Agar Kekayaan Alam Tak Jadi Bencana

id bencana alam

Agar Kekayaan Alam Tak Jadi Bencana

Pelajar SD Balai Panjang Kabupaten Limapuluh Kota membersihkan alat belajar usai sekolah itu direndam banjir. Antara Sumbar/Mardi.

Padang, (Antara Sumbar) - Jumat pagi 3 Maret 2017 Kabupaten Limapuluh Kota Sumatera Barat berduka, sebanyak delapan orang dinyatakan meninggal dunia akibat banjir dan longsor tidak hanya itu kerugian materil akibat bencana tersebut mencapai Rp14 miliar.

Akibat hujan deras yang mengguyur daerah itu akses utama yang menghubungkan Sumatera Barat dengan Riau juga putus total akibat lonsor tepatnya di Jorong Polong Duo Nagari Koto Alam, Kecamatan Pangkalan Koto Baru.

Longsor dan banjir terjadi di 23 titik merendam ribuan rumah terendam dengan ketinggian hingga satu setengah meter membuat warga sempat mengungsi.

Berdasarkan data yang dihimpun peristiwa serupa sempat terjadi pada 1998, namun ironinya Pangkalan dan Kapur IX di Kabupaten Limapuluh kota, merupakan daerah tangkapan air dengan beberapa sungai dan anak sungai seperti Batang Mangilang, Batang Samo dan Batang Mahat.

Biasanya meskipun hujan turun berhari-hari, tidak pernah terjadi banjir besar di wilayah tersebut. Ternyata dari data yang dihimpun, saat ini ada sekitar 41 izin usaha pertambangan (IUP) di daerah itu yang 34 diantaranya dalam tahapan operasi produksi dan tujuh lainnya dalam tahapan eksplorasi.

Jumlah tersebut merupakan yang tertinggi di Sumbar karena IUP galian C di kabupaten dan kota lainnya tidak ada yang lebih dari 17 izin.

Sejalan dengan itu berdasarkan peninjauan Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan dua aliran sungai di daerah itu yaitu Batang Maek dan Batang Kapur kondisinya terus mengalami pendangkalan dan penyempitan karena tertimbun material pasir dan batu.

Hal itu menjadi salah satu penyebab air meluap ke pemukiman ketika intensitas hujan tinggi, katanya.

Selain itu Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan terdapat 144 kecamatan di Sumatera Barat yang masuk dalam wilayah berpotensi terjadi pergerakan tanah sehingga daerah tersebut rawan mengalami bencana longsor.

Longsor di beberapa titik di Kabupaten Lima Puluh Koto, Sumatera Barat telah masuk dalam prediksi wilayah berpotensi gerakan tanah, kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo Purwo Nugroho.

Ia menyampaikan 144 kecamatan itu tersebar di 16 kabupaten dan kota di Sumbar dengan kategori menengah hingga tinggi pada Maret 2017.

Data tersebut dikeluarkan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) sebagai peringatan dini kepada pemerintah daerah setempat, katanya.

Ia menjelaskan kategori menengah mengacu pada kondisi di suatu daerah yang memiliki potensi menengah terjadi gerakan tanah yang disebabkan oleh curah hujan di atas normal, terutama pada daerah berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan.

Sementara itu pada kategori tinggi mengacu pada kondisi dengan curah hujan di atas normal dan gerakan tanah lama dapat aktif kembali, ujarnya.

Ia menyebutkan 16 kabupaten dan kota yang tergolong dalam kategori menengah dan menengah hingga tinggi yaitu Solok, Solok Selatan, Kota Solok, Agam, Kota Bukittinggi, Padang Pariaman, Kota Padang, Kota Sawahlunto, Sijunjung, Dharmasraya, Lima Puluh Kota, Tanah Datar, Pasaman Barat, Pasaman, Pesisir Selatan dan Kepulauan Mentawai.

Kemudian dari 144 kecamatan tersebut, sekitar 69 kecamatan tergolong kategori menengah hingga tinggi.

Beberapa lokasi di Kabupaten Lima Puluh Kota, seperti di Kecamatan Kapur Sembilan dan Bukit Barisan tergolong pada kategori menengah hingga tinggi, katanya.

Dilihat dari perkiraan cuaca pada 4 dan 5 Maret 2017 wilayah Sumatera Barat hujan lebat. Di sisi lain, BWS Sumatera I merilis data beberapa kabupaten di Sumatera Barat termasuk wilayah rawan banjir pada tanggal tersebut, seperti Lima Puluh Kota yang masuk kategori sangat rawan banjir, lanjutnya

Tata Kelola

Pengamat ekonomi Universitas Andalas (Unand) Padang, Prof Syafrudin Karimi mengingatkan jangan sampai kekayaan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia malah memicu terjadinya bencana alam akibat salah dalam pengelolaan.

Idealnya ketika sumber daya alam Indonesia kaya maka harus berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan, namun jika salah kelola maka yang muncul malah bencana alam, katanya.

Ia menilai ketika tata kelola pemerintahan tidak benar maka sumber daya alam yang kaya tadinya bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan ekonomi hanya akan memberi untung para pencari rente.

Ini harus diatasi dengan membuat kelembagaan yang baik sehingga sumber daya alam yang kaya memberi berkah, tidak menciptakan bencana pada akhirnya, katanya.

Ia menyampaikan Tuhan memberi sumber daya alam yang kaya untuk keberkahan bukan untuk bencana karena itu jangan sampai salah kelola.

Ketika kelembagaan dan tata kelola pemerintah tidak baik yang muncul adalah para pencari rente yang hanya bercokol untuk mencari keuntungan pribadi, katanya.

Ia mengatakan perbaikan kelembagaan dan tata kelola pemerintah yang baik dimulai dari semua pihak terutama politisi karena pada akhirnya undang-undang hingga perda yang memutuskan adalah para legislator.

Ini harus dilakukan agar kekayaan alam tidak jadi bencana, belajar dari banyak negara di dunia banyak yang seperti itu, katanya.

Sementara, peneliti hukum ICW Emerson Yuntho mengatakan pemerintah provinsi perlu memberi sanksi lebih tegas kepada pelaku usaha yang membandel terutama pada bidang kehutanan, perkebunan, pertambangan dan energi.

Kami berharap penegakkan hukum berjalan terkait pelanggaran dalam bidang kehutanan, perkebunan dan pertambangan agar ada efek jera bagi yang lain, katanya.