerakan dasar dari tari Krong Yaw, yaitu sebuah tari berpasangan sebagai wujud kebahagiaan.
Tidak hanya itu, beberapa anak dari Komunitas Bintang Harau juga menampilkan beberapa tarian kontemoporer yang begitu menarik perhatian penonton, dengan lincahnya mereka mereka meliuk-liuk sembari diiringi musik dihadapan para penonton dengan memainkan tudung yang biasa dipakai petani.
Pada hari lainnya, sebuah tradisi budaya masyarakat lokal dalam melaksanakan pesta perkawinan pun ikut ditampilkan, yaitu Alua Maanta marapulai.
Prosesi tersebut pun tidak luput dari perhatian pengunjung, sebagaimana pesta yang sebenarnya, sepasang pengantin Minang diarak keliling kampung dengan diiringi kesenian tradisional.
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Harau, Defendi Datuak Patiah Nan Gamuak mengatakan prosesi Alua Maanta Marapulai atau mengantar pengantin pria tersebut merupakan salah satu prosesi dalam rangkaian pelaksanaan pesta perkawinan di Minangkabau.
Ia menjelaskan, si mempelai pria atau marapulai awalnya dijemput oleh perwakilan pihak mempelai wanita dengan sebutan Manjapuik Marapulai.
Menurut dia, setelah itu baru dilanjutkan dengan arak-arakan mempelai pria bersama pihak keluarganya menuju ke rumah mempelai wanita dengan diIringi kesenian khas Minang yaitu Talempong Pacik.
"Arak-arakan ini bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat luas bahwa di daerah tersebut terdapat sepasang pria dan wanita yang telah melepas masa lajang," ujarnya.
Tak hanya berhenti pada atraksi budaya tersebut, siang harinya penambilan komposisi musik oleh beberapa anak muda yang tergabung dalam komunitas Gauang Marawa ikut memeriahkan kegiatan Pasa Harau.
Pada garapan komposisi tersebut beberapa kesenian khas Minang pun dimunculkan, yaitu Salawaik Dulang yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar, alunan musik yang harmonis ditambah dengan alunan vokal para pemain Salawaik Dulang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang hadir.
Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang untuk wilayah kerja Sumbar, Bengkulu dan Sumatera Selatan, Suarman menyebutkan kebudayaan memiliki peran yang penting dalam pengembangan pariwisata.
Ia menyebutkan, hal tersebut berangkat dari besarnya potensi pariwisata di setiap daerah yang berakar dari kebudayaan lokal. Selain itu kebudayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat merupakan salah satu kunci pembangunan yang dapat terwujud dengan menggali serta melestarikan kebudayaan sebagai aset pariwisata.
"Untuk membangun karakter serta ekonomi masyarakat Harau maka dapat berangkat dari kebudayaan yang ada," ujarnya.
Asisten Deputi Pengembangan Pariwisata I Regional I Kementrian Pariwisata Indonesia, Masruroh menyebutkan terdapat tiga hal yang harus ada pada setiap pelaksanaan even pariwisata.
Ia menyebutkan, hal pertama dari ketiga hal tersebut ialah memperhatikan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, baik sebagai pelaku maupun sebagai penonton.
Hal kedua menurutnya adalah kegiatan even pariwisata yang bertujuan untuk pelestarian budaya juga harus berdampak pada perekonomian masyarakat. Sementara hal ketiga adalah destinasi wisata tempat even dilaksanakan hendaklah dikunjungi oleh banyak wisatawan sebagai dampak dari pelaksanaan even tersebut.
"Rangkaian kegiatan Pasa Harau Culture and Art Festival yang saat ini diselenggarakan diharapkan dapat menghadirkan tiga tersebut," ujarnya.
Ia menambahkan Lembah Harau memiliki potensi yang besar, apabila dikemas dengan baik untuk wisatawan maka selanjutnya destinasi wisata tersebut akan dapat bersaing dengan destinasi wisata lain.
Sebagai sebuah kegiatan yang ikut menggali nilai-nilai kearifan lokal seperti penampilan seni budaya ini diharapkan dapat ikut melestarikan budaya.
Defendi Datuak Patiah Nan Gamuak yang juga merupakan tokoh adat di daerah tersebut megharapkan dengan ditampilkannya salah satu tradisi yang ada pada masyarakat Harau diharapkan dapat melestarikan tradisi tersebut dan dikenal oleh masyarakat luas. (*)
Sebuah lapangan bola sudah disulap menjadi gelanggang pementasan seni, panggung dengan hiasan botongan bambu yang berjejer terlihat begitu eksotis dengan latar belakang bukit kapur yang membentang di kawasan tersebut.
Payung-payung besar yang biasanya digunakan oleh para pedagang di pasar tradisional terhampar di depan pentas, hal tersebut senada dengan nama kegiatan perhelatan seni dan budaya yang digelar selama tiga hari berturut-turut mulai dari tanggal 13 hingga 15 Juli 2018 ini, yaitu Pasa Harau Culture and Art Festival 3.
Berbagai pertunjukan seni sudah dipersiapkan untuk menghibur para pengunjung dan masyarakat setempat, mulai dari penampilan komposisi musik, tarian kontemporer, tarian kolosal serta pertujukan kesenian tradional Minangkabau, yaitu randai.
Para penampil dalam kegiatan tersebut tidak hanya seniman yang berasal dari Sumbar, melainkan melibatkan beberapa seniman yang berasal dari komunitas yang berasal dari luar daerah, seperti Riau, Lampung, Yogyakarta dan bahkan Thailand.
Direktur Pasa Harau, Dedi Novaldi menyebutkan para penampil tersebut dipilih setelah melakukan kurasi terhadap banyak komunitas yang mendaftar dari beberapa daerah dan negara, seperti Yogyakarta, Riau, Lampung Jakarta, Bandung Thailand dan Malaysia.
"Setelah melihat kesesuaian antara garapan karya seni beberapa komunitas yang mendaftar dengan konsep yang telah disiapkan, maka terpilihlah 12 komunitas dan sanggar yang akan berpartisipasi dalam kegiatan ini," katanya.
Beberapa komunitas yang ikut terlibat dalam kegiatan ini menurutnya adalah Sanggar Puti Ambang Bulan, Komunitas atau Sanggar Bintang Harau, Bengel Seni Minanga Centre, Sanggar Puti Indah Jalito, Gauang Marawa dan Rantak Sadaram.
Selanjutnya adalah Sanggar Bathin Galang, Sanggar Miss Tatho, Glinjo, Jhon Selon and Family, Dighotal serta Marsini Komunitas Budaya Balingka.
Pada malam pertama, kolaborasi antara tiga koreorafer asal Indonesia dan Thailand menampilkan karya tari kolosal yang melibatkan 25 orang penari dengan durasi penampilan selama lima menit.
Koreografer asal Sumbar, Siska Aprisia mengatakan tarian tersebut menjadi tarian selamat datang yang gerakannya berangkat dari gerak dasar tari penyambut tamu yang biasa digunakan di Sumbar, Lampung dan Thailand.
Dari Sumbar gerakan yang diadopsi berasal dari gerakan Ulu Ambek, semacam gerakan silat yang biasa digunakan saat menyambut tamu, sementara dari Lampung gerakan yang diadopsi dari tari Sigah Pengunten dengan gerak Samber Melayang sebagai gerakan dasar.
Sementara dari Thailand, Koreografer Visaka Saeui menuturkan ia mengambil gerakan dasar dari tari Krong Yaw, yaitu sebuah tari berpasangan sebagai wujud kebahagiaan.
Tidak hanya itu, beberapa anak dari Komunitas Bintang Harau juga menampilkan beberapa tarian kontemoporer yang begitu menarik perhatian penonton, dengan lincahnya mereka mereka meliuk-liuk sembari diiringi musik dihadapan para penonton dengan memainkan tudung yang biasa dipakai petani.
Pada hari lainnya, sebuah tradisi budaya masyarakat lokal dalam melaksanakan pesta perkawinan pun ikut ditampilkan, yaitu Alua Maanta marapulai.
Prosesi tersebut pun tidak luput dari perhatian pengunjung, sebagaimana pesta yang sebenarnya, sepasang pengantin Minang diarak keliling kampung dengan diiringi kesenian tradisional.
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Harau, Defendi Datuak Patiah Nan Gamuak mengatakan prosesi Alua Maanta Marapulai atau mengantar pengantin pria tersebut merupakan salah satu prosesi dalam rangkaian pelaksanaan pesta perkawinan di Minangkabau.
Ia menjelaskan, si mempelai pria atau marapulai awalnya dijemput oleh perwakilan pihak mempelai wanita dengan sebutan Manjapuik Marapulai.
Menurut dia, setelah itu baru dilanjutkan dengan arak-arakan mempelai pria bersama pihak keluarganya menuju ke rumah mempelai wanita dengan diIringi kesenian khas Minang yaitu Talempong Pacik.
"Arak-arakan ini bertujuan untuk memberitahukan kepada masyarakat luas bahwa di daerah tersebut terdapat sepasang pria dan wanita yang telah melepas masa lajang," ujarnya.
Tak hanya berhenti pada atraksi budaya tersebut, siang harinya penambilan komposisi musik oleh beberapa anak muda yang tergabung dalam komunitas Gauang Marawa ikut memeriahkan kegiatan Pasa Harau.
Pada garapan komposisi tersebut beberapa kesenian khas Minang pun dimunculkan, yaitu Salawaik Dulang yang berasal dari Kabupaten Tanah Datar, alunan musik yang harmonis ditambah dengan alunan vokal para pemain Salawaik Dulang menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang hadir.
Sementara itu, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Padang untuk wilayah kerja Sumbar, Bengkulu dan Sumatera Selatan, Suarman menyebutkan kebudayaan memiliki peran yang penting dalam pengembangan pariwisata.
Ia menyebutkan, hal tersebut berangkat dari besarnya potensi pariwisata di setiap daerah yang berakar dari kebudayaan lokal. Selain itu kebudayaan yang ada di tengah-tengah masyarakat merupakan salah satu kunci pembangunan yang dapat terwujud dengan menggali serta melestarikan kebudayaan sebagai aset pariwisata.
"Untuk membangun karakter serta ekonomi masyarakat Harau maka dapat berangkat dari kebudayaan yang ada," ujarnya.
Asisten Deputi Pengembangan Pariwisata I Regional I Kementrian Pariwisata Indonesia, Masruroh menyebutkan terdapat tiga hal yang harus ada pada setiap pelaksanaan even pariwisata.
Ia menyebutkan, hal pertama dari ketiga hal tersebut ialah memperhatikan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan tersebut, baik sebagai pelaku maupun sebagai penonton.
Hal kedua menurutnya adalah kegiatan even pariwisata yang bertujuan untuk pelestarian budaya juga harus berdampak pada perekonomian masyarakat. Sementara hal ketiga adalah destinasi wisata tempat even dilaksanakan hendaklah dikunjungi oleh banyak wisatawan sebagai dampak dari pelaksanaan even tersebut.
"Rangkaian kegiatan Pasa Harau Culture and Art Festival yang saat ini diselenggarakan diharapkan dapat menghadirkan tiga tersebut," ujarnya.
Ia menambahkan Lembah Harau memiliki potensi yang besar, apabila dikemas dengan baik untuk wisatawan maka selanjutnya destinasi wisata tersebut akan dapat bersaing dengan destinasi wisata lain.
Sebagai sebuah kegiatan yang ikut menggali nilai-nilai kearifan lokal seperti penampilan seni budaya ini diharapkan dapat ikut melestarikan budaya.
Defendi Datuak Patiah Nan Gamuak yang juga merupakan tokoh adat di daerah tersebut megharapkan dengan ditampilkannya salah satu tradisi yang ada pada masyarakat Harau diharapkan dapat melestarikan tradisi tersebut dan dikenal oleh masyarakat luas. (*)