Kata-kata mengajarkan, teladanlah yang membimbing (verba docent, exempla trahunt). Ini rangkuman dari logika sukses Indra Sjafri bersama dengan timnas Indonesia U-19.
Tuah kata-kata dan khasiat dari teladan kontan terbukti. Jebret...Evan Dimas dan kawan-kawan melenggang ke babak final Piala Asia Myanmar 2014 setelah menundukkan Korea Selatan 3-2 di Gelora Bung Karno, Sabtu (12/10). Tiga gol dijaringkan oleh Evan Dimas.
"Sudah saya katakan bahwa kita harus percaya diri," kata pelatih Indra Sjafri dalam wawancara televisi. "Siapa bilang formasi 4-3-3 tradisional banget. Di daerah-daerah, kita punya stok pemain sayap yang berlimpah. Ini yang kita ingin terus gali," kata mantan pemain PSP Padang itu.
Selain kepercayaan diri, logika Indra Sjafri mengerucut kepada keinginan dan ketekunan turun ke daerah-daerah mencari bibit pemain bertalenta.
Ia menggenapi logika bahwa keanekaragaman adalah kekayaan Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Bahasa populernya, Indra Sjafri "blusukan" untuk melihat dan mencari sendiri para pemain berbakat di seluruh pelosok Nusantara.
Selama sembilan bulan sepanjang tahun 2012-2013, ia menyeleksi 60 pemain dari pelosok Indonesia. Selain tim yang menyambangi daerah, pelatih aktif datang ke sekitar 30 daerah di Indonesia.
Indra bukan tanpa hambatan. Ia jelas-jelas ingin keluar dari kepompong praduga bahwa pusat atau kota selalu hebat, sementara daerah selalu terbelakang. Daerah berjuluk "ndeso" atau kampungan; pusat atau kota berlabel "supra-modern".
Logika Indra Sjafri adalah logika turba (turun ke bawah). Ia memberangus kebiasaan dari para petinggi sepak bola nasional yang ingin memperoleh hasil secara instan. Disebut instan, karena kebijakan seperti itu ingin cepat-cepat memanen tanpa mau menanam dan merawat secara tekun berkesinambungan.
Alhasil, didatangkanlah sejumlah pemain keturunan Indonesia yang merumput di sejumlah klub Belanda dengan mengandalkan program naturalisasi.
Selain itu, berbondong-bondong pemain asing, baik dari sejumlah negara Afrika dan Eropa, maupun Korea Selatan mencari makan di sejumlah klub profesional untuk berlaga di liga Indonesia.
Secara pragmatis, saatnya mengoreksi kebijakan instan para petinggi sepak bola nasional. Bukankah timnas Indonesia U-19 mampu menyabet hasil ganda dalam kurun waktu dua bulan terakhir? Satu gelar juara Piala AFF U-19 dan satu lagi, Garuda Jaya lolos ke putaran final ke putaran final Piala Asia 2014 di Myanmar.
Secara lugas, boleh dikatakan bahwa kedua sukses timnas Indonesia U-19 itu dicapai tidak dengan kebijakan pemain naturalisasi, dan tidak dengan memasukkan pemain asing yang berlaga di berbagai klub di liga Indonesia.
Logika di balik serba luar negeri atau serba naturalisasi itu, yakni rasa minder di hadapan kekuatan asing kemudian bersedia berkongsi-kongsi dengan kekuatan asing. Semuanya itu disuburkan oleh rasa tidak percaya diri kepada kemampuan bangsa sendiri.
Sepak bola Indonesia mengalami paceklik sukses karena jauh dari tekad untuk berdikari (berdiri di atas kaki sendiri), sebagaimana pernah dihidup-hidupkan oleh salah satu proklamator Indonesia, Ir. Soekarno.
Satu lagi, contoh aktual langkah dari logika serba ingin instan diungkapkan secara telanjang oleh pelatih timnas U-23 Rahmad Darmawan.
Ia mengungkapkan keinginannya untuk mencomot sejumlah punggawa timnas U-19 ke Garuda Muda yang sedang melakoni pelatnas menghadapi SEA Games 2013.
Bukankah lebih baik dan lebih berdaya guna bila RD, panggilan akrab Rahmad Darmawan, terus mengasah dan memperbaiki kelemahan timnas Indonesia U-23, utamanya dalam aspek akurasi tembakan, akurasi umpan silang, dan akurasi dribel, bukan justru menempuh langkah eksperimen copot-pasang pemain anyar.
Indonesia U-23 "hanya" mendapat medali perak di pekan Olah Raga Solidaritas Islam setelah kalah 1-2 dari Maroko di babak final, 29 September, di Palembang.
Dalam empat pertandingan, Indonesia U-23 hanya bisa melepaskan delapan tendangan ke gawang lawan. Menurut catatan majalah Bola, rataan akurasi tembakan di ajang ini hanya 32,08 persen. Dan rataan persentase akurasi umpan silang tim ini hanya mencapai 25,09 persen.
Secara keseluruhan, Indonesia U-23 cuma melakukan 32 kali dribel berhasil (rata-rata hanya empat), sedangkan dribel gagalnya mencapai 50 kali. Ini artinya, jumlah dribel tidak berhasil mencapai 312,5 persen.
Kosok balik dengan kemampuan timnas Indonesia U-19. Selama perhelatan Piala AFF U-19 di Sidoarjo, September 2013. Data dari tim High Performance Unit (HPU), Timnas U-19 mampu melepaskan umpan hingga 500 sampai 600 kali per pertandingan.
Jumlah itu jauh mengungguli rata-rata umpan klub-klub yang berlaga di kompetisi Indonesia Super League (ISL). Rata-rata umpan yang dilakukan klub ISL hanya berada di kisaran angka 200 sampai 300 kali.
"Rata-rata mereka bisa melepaskan 500 sampai 600 umpan di setiap pertandingan. Jumlah ini mendekati permainan tim-tim Eropa yang mencapai 700 kali di dalam satu laga," kata salah satu anggota HPU, Rudi Eka, kepada VIVAbola.
Total dari tujuh kali berlaga, Timnas U-19 melepas 3.453 umpan, dengan 2.775 di antaranya sukses mencapai target. Tingkat akurasi umpan Evan Dimas dan kawan-kawan mencapai 79 persen. Kuncinya, ada di kaki tiga gelandang jangkar, yakni Evan Dimas, M Hargianto dan Zulfiandi.
Sederet data yang dicapai Timnas U-19 itu bukan tanpa perspektif yang dapat diterima akal sehat. Logika Indra Sjafri dapat dirunut dari pendapat filsuf Alfred Schutz yang mengedepankan teori komunikasi berbasis logika-dunia-kehidupan (life-world).
Dunia-kehidupan merujuk kepada pengetahuan yang ada dan tersedia secara langsung, yang ditangkap oleh seseorang untuk mengenal dunia sekelilingnya. Indra Sjafri blusukan artinya ia secara langsung memilih para pemainnya sendiri dengan berkunjung ke seluruh pelosok Nusantara.
Menurut Schutz, seluruh makna sebagai dunia kehidupan di seluruh Sabang sampai Merauke adalah stok pengetahuan. Pelatih Timnas U-19 itu menemukan bahwa dunia kehidupan di seluruh pelosok Nusantara adalah kekayaan stok sepak bola Indonesia.
Di mata filosof itu, dunia kehidupan bukan milik seseorang, apalagi diklaim sebagai milik institusi tertentu. Dunia kehidupan menyimpan khasanah kekayaan hubungan antar-pribadi (istilahnya: intersubyektif). Bukankah bangsa ini dikenal sebagai bangsa yang suka bergotong-royong dan bekerjasama serta bertekad mandiri?
Tidak heran bila pelatih timnas Indonesia U-19 mengutarakan keinginannya agar Garuda Jaya dipertahankan bersama-sama dalam waktu lebih lama agar dapat meningkatkan kemampuan dan dan kerja sama tim.
Keteguhan sikap Indra itu menjadi pilihan yang "sulit". Di satu sisi, ia mengakui minimnya hasil kompetisi junior di Indonesia. Di lain sisi, ia ingin menghindari "imbas politik" dari pemanggilannya pada beberapa pemain didikan di Uruguay lewat proyek Sociedad Anonima Deportiva (SAD).
Dengan berbekal ketegasannya, dari belasan pemain SAD, M. Junda dan Bagas menjadi dua pemain pertama SAD yang dicoret. Kelak, hanya empat pemain SAD yang masuk skuat (berjumlah 20 pemain) di Piala AFF U-19, yaitu Hansamu Yama Pranata, Mahdi Fahri Albaar, Maldini Pali, dan Angga F. Putra.
Dari empat pemain itu, Hansamu punya tempat tak tergantikan di tim utama. Maldini masuk tim utama, tapi tidak selalu dia jadi starter karena pertimbangan taktikal Indra.
Indra juga berharap agar klub-klub bersedia melepas para pemain bila ingin melakoni pelatnas dengan berharap konsentrasi pemain timnas tidak terusik kepentingan klub.
"Piala Asia masih panjang di bulan Oktober. Masih banyak waktu untuk berbenah. Kami akan mencari bakat-bakat baru untuk bisa memperkuat tim nanti," ujar Indra dalam keterangannya kepada wartawan.
"Klub manapun tidak bisa mengganggu kepentingan negara. Tidak ada klub yang bisa mengganggu pemain. Jika timnas di atas segala-galanya, kami yakin Piala Dunia U-20 2015 bisa!"
"Biarkan buah matang di pohonnya," kata Indra Sjafri melengkapi dan menjelaskan logikanya di tengah sengkarut sepak bola nasional.
"Yang jelas, kami akan gali lagi pemain-pemain daerah yang terpendam, yang belum muncul". (*)