Lelaki Buta Tua Itu Masih Saja Berjuang

id Lelaki Buta Tua Itu Masih Saja Berjuang

Lelaki Buta Tua Itu Masih Saja Berjuang

Syafril, lelaki tua buta yang berprofesi sebagai perabab jalanan

Jam di dinding baru saja menunjukkan pukul 21.15 WIB. Sekelompok anak muda tampak keluar dari sebuah masjid di dekat kawasan Pasar Raya Solok. Mereka baru saja melaksanakan ibadah shalat tarwih bersama di masjid tersebut. Begitu keluar, mereka langsung bergerak menuju sebuah kedai minuman, yang letaknya tidak jauh dari lokasi masjid. Kepada pemilik kedai, masing-masing mereka memesan minuman favorit masing-masing. Ada yang meminta skoteng, ada juga yang memesan teh telur, sebagian lagi meminta susu soda dan bandrek. Dalam waktu cepat semua pesanan ini disiapkan oleh Peri, si pemilik kedai.Sambil minum, enam anak muda ini asyik menceritakan kegiatan dam pengalaman mereka masing-masing. Namun tiba-tiba keasyikan mereka terhenti oleh alunan bunyi rabab, yang datang dari sebelah mereka. Alunan rabab ini dimainkan seorang lelaki tua, memakai celana dan baju mirip pakaian TNI, yang telah lusuh. Sambil membentangkan tikar plastik yang juga telah mulai lusuh, lelaki tua ini mendendangkan rabab disertai nyanyian, yang berisikan tema tentang penderitaan hidup seorang manusia. Sesaat perhatian anak muda dan seluruh isi kedai minuman tertuju kepada lelaki pendendang rabab. Sementara lelaki tua tetap saja mendendangkan rababnya. Setelah menyanyikan sekitar tiga buah lagu, dia berhenti sesaat, sambil mengarahkan tangannya pada sebuah piring plastik yang berada di depannya. Ketika benda yang diraba tidak berisi atau kosong, lelaki tua itu kembali memainkan rababnya. Sementara semua orang kembali melanjutkan meminum minuman masing-masing tanpa menghiraukan lagi keberadaan lelaki tua dan alunan rabab yang terus mengalunkan iramalagu. Waktu terus bergerak. Ketika malam terus merambat, semua orang yang berada di kedai melangkahkan kaki menuju rumah masing-masing. Sekarang di kedai hanya tinggal si pemilik kedai dan si lelaki tua. Dengan perasaan kecewa lelaki tua menghentikan alunan rababnya akibat piring plastik masih kosong seperti semula. Wajah kecewa memancar di mukanya. "Ehhm, dari tadi tidak ada uang yang kita dapat," keluh lelaki tua tersebut perlahan saat antara-sumbar.com mencoba mendekatinya. Ternyata lelaki tua tersebut adalah pengamen jalanan. Wajahnya yang kurang familiar bagi pemilik kedai menandakan dia bukan berasal dari Kota Solok. Kepada antara-sumbar.com, lelaki tua itu mengaku bernama Syafril (60). Dia berasal dari Tarusan Kabupaten Pesisir Selatan. Matanya yang buta sejak tahun 2003 lalu akibat kecelakaan membuat dirinya menjadi pengamen jalanan, berkekeling ke semua daerah mencari sesuap nasi mengharapkan uang seribu atau dua ribu dari orang lain, yang terkesima dengan alunan rababnya. "Terkadang kita mendapatkan uang, terkadang tidak. Kalaupun dapat itu hanya sekedar untuk membeli makanan dan ongkos perjalanan," hiba Syafril. Saat ini Syafril hidup seorang diri. Istrinya, Rina meninggalkan dirinya untuk menikah dengan lelaki lain tahun 2004 lalu, setelah dia mengalami kebutaan. Memang dia memiliki dua orang anak perempuan, Rani dan Riri. Namun dia juga tidak bisa menumpang hidup kepada mereka karena kedua anaknya juga hidup di bawah kemiskinan. "Rina sekarang di kampung bersama suaminya, sementara Riri berada di Batam bersama keluarganya," terang Syafril. Untuk memenuhi kebutuhkan hidupnya, Syafril terpaksa berkelana dari satu daerah ke daerah lain. Saat ini, hampir semua daerah di Sumatera Barat telah didatanginya, seperti Padang, Bukittinggi, Payakumbuh, Batusangkar, Solok dan lainnya. "Saya hanya pulang satu kali lima belas hari ke Pesisir Selatan," katanya. Menurut Syafril selama dalam perjalanan dia sering menumpang tidur pada orang yang mengasihinya. Bahkan ketika tidak ada orang yang menumpangkan tempat berteduh, dia harus rela tidur di masjid, mushalla atau di pos ronda. "Kita terserah saja mau tidur dimana, yang penting mata ini bisa terlelap," katanya. Dikatakan Syafril, dari mendendangkan rabab ini dia bisa mendapatkan uang sebanyak Rp 40 ribu per hari, namun uang tersebut hanya cukup untuk membeli makan dan ongkos perjalanan. "Itu bila ada rezeki, terkadang kalau tidak ada rezeki, kita tidak dapat uang sedikitpun," keluhnya. Lama bercerita akhirnya Syafril memohon pamit untuk beristirahat. Sambil mengemasi rabab dan tasnya, Syafril bergerak menuju Pos Satpam Pasar Raya Solok. Ternyata Syafril menumpang tidur untuk malam ini di Pos Satpam tersebut. Sebab menurutnya besok dia akan menuju Kota Bukittinggi untuk mencari sesuap nasi. Kehidupan Syafril dapat menjadi pelajaran bagi setiap orang. Meski matanya buta, namun Syafril tetap memiliki tekad yang kuat untuk bertahan hidup, meski harus berkeliling mengamen mengharapkan uang seribu atau dua ribu dari orang lain. ***