Benda Cagar Budaya (BCB) yang merupakan bagian dari sejarah perjalanan bangsa ini. Catatan sejarah yang ada punya dinilai penting, idealnya harus tetap lestari dan terjaga seiring dengan perkembangan zaman. Banyak benda-benda bersejah kurang mendapat perhatian, terutama bangunan bangun tua yang punya nilai sejarah.
Kenyataan yang saat ini membuat keprihatinan dan miris melihatnya. Melalui upaya penyelamatan dan pengembangan berbagai benda dan bangunan bersejarah, sesungguhnya dapat membuat daerah dan negeri ini lebih bermartabat.
Sebaliknya jika diabaikan, secara tidak langsung telah melupakan catatan sejarah. Pertanyaannya sekarang, sudahkan sejalan perhatian dan kepedulian semua pihak dalam penyelamatan BCB yang ada?.
Betulkah menyelamatkan BCB bisa membuat bangsa maupun suatu daerah lebih bermartabat?. Dari pertanyaan pertama tentu lihat kenyataan hari ini kondisi BCB. Pandangan mata mungkin tak perlu jauh dilayangkan.
Kita cukup hanya menoleh bangunan-bangunan tua peninggalan masa Belanda di kawasan Pondok dan pinggiran Batang Arau Padang, Kecamatan Padang Selatan, Sumatera Barat.
Meskipun tak semua bangunan tua yang ada di kawasan Batang Arau masuk BCB, namun dalam jumlah besar tercatat atau memang masuk peninggalan sejarah. Konsep BCB dengan peninggalan sejarah jelas ada bedanya, meskipun tipis. Dalam tulisan bukan membahas hal perbedaan tersebut.
Cagar budaya yang ada di kawasan Batang Arau ada sebagian dibangunan sejak 1920. Kini kondisinya butuh sentuhan untuk dipoles atau revitalisasi, sehingga semakin menjadi daya tarik tersendiri dalam pengembangan Padang Kota Tercinta.
Dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalam pasal 1 ayat 31 bahwa revitalisasi adalah kegiatan pengembangan yang ditujukan untuk menumbuhkan kembali nilai-nilai penting cagar budaya dengan menyesuaikan fungsi ruang baru yang tidak bertentangan dengan prinsip pelestarian dan nilai budaya masyarakat.
Pasal yang sama pada ayat 33 dinyatakan bahwa pemanfaatan adalah pendayagunaan Cagar Budaya untuk kepentingan sebesar-sebesarnya kesejahteraan rakyat dengan tetap mempertahankan kelestariannya.
Jika dilihat kondisinya saat ini masih belum terselamatkan cagar budaya yang ada di kawasan tersebut. Bangunan-bangunan yang berkonstruksi dan arsitektur ala negeri kincir angin itu terabaikan. Penyebabnya jelas banyak faktor. Bisa jadi terbatas disisi anggaran pemerintah kota.
Ataukah pemilik bangun sulit ditemui. Bisa pula konsep pengembangan yang belum jelas mau dibuat apa dan seperti apa bentuk renovasinya. Kemungkinan tak melihat sebagai suatu sarana dan harapan serta potensi masa depan yang menjanjikan di belbagai aspek.
Padahal, kalau bangunan-bangunan tua tersebut dapat digarap secara maksimal bisa berkontribusi dalam multi efek. Bukan saja, dari segi pesona dunia pariwisata sejarah. Lebih dari itu, bisa di sisi pendapatan daerah. Kemudian dalam bidang pendidikan dan lapangan pekerjaan.
Hal itu, tentu butuh kajian secara komprehensif dan terukur bagi pemerintah kota untuk menjalankan konsep yang multi efek tersebut. Kini tentu tinggal kemauan politik (political will) kepala daerah sendiri dan dukungan stakeholder lainnya.
Beberapa tahun lalu, memang Wakil Gubernur Muslim Kasim bersama dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Padang Edi Hasymi (waktu itu, red) mengundang seorang investor nasional untuk menawarkan berinvestasi.
Peninjauan sudah dilakukan bersama investor yang juga berdarah Minang itu.
Setelah peninjauan, ada keinginan penanam modal tersebut akan mengembangkan restoran di salah satu bangunan tua itu. Masih ingat ungkapan yang penuh harapan dari Wagub Muslim Kasim, "Jika ada restoran dan pusat berbelanjaan di bangunan tua itu, tentu suatu harapan akan menjadi heritage bagi Padang ke depan".
Provinsi tentu hanya bisa memfasilitasi dan membantu di sisi anggaran. Eksekusi atau pelaksanaan program pengembangan jelas pemerintah kota yang punya obyek akan dibangun tersebut.
Tapi, dalam perjalan waktu entah apa penyebabnya nyaris tak terdengar gerakannya sebagai upaya tindaklanjut rencana kerja sama dengan investor tersebut.
Bila diamati, kepedulian Pemkot Padang memang sudah ada upaya pengembangan kawasan bersejarah itu. Satu buktinya sejak dua tahun terakhir mengalokasikan anggaran untuk memperbaiki drainase di kawasan Pondok yang diperkiran sampai sekitar Rp1,7 miliar.
Kita apresiasi juga upaya itu. Namun konsep tersebut tidak mengarah pada obyek yakni bangun bersejarah di kawasan itu. Betul memang, kalau anggaran sekitar Rp1 miliar lebih untuk renovasi bangunan tua yang ada, belum tentu memadai. Akan tetapi dana yang dialokasikan sebesar itu fokus renovasi satu bangunan tua tersebut, mungkin terlihat perubahan.
Renovasi yang dilakukan tentu harus seiring dengan konsep pengembangannya. Jangan jangan sudah direnovasi kegunaan tak jelas pula. Misalnya setelah dicat dinding dan perbaikan konstruksi bangunan, lalu dibiarkan begitu saja.
Pintu tertutup rapi/terkunci. Orang hanya bisa melihat dari luar. Jika itu konsep pengembangan jelas akan menimbulkan kerugian anggaran daerah saja. Maka paradigma menyelamatkan dan pengembangan bangunan bersejarah harus berubah sehingga memberi nilai terhadap masyarakat.
Multi Dampak
Paradigma atau cara pandang kita yang ditawarkan dalam tulisan ini mungkin saja sudah dikembangkan di daerah di Indonesia atau negara-negara lain dalam penyelamatan bangunan bersejarah.
Konsep ini cukup relevan dan bisa dikembangkan untuk bangunan tua di kawasan Pondok Padang. Di atas tadi sudah disinggung pengembangan yang multiplayer efek atau efek dominonya.
Kini diawali pengembangan bangunan tua untuk sektor wisata sejarah. Bangun tua yang ada dipinggiran Batang Arau Padang jelas punya keunikan tersendiri.
Konstruksi peninggalan di masa Belanda, termasuk bentuk arsitekturnya.Luar biasa lagi tentu tahun berdirinya atau dibangunnya sudah sejak puluhan dan bahkan mungkin seratusan tahun silam.
Supaya memberi nilai wisata sejarah, tentu dilakukan renovasi luar dan dalam bangunan. Jelas secara bertahap, bisa saja tahap awalnya tiga sampai lima bangunan yang bisa dikuasai Pemko Padang.
Soal berapa jumlahnya, itu bisa disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. Polanya juga bisa berkerja sama dengan pemilik.
Setelah direnovasi apakah dibiarkan begitu saja?, tentulah tidak. Supaya bisa menjadi magnet sebagai obyek wisata sejarah, maka harus dilengkapi dengan cerita-cerita Padang Tempoe Dulu.
Tentang pendirian bangunan tersebut. Jika domukennya masih tersedia. Baik dalam bentuk foto-foto dan narasi dalam bentuk tulisan. Konsep sederhana ini setidaknya akan membuat pengunjung ke bangunan tua tersebut lebih berarti.
Orang datang tak hampah saja karena ruang-ruangan bangunan tak berisi alias kosong.
Dibagian lain, tentu harus dihiasi bangun tua itu, sehingga punya nilai dan makna pendidikan bagi masyarakat dan generasi bangsa sekarang maupun akan datang ketika mereka kesana. Bukan itu saja, kalau kemauan politik kepala daerah dan stakeholdel lainnya sudah kuat menjadi bangunan multi dampak positif, maka para murid, siswa atau pelajar di sekolah yang ada di Padang.
Bisa saja dikhususkan sekali sebulan atau empat kali setahun berkunjung bangunan tua tersebut. Tujuannya sambil belajar memperkenalkan bangunan tua dan perjalanan sejarah kota yang kini mereka tempati.
Pola ini juga akan membangun rasa nasionalisme kaum muda. Jika lebih jauh dilihat pada aspek pendidikannya dalam pengembangan bangunan tua yang ada masih bisa. Dari salah satu bangunan tua itu, dijadikan rumah kreatif bagi generasi muda untuk berkarya. Bagi yang ingin mengembangkan bakad dan kemampuan dirinya bisa disana.
Pasalnya, perkembangan kreativitas dan inovasi dilahirkan kaum muda, terus berkembang dan terlihat signifikan. Jenisnya pun beragam. Mulai dari bidang kesenian (musik, melukis, dan lainnya), budaya dan teknologi tepat guna.
Hal itu, mesti mendapatkan respons pemerintah kota yang fungsinya sebagai pelayanan publik. Soal suatu potensi yang ada di diri kaum muda harus diberi ruang gerak untuk semakin berkembang. Dengan ada ruang diberikan kepada generasi muda itu, tentu pemerintah sudah membangun generasi yang baik.
Menyulap bangunan tua dan bersejarah sebagai rumah kreativitas, bukan hal yang tak mungkin kalau mau. Disinilah peran dan pemerintah menjalankan kewajiban dalam mewadahi dan memfasilitasi generasi muda.
Sosiolog Universitas Padjajaran Budi Raja pada momentum sumpah pemuda 28 Oktober 2013 dalam salah satu media nasional menyampaikan, bahwa pemerintah berkewajiban memberikan fasilitas bagi generasi muda untuk berkreasi.
"Pemerintah harus menyediakan fasilitas dan ruang-ruang bagi pemuda untuk menyalurkan energi yang meletup-letup agar bisa bermanfaat," ujarnya.
Jika diurai bagaimana mewadahi potensi dan energi pemuda, tentu tak habis-habis kupasan ini. Kini beranjak ke konsep penyelamatan cagar budaya khususnya bangunan tua yang dapat mendatangkan pendapatan bagi daerah.
Kupasan ini bisa saja dianggap wacana. Namun, kalau dilihat dari aspek mendatangkan terhadap pendapatan daerah, bangunan dapat dikembangkan berbagai aktivitas ekonomi. Mulai dari cafe (bukan yang remang-remang, red), tapi yang positif.
Kemudian bisa jadi tempat jualan produk yang spesifik, misalnya khusus pakaian berbahan Jean's. Mungkin dalam konsep bisnis pakaian mungkin tak masuk dalam hitungan orang. Tapi dengan khas tersendiri dan produk yang berkelas, maka akan jadi dayak tarik tersendiri. Jika tidak dimulai, kapan lagi, maka sejarah Padang akan semakin hilang, bangunan tua yang semakin lapuk dan tak bernilai guna.*