"Mandaki gunuang marapi, manurun katabek patah, babelok ka Saruaso, alah tigo kali zaman berganti, orde lama, orde baru, era reformasi, nasib kami indak barubah bantuak iko juo," kata Hasan Beik salah seorang pelaku sejarah dan pejuang kemerdekaan membawakan pantun dalam bahasa Minang.
Pantun yang dibawakannya itu menggambar suasana hati dan kondisi para veteran dan mantan pejuang 1945. Memasuki hari tua, para pejuang yang dulu merebut kemerdekaan masih berharap perhatian dari pemerintah.
"Padahal jumlah mereka tidak seberapa, tinggal menghitung hari sebentar lagi veteran juga sudah habis," kata dia yang merupakan salah seorang pelaku sejarah yang ikut mendampingi Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan.
Menurut dia, para pejuang dan veteran tidak menuntut perhatian lebih dari segi materi, namun bagaimana peringatan kemerdekaan dapat lebih dimaknai lebih dalam.
Ia menceritakan, dulu satu minggu sebelum peringatan kemerdekaan, bendera merah putih sudah dikibarkan oleh warga di rumah masing-masing.
Namun, saat ini peringatan Hari Kemerdekaan terasa "dingin" karena yang mengibarkan bendera lebih banyak instansi pemerintah, sementara kesadaran masyarakat sudah mulai menurun, kata dia.
Ia mengatakan hal ini bukan kesalahan masyarakat saja, namun semua pihak harus introspeksi agar peringatan kemerdekaan lebih meriah.
Dia menyebutkan dahulu pejuang merebut kemerdekaan dengan jiwa dan nyawa, sekarang seakan-akan diabaikan karena merah putih tidak banyak lagi dikibarkan.
"Jika merah putih kurang dikibarkan, maka bagaimana akan dapat berkibar di hati masyarakat?" kata dia.
Oleh sebab itu ia mengharapkan kepada pemerintah agar satu bulan sebelum Hari Kemerdekaan telah dibuat program untuk memeriahkan serta menyemarakan Hari Kemerdekaan.
Hal serupa juga dirasakan Abbas Sur (86) salah seorang pejuang yang turut berperang melawan penjajah Belanda dan Jepang melalui kesatuan Hizbullah di Kabupaten Pesisir Selatan.
Meski telah dimakan usia, namun raut wajah pejuang terlihat jelas melalui semangatnya yang berapi-api ketika berbicara.
Ia menceritakan beratnya perjuangan melawan penjajah dimana kesadaran para pejuang waktu itu untuk merebut kemerdekaan benar-benar tulus dan tanpa pamrih.
"Tidak ada yang mengajak, murni kesadaran sendiri karena kami tidak ingin Indonesia terjajah," kata dia.
"Kalau berbicara bagaimana rasanya berperang melawan Belanda dan Jepang, hanya Tuhan yang tahu. Apalagi saat itu persenjataan yang dimiliki pejuang sangat terbatas, cuma pakai bambu runcing dan bergerilya keluar masuk hutan dengan persediaan makanan yang terbatas," lanjutnya menceritakan kisahnya berperang di Pesisir Selatan.
Dia menambahkan, dalam berjuang merebut kemerdekaan, para pejuang harus menahan lapar berhari-hari karena kehabisan persediaan makanan sementara musuh memiliki persenjataan yang lengkap.
Salah satu pengalaman Abbas Sur yang paling berkesan adalah bersembunyi dalam lubang untuk menghindari serangan dari pesawat Jepang.
"Waktu itu persenjataan TNI belum memadai, untuk menyelamatkan diri dari serangan Jepang kami berlindung dalam lubang," katanya.
Setelah Indonesia merdeka, Abbas melanjutkan hidupnya dengan merantau ke sejumlah daerah di Sumatera. Berbagai profesi pun dilakoninya untuk menyambung hidup mulai dari penjahit, tukang cukur rambut dan lainnya.
Setelah sempat merantau ke Palembang, Jambi dan Renggat ia memutuskan kembali ke Padang untuk menjalani hari tuanya.
Ia memilih menetap di Kampung Baru, Kabupaten Padangpariaman yang merupakan cikal bakal Bandara Internasional Minangkabau.
Namun, lagi-lagi ia harus menghadapi kenyataan pahit karena sawah dan ladangnya ternyata harus digusur akan dijadikan lahan pembangunan bandara.
Lahan seluas 10 hektare miliknya bersama delapan kepada keluarga lainnya pun diserahkan kepada pemerintah untuk pembangunan bandara.
Tetapi menurutnya sampai saat ini ia belum menerima sepeser pun ganti rugi atas tanah yang terpakai tersebut.
Berbagai upaya telah dilakukan, namun belum membuahkan hasil, padahal tanah itu adalah sumber penghidupan kami, kata dia.
Ia selalu berharap agar ganti rugi tanah miliknya segera diselesaikan dan dibayar sebagai penyambung hidup dihari tua.
Kini, Abbas hanya menerima pensiun sebagai veteran setiap bulan Rp1.300.000 dan uang itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari bersama istrinya, sembari terus berdoa agar hak ganti rugi atas tanahnya dipenuhi oleh pemerintah.
Sementara, Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menggelar menggelar ramah tamah dengan pejuang angkatan 45 sebagai bentuk apresiasi kepada para pejuang dan veteran yang telah berjasa dalam merebut kemerdekaan.
"Ramah tamah digelar sebagai bentuk penghormatan dan berbagi cerita dengan para veteran dan pejuang yang telah berjuang merebut kemerdekaan," kata Irwan.
Menurutnya, salah satu aspek yang perlu diteladani dari para pejuang adalah komitmen dan semangat mereka untuk berjuang tanpa pamrih untuk bangsa dan negara.
"Oleh sebab itu generasi muda harus menjadikan perjuangan yang telah dilakukan para veteran sebagai contoh yang perlu diteladani," kata dia.
Selain itu, ia mengharapkan apa yang telah dilakukan oleh pejuang perlu digali untuk didokumentasikan sebagai salah satu sejarah penting di Sumatera Barat.
Sejalan dengan itu, Ketua DPRD Sumbar Yultekhnil mengharapkan pemerintah memberikan perhatian lebih kepada para pejuang dan veteran yang telah banyak berjasa.
Salah satu yang diusulkan Yultekhnil adalah pembangunan kembali Gedung Juang 45 yang telah roboh karena gempa 2009 lalu.
Menurut dia, pembangunan kembali gedung tersebut merupakan salah satu upaya mempertahankan nilai-nilai sejarah dan apresiasi terhadap pejuang dimana gedun tersebut dapat dijadikan sebagai museum dan pusat dokumentasi sejarah. (wan/jno)