Meracik Hidup dari RajanganTembakau Limapuluh Kota

id Meracik Hidup dari RajanganTembakau Limapuluh Kota

Meracik Hidup dari RajanganTembakau Limapuluh Kota

Ilustrasi petani tembakau. (Antara)

Malam semakin larut meniti waktu menjelang dini hari Minggu (27/10) di Nagari (desa) Baruh Gunuang, Bukit Barisan Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, namun Pak Dimi (47) masih saja asyik menggoyang pisau peracik tembakaunya.

"Beginilah pekerjaan tukang racik tembakau. Bahkan, aktivitas baru dihentikan hingga matahari pagi mulai terasa panas," ujar salah seorang tukang racik tembakau bernama lengkap Sufrial Hadimi yang tinggal di Jorong Pauah, Nagari Baruh Gunung itu.

Meskipun pekerjaan ini bukan tidak bisa dilakukan pada siang hari, namun sebagai pemakan upah dari sang pemilik, tukang racik tembakau lebih cenderung melaksanakan pekerjaannya pada malam agar keesokan harinya juga bisa melakukan rutinitas yang lain.

Disamping itu, tembakau yang sudah diracik juga bisa langsung dijemur hingga kering sesuai dengan takaran tertentu.

Bagi bapak tukang racik ini, jika pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat, maka upah yang akan diterima juga bisa segera dikirim untuk anak bungsu yang tengah sibuk dengan skripsi untuk persyaratan tamat kuliah di salah satu perguruan tinggi di Kota Padang.

Sebagai orang tua, tentu Dimi ingin nasip anaknya jauh lebih baik darinya yang setiap hari membanting tulang di bawah sengat matahari dan malam bagadang meracik tembakau untuk bertahan hidup.

Kondisi ini menjadi cambuk dan motivasi besar dalam diri bapak tiga orang putra ini untuk memberikan pendidikan yang lebih tinggi bagi sang buah hati, paling tidak untuk putra bungsu sehingga tidak putus sekolah seperti dua kakaknya yang lain.

Pekerjaan meracik tembakau bukan perkara mudah. Tidak sembarangan orang mampu untuk melakukannya. Selain kekuatan fisik yang dituntut karena harus bisa bertahan duduk sepanjang malam, teknik menggunakan pisau sangat penting agar hasil yang diperoleh benar-benar halus dan rapi.

Tak heran jika kondisi ini membuat masyarakat di daerah yang berpenghasilan dari tembakau ini jarang ditemukan tukang racik. Hanya sebagian kecil saja dari mereka yang berladang tembakau memiliki kepandaian untuk itu, selebihnya terpaksa mengeluarkan sedikit dana untuk upah tukang yang sudah ahli.

Bagi orang yang sudah betul-betul mahir, pekerjaan ini sangat mudah. Nampak irama dan goyangan tangannya yang mengisyaratkan aktivitas ini sangat dinikmati.

Dalam melakukan aktivitas meracik tembakau ini juga dibutuhkan satu orang lagi (tukang ampaian) yang bertugas untuk menaruk tembakau yang sudah diracik di atas "samia" atau tempat yang digunakan untuk menjemurnya. Jika pekerjaan ini dilakukan sendirian saja terlalu repot untuk duduk dan berdiri sehingga memakan waktu yang terlalu lama.

Dalam dua samia tembakau masyarakat di sini sering menyebutnya dengan satu helai, sedangkan jika sudah sampai 100 helai dinamakan dengan satu lombo.

Biasanya, kata Dimi, dalam melakukan pekerjaan ini seorang tukang racik mampu menyelesaikan pekerjaannya dalam semalam maksimal 300 samia (1,5 lombo).

Berbicara mengenai gaji untuk tukang racik, Dimi menjelaskan, biasanya disepakati "enam keluar satu". Artinya, jika sang peracik mampu meracik 6 samia maka dikeluarkan sebagai upahnya satu samia. Selain itu, ada juga kesepakatan petani tembakau dengan tukang racik 4 banding 1 samia.

"Kalau pekerjaan siap hingga 6 lombo, maka 1 lombonya diberikan untuk tukang racik," ungkap bapak ini sambil menyeruput kopi hangat dan memegang lentingan tembakaunya.

Jika orang yang punya ladang memiliki kesibukan lain, bisa juga diserahkan langsung ke tukang racik sendiri yang melakukan pekerjaan mulai dari panen di ladang hingga tembakau siap dijual dengan memakai sistem bagi dua (50:50 persen) dari hasil yang siap dijual kepada pedagang pengumpul.

Menurut Dimi, kebanyakan tembakau hasil petani yang dibeli pedagang pengumpul di sini untuk mengisi kebutuhan beberapa pabrik di Pulau Jawa untuk diolah menjadi barang yang siap untuk dipasarkan dengan kualitas yang lebih bagus.

Saat ini, dia menyebutkan, harga tembakau yang dapat petani jual ke tauke atau pedagang pengumpul sebesar Rp19.000 hingga Rp21.000 per helai. Jadi, dengan harga sebanyak itu petani mendapatkan hasil sebanyak Rp1.900.000 dan ada juga yg mencapai Rp2,1 juta dalam satu lombo.

Sementara itu, untuk hasil dari satu bidang ladang tembakau sendiri dia menyebutkan tergantung baik atau tidaknya pengolahan dan pengaruh cuaca. Jika pengolahannya baik serta cuaca cukup mendukung dalam satu hektare ladang tembakau bisa panen hingga 10 lombo.

"Kalau cuaca tidak mendukung bisa membuat tembakau rusak sehingga panen cuma 5 lombo saja," ungkapnya.

Menurut dia, keluhan utama petani tembakau saat ini masih bertumpu pada persoalan klasik yang tidak terlepas dari kondisi harga yang belum stabil dan sering turun atau naik. Bahkan, ketika harga sedang turun bisa mencapai Rp5.000/helai dan membuat sebagian petani menggunakan lahannya untuk usaha yang lain seperti bertanam cabe.

Namun begitu, dengan kondisi harga tembakau terkini terbilang sudah sedikit membaik sehingga keluhannya berpindah pada persoalan cuaca. Pasalnya, kalau kondisi selalu panas akan membuat tembakau sakit botak. Begitu juga sebaliknya kalau cuaca selalu hujan yang juga akan menyebabkan penyakit yang sama.

Walaupun begitu, dia menyebutkan, setiap petani yang berladang tembakau tak pernah mengalami yang namanya gagal panen. Walaupun diserang penyakit, namun masih bisa tetap diolah. Hanya saja persoalan harganya saja yang akan sedikit mengalami penurunan karena kualitasnya yang kurang baik.

"Dengan harga yang ada seperti saat ini akan membuat petani berlomba-lomba untuk mencari rejeki dengan membuat ladang tembakau," ujarnya.

Namun begitu, bagi masyarakat petani tembakau yang berada di daerah ini memiliki banyak harapan agar upaya pengembangan sektor tersebut terus mendapat tempat dan menjadi salah satu perhatian pemerintah setempat. Pada akhirnya, berbagai keluhan petani dapat diatasi secara benar sesuai dengan tingkat permasalahannya yang ada.

"Berladang tembakau sudah kami mulai sejak lama. Dengan usaha yang kami lakukan ini juga bisa membantu kami untuk bertahan hidup dan menyekolahkan anak-anak," ujarnya.

"Ke depan, kami berharap ada sistem yang betul-betul bagus yang dilakukan pihak terkait sehingga hasil dari mata pencaharian kami ini bisa stabil dan masyarakat juga bisa konsisten untuk bekerja," tambahnya lagi.

Tembakau dari Limapuluh Kota

Sebenarnya perladangan tembakau di Kabupaten Limapuluh Kota memang cukup potensial dan sudah menjadi salah satu sumber ekonomi masyarakat. Kawasan penghasil tembakau dari daerah ini terutama yang terdapat di daerah Mudiak, seperti Kecamatan Bukit Barisan, Gunuang Omeh, Suliki dan lainnya.

Hingga saat ini, pengolahan tembakau di masyarakat setempat masih dilakukan secara tradisional dan belum dilakukan secara modern yang menggunakan teknik khusus.

Bukannya pemerintah mengabaikan serta terkesan acuh terhadap pengelolaan tembakau di daerah itu, namun memang masih perlu melakukan berbagai upaya dari berbagai sektor sehingga potensi ini dapat dikembangkan menjadi lebih baik.

Menilik hasil catatan Kementerian Pertanian Direktorat Jenderal Perkebunan dalam sosialisasi dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) pada 2010 di Provinsi Sumatera Barat disebutkan bahwa untuk pertama kali daerah tersebut mendapatkan alokasi sebesar Rp4,5 miliar yang dialokasikan di Provinsi dan 19 (sembilan belas) Kabupaten/Kota.

Bahkan, tercatat 4 (empat) Kabupaten/Kota penghasil tembakau di Sumbar yang mendapatkan DBH CHT terbesar yang di antaranya Kabupaten Limapuluh, Kota Sawahlunto, Kota Payakumbuh dan Kabupaten Tanah Datar.

Khusus DBH CHT di Kabupaten Limapuluh Kota sebagai penghasil utama tembakau, pemerintah mengupayakan untuk mendukung kegiatan pada sub sektor perkebunan dalam peningkatan produktivitas dan mutu tembakau. Pembinaan kelembagaan petani serta kelengkapan sarana pendukung pembinaan juga ikut mendapatkan perhatian.

Prospek usaha tani untuk tembakau rakyat di Kabupaten Limapuluh Kota ini cukup menjanjikan menyusul harga di tingkat petani yang cukup tinggi yang mencapai Rp50.000 - Rp70.000 per kg rajangan kering.

Selain itu disebutkan juga bahwa tembakau dari daerah ini mampu untuk memenuhi kebutuhan lokal serta di ekspor ke Malaysia dan Singapura melalui pelabuhan Batam.

Untuk ke depannya, mungkinkah memang penghasilan tembakau dari Sumbar, khususnya Limapuluh Kota mendapatkan rekor dan masuk dalam catatan ekspor dari Indonesia?

Tentu keseriusan untuk penanganan secara bersama pada berbagai lini yang menjadi jawabnya. Jelasnya, sebagian masyarakat dunia juga sudah mulai tahu bahwa daerah ini memang cukup berpotensi untuk penanaman tembakau. (*/jno)