Padang, (Antara Sumbar) - Meski kedua kaki lumpuh, Iwan Mulyadi warga Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat tidak kehilangan semangat hidup.
Pria berumur 26 tahun itu tak pernah berharap belas kasih atas kondisinya. Dari atas kursi roda yang sudah menjadi temannya sejak 10 tahun lalu, Iwan ingin bangkit melawan keterbatasan.
Membuka usaha menjadi salah satu impian yang ingin diwujudkan. Ia hendak membuka warung harian di rumah, menjual pulsa elektronik.
Namun Iwan menyadari mewujudkan keinginan itu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Salah satu kendala yang muncul adalah modal. Penghasilan bapaknya Nazar (55) sebagai buruh tani, dan kuli panggul hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sementara ibunya telah meninggal dunia.
Namun, Iwan tak mau berputus asa sebagaimana sempat ia alami pada 2006 ketika kakinya divonis lumpuh oleh dokter.
Kelumpuhan yang disandang Iwan sebenarnya bukan bawaan sejak lahir. Peristiwa naas saat berusia 16 tahun pada 2006 membuat Iwan tak lagi bisa menapak menggunakan kedua kakinya.
Ketika itu Iwan menjadi korban penembakan yang dilakukan oleh oknum polisi Briptu Novrizal. Penembakan tersebut terjadi di ladang Jorong IV, Koto Selatan, Kenagarian Kinali, Kecamatan Kinali, Kabupaten Pasaman Barat.
Saat itu tanpa perlu putusan pengadilan, layaknya eksekutor, oknum polisi mendatangi Iwan. Kemudian melesakan peluru revolver ke bagian pinggang sebelah kiri hingga tembus ke rusuk kanan.
Iwan ditembak polisi itu karena tuduhan telah merusak pekarangan milik seorang warga setempat, yang ternyata diketahui masih memiliki hubungan keluarga dengan oknum polisi bersangkutan.
Setelah timah panas menembus rusuknya saat itu, Iwan sempat tak sadarkan diri. Setelah menjalani perawatan di rumah sakit, ia mendapatkan kabar yang tidak baik. Dokter memvonis setengah bagian bawah tubuhnya telah lumpuh secara permanen.
Saat itu Iwan sempat putus asa, dan menolak kenyataan yang menimpa dirinya. Namun seiring berjalan waktu dan dukungan banyak orang-terutama dari sang ayah, ia akhirnya mulai bisa menerima kondisi.
Sepuluh tahun sudah berjalan cerita lama ia tinggalkan, kini Iwan mulai menapak hidup ke depan.
Hanya saja, keterbatasan modal yang datang menghadang menjadi suatu kendala yang terasa menyulitkan.
Iwan dan ayahnya juga tak berani untuk meminjam uang, karena khawatir jika nanti tak dapat melunasi hutang tersebut.
Satu-satunya yang kini bisa diharapkan untuk modal adalah utang dari pihak kepolisian yang belum juga dibayarkan sebesar Rp300 juta.
Utang yang menjadi kewajiban kepolisian, sebagai konsekuensi terhadap tindakan yang dilakukan terhadap Iwan. Sekaligus buah dari perjuangan panjang mencari keadilan, yang telah dilakoni Iwan sejak kejadian penembakan.
Berawal dengan gugatan perdata yang dimasukkan ke Pengadilan Negeri Pasaman Barat pada 2008. Didampingi organisasi bantuan hukum dia , menggugat pihak kepolisian karena merasa telah dirugikan.
Apalagi polisi yang menembak Iwan Briptu Novrizal telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas tindakannya itu. Oknum polisi bersangkutan dijatuhi pidana dengan hukuman 1,5 tahun penjara, serta sanksi indisipliner.
Pengadilan Negeri Pasaman Barat yang menerima gugatan perdata Iwan setelah beberapa kali proses persidangan akhirnya mengeluarkan putusan pada pada 18 Juni 2008.
Pengadilan tingkat pertama itu mengeluarkan putusan yang isinya mengabulkan sebagian gugatan dari Iwan Mulyadi selaku penggugat, dan menghukum pihak kepolisian sebagai tergugat, untuk membayar ganti rugi immateril kepada Iwan sebesar Rp300 Juta.
Namun putusan itu tak lantas membuat Iwan Mulyadi lega. Pihak kepolisian sebagai tergugat kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Padang.
Hanya saja untuk kedua kalinya, palu hakim berpihak kepada Iwan. Majelis hakim tinggi Pengadilan Tinggi Padang mengeluarkan putusan yang isinya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pasaman Barat sebelumnya.
Sehingga atas putus banding itu, kepolisian diharuskan membayar ganti rugi sebesar Rp300 juta kepada Iwan Mulyadi.
Pihak kepolisian lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA) Republik Indonesia. Namun lagi-lagi hakim menilai Iwan yang benar.
Hakim MA menolak kasasi yang diajukan pihak kepolisian, dan mengeluarkan putusan yang isinya menguatkan putusan Pengadilan Tinggi Padang sebelumnya.
Tiga kemenangan di tiga tingkat peradilan itu memakan waktu sekitar tujuh tahun. Namun waktu selama itu, tak lantas membuat Iwan menerima ganti rugi sebesar Rp300 juta.
Bahkan setelah upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK), yang ditempuh pihak kepolisian setelah kasasi, juga telah ditolak oleh MA pada 23 Oktober 2015.
Kini dari atas kursi roda, Iwan menunggu pembayaran ganti rugi dari polisi. Uang yang rencananya akan dijadikan modal untuk mendirikan usaha itu.
Dari atas kursi roda, Iwan duduk menghadap pintu. Hari-harinya membayangkan polisi datang dengan tersenyum, lalu mengantarkan apa yang menjadi kewajibannya.
Iwan masih berkeyakinan pihak kepolisian akan datang dengan senyuman yang ikhlas, seikhlas dia yang tak dendam atas kejadian masa lalu yang menimpanya. (*)