Jakarta, (Antara Sumbar) - Penghentian privatisasi atau swastanisasi air minum merupakan solusi penurunan muka tanah Jakarta sehingga sebenarnya reklamasi dan pembuatan tanggul laut raksasa tidak diperlukan, kata Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).
"Putusan Mahkamah Agung Nomor 31 K/Pdt/2017 yang memerintahkan penghentian privatisasi atau swastanisasi air minum merupakan jawaban atas masalah penurunan muka tanah di Jakarta yang mencapai 10-12 cm per tahun," kata Ketua Umum KNTI Marthin Hadiwinata di Jakarta, Minggu.
Menurut Marthin Hadiwinata, hal tersebut bisa terjadi karena privatisasi air minum tersebut memaksa warga Jakarta menggunakan air tanah yang mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah.
Karena itu, ia berpendapat anggapan tanggul laut raksasa sebagai satu-satunya pelindung banjir rob akibat penurunan muka tanah menjadi tidak relevan bagi ibukota.
Sebab utama penurunan muka tanah, lanjutnya, yaitu pengambilan air tanah bisa dihentikan dengan memastikan akses atas air minum dan air bersih dipenuhi oleh Pemerintah.
"Putusan MA tersebut menjadi preseden bagi pemerintah untuk segera memastikan rakyat Jakarta dapat mengakses air minum dan menghentikan segala pengambilan air tanah," katanya.
Menurut Marthin, berkaca dari pengalaman kota Tokyo,Jepang tentang enurunan muka tanah dapat dihentikan dengan tidak sama sekali menggunakan air tanah dalam kurun waktu 10 tahun.
Program reklamasi di Teluk Jakarta membuat pihak perusahaan swasta seperti yang bergerak di bidang properti dapat berupaya untuk mengomersialisasi tata ruang yang seharusnya bisa dipergunakan cuma-cuma oleh publik.
"Swasta diperbolehkan mengokupasi ruang publik untuk kepentingan komersialnya, atas izin pemerintah," kata Wakil Sekjen DPP PKB Dita Sari.
Menurut dia, bila proyek reklamasi ternyata menggusur dan menghancurkan perairan yang biasa menjadi kawasan penghidupan nelayan, maka klaim reklamasi untuk kepentingan umum adalah "omong kosong belaka".
Dita juga tidak setuju dengan argumen bahwa reklamasi bermanfaat untuk menambah hunian bagi penduduk Jakarta.
"Argumentasi reklamasi adalah vital untuk Jakarta sudah terlalu padat sama sekali tidak bisa diterima," katanya.
Ia membandingkan Jakarta dengan tingkat kepadatan 150 jiwa/ha yang masih lebih lengang dibandingkan dengan Paris (400 jiwa/ha) atau Kopenhagen (600 jiwa/ha).
Karena itu, ia menyatakan tidak setuju dengan reklamasi di Teluk Jakarta yang dinilai bakal mengubah ruang yang tadinya milik bersama, menjadi milik pribadi karena dikomersialisasi. (*)