Dalam adat Minangkabau seorang perempuan ditempatkan dalam posisi yang tinggi dan dihormati karena masyarakat setempat menganut garis keturunan dari pihak ibu atau matrilineal.
Oleh sebab itu tindak kekerasan tidak akan pernah dialami oleh perempuan Minang karena dalam tatanan adat mereka memiliki kedudukan yang terhormat.
Di Minangkabau lelaki yang menikahi seroang perempuan akan tinggal dan hidup di rumah keluarga wanita pilihannya sehingga ruang untuk melakukan kekerasan menjadi sempit.
Perempuan Minang sewaktu gadis akan dijaga oleh keluarga, kaum dan sukunya, setelah menikah wanita juga hidup di lingkungan keluarga dan adat sehingga mereka terpelihara.
Akan tetapi ironisnya, dari data yang dikumpulkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nurani Perempuan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sumatera Barat masih cukup tinggi.
Dalam kurun waktu lima tahun terakhir terjadi 480 kasus kekerasan terhadap perempuan dan 270 kasus kekerasan seksual.
Koordinator Divisi Layanan Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yanti mengungkap salah satu pemicu masih tingginya kasus kekerasan tersebut karena faktor pendidikan termasuk cara pandang yang berbeda terhadap kekerasan.
"Masih ada yang memandang kekerasan terhadap perempuan itu disebabkan faktor perempuan sendiri, padahal mereka korban tapi masih disalahkan," katanya.
Ia menyampaikan upaya pencegahan yang dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan kepada masyarakat bahkan kepada anak TK untuk memberikan pemahaman bagian tubuh yang tidak boleh disentuh.
Selain itu Nurani Perempuan juga menyediakan layanan berbasis komunitas dengan memberikan pendampingan kepada komunitas masyarakat dan meningkatkan kapasitas serta menyebar brosur pencegahan kekerasan.
Di sisi lain ia juga mendesak rancangan undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual segera dibahas di DPR apalagi sudah masuk dalam prolegnas.
Sementara Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Polresta Padang Iptu Rosza Rezky Febrian menyebutkan angka pelaporan tindakan kekerasan terhadap perempuan kepada pihak kepolisian di Padang lebih tinggi dibanding daerah lain yang ada di Sumatera Barat
"Kasus kekerasan terhadap perempuan yang masuk ke Polresta Padang sebanyak 73 kasus pada 2017 dan dua kasus kekerasan seksual terjadi pada awal tahun ini, satu kasus di bulan Januari dan satu kasus di bulan Februari," kata dia.
Meskipun demikian, angka-angka tersebut tidak memberikan gambaran utuh berapa banyak wanita yang mengalami kekerasan karena hanya sebagian kecil kekerasan yang dilaporkan kepada pihak berwajib.
Menurut dia banyak hal yang dapat dilakukan agar perempuan dapat menghindarkan diri dari kekerasan atau tindakan pelecehan seksual seperti menjaga diri dengan tidak menggunakan pakaian minim, meneguhkan iman, menjaga pergaulan sehingga dapat terjaga dari hal yang buruk.
Kemudian hal itu untuk pasangan yang telah berumah tangga adalah saling menjaga komunikasi, saling percaya dan berupaya menjadi pasangan yang baik sehingga meminimalkan terjadinya kekerasan.
"Kita berharap apabila terjadi tindakan kekerasan terhadap perempuan baik yang terjadi dalam rumah tangga atau ketika berpacaran hendaknya dilaporkan sehingga dapat diproses secara hukum. Harapannya tentu sanksi hukum akan membuat pelaku kekerasan menjadi jera untuk mengulangi perbuatannya," ujarnya.
Menyikapi hal itu Pemerintah Kota Padang akan mengoptimalkan fungsi Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) untuk mencegah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana Kota Padang, Heriyanto Rustam mengatakan P2TP2A berfungsi untuk melakukan pencegahan dan penanganan serta rehabilitasi bagi korban kekerasan.
Dalam P2TP2A, korban kekerasan seperti KDRT, eksploitasi, penelantaran akan mendapatkan berbagai pembelajaran dan pelayanan diantaranya adalah mendapatkan pendampingan hukum, bimbingan konseling oleh psikolog dan lainnya.
Sementara Bundo Kanduang Sumatera Barat Raudha Thaib menilai perlu dilakukan pendataan ke lapangan apakah perempuan yang mengalami tindak kekerasan itu merupakan orang Minang atau wanita yang hidup di Sumatera Barat.
Bisa saja yang menjadi korban kekerasan adalah wanita Minang yang telah terlepas dari ikatan keluarga atau sistem adat.
"Biasanya mereka terpengaruh budaya luar yang masuk sehingga meninggalkan sistem yang telah dibangun oleh adat dan agama," kata dia.
Ia menilai budaya tidak pernah bergeser dan berubah dan yang berubah itu adalah pandangan dan pola pikir masyarakat dalam memandang adat.
Oleh sebab itu seorang wanita Minangkabau tidak akan pernah mengalami tindak kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual, katanya.
Ia menegaskan wanita Minang selalu terpelihara dengan baik oleh keluarga mereka mulai dari orang tua, ninik mamak, kaum dan suku sehingga tidak mungkin mereka mendapatkan perlakuan yang tidak layak.
Perda Perlindungan
Akademisi dari Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unand) Padang, Sumatera Barat Charles Simabura menilai Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2013 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak perlu lebih disosialisasikan karena banyak yang belum mengetahuinya.
"Perda ini sebenarnya lebih komprehensif tidak hanya bicara soal perlindungan tapi bagaimana pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dalam empat aspek namun banyak yang belum tahu, katanya.
Menurut dia perda tersebut memuat perlindungan terhadap hak perempuan berupa pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan perlindungan kekerasan terhadap anak dan perempuan.
Akan tetapi karena belum tersosialisasi secara luas banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan jika mengalami atau menemukan kekerasan terhadap perempuan dan anak, kata dia.
Misalnya ada yang jadi korban, kemudian lapor ke polisi sementara ada lembaga-lembaga lain yang juga dapat mendampingi korban, lanjut dia.
Selain itu ia melihat politik anggaran belum sepenuhnya mendukung terlaksananya pendampingan korban kekerasan karena baru akhir-akhir ini banyak kasus mengemuka.
Ia berharap pemerintah lebih serius menyosialisasikan sebagaimana darurat narkoba sehingga kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat diantisipasi.