Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua 1 Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan mengatakan masyarakat juga memiliki peran untuk menghidupkan ekosistem perfilman, baik lokal, nasional, maupun internasional.
Ia menjelaskan, ekosistem film yang kini ada beberapa tahun belakangan, seperti adanya kehadiran festival film lokal, merupakan hasil diskusi dan pertukaran pikiran antara para penyuka, komunitas, dan pembuat film itu sendiri.
"Ekosistem yang digunakan beberapa tahun belakangan adalah hasil diskusi atau brainstorming dengan komunitas dan pekerja film. Ekosistem ini memiliki rantai yang saling bergantungan, mulai dari konsep sampai siap tayang, hingga rantai distribusi yang menurut saya masih menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi infrastruktur industri dan film," jelas Hikmat, ditulis pada Sabtu.
"Ada juga upaya warga yang berharga untuk mewujudkan distribusi dan sirkulasi film lewat komunitas," imbuhnya.
Lebih lanjut, Hikmat mengatakan adanya kegiatan perfilman seperti festival film di sebuah kota, dapat menjadikan kota itu menjadi lebih hidup pula.
"Ada kegiatan dan identitas di kota itu sendiri secara nasional atau global yang akan hadir di festival tersebut, dan ada banyak platform dan gagasan yang dipertukarkan, menjadi ruang percakapan untuk bertukar ide, pembacaan, dan informasi, wahana untuk saling mengenal lewat media audio-visual yang terus berkembang," imbuhnya.
Sineas Garin Nugroho pun sependapat. Ia mencontohkan Festival Film Internasional Gangneung di Korea Selatan, yang turut memberikan percikan semangat di kota kecil tersebut.
"Festival film dibangun atas dasar keberagaman sudut pandang, fokus, dan subjek. Di Gangneung sendiri, festival berfokus kepada karakter daerah itu yang merupakan kota sastra di Korea, sehingga menampilkan film-film yang diadaptasi dari karya sastra," papar Garin.
"Tidak peduli apakah festival itu kecil atau besar, yang penting adalah nilai dan cara pandang. Festival film dengan beragam karakter memang diperlukan, bukan soal besar-kecilnya," imbuhnya.
Bicara soal Jakarta yang menjadi rumah sejumlah festival film baik lokal maupun internasional, Garin mengatakan ibu kota memiliki ruang publik intelektual dan kebersamaan.
"Tanpa ruang publik yang sehat dan kritis, kota tidak punya identitas. Oleh karena itu, salah satunya dari festival film adalah membangkitkan ruang publik yang juga membangun identitas kota. Tanpa suatu ruang publik bersama, sebuah kota tak akan menjadi sebuah kota," imbuhnya.
Pengamat film sekaligus Board Festival Film Internasional Madani 2021 Ekky Imanjaya, menambahkan bahwa pemangku kepentingan perfilman Indonesia adalah seluruh masyarakat Indonesia.
"Stakeholder film Indonesia adalah seluruh masyarakat, bukan hanya para pekerja film. Dengan film kita bisa saling bertukar ide tak hanya dengan mereka yang hidupnya memang suka film, tapi sebanyak mungkin orang dengan kesamaan ide di festival film," ujarnya.
Ia menjelaskan, ekosistem film yang kini ada beberapa tahun belakangan, seperti adanya kehadiran festival film lokal, merupakan hasil diskusi dan pertukaran pikiran antara para penyuka, komunitas, dan pembuat film itu sendiri.
"Ekosistem yang digunakan beberapa tahun belakangan adalah hasil diskusi atau brainstorming dengan komunitas dan pekerja film. Ekosistem ini memiliki rantai yang saling bergantungan, mulai dari konsep sampai siap tayang, hingga rantai distribusi yang menurut saya masih menjadi PR (pekerjaan rumah) bagi infrastruktur industri dan film," jelas Hikmat, ditulis pada Sabtu.
"Ada juga upaya warga yang berharga untuk mewujudkan distribusi dan sirkulasi film lewat komunitas," imbuhnya.
Lebih lanjut, Hikmat mengatakan adanya kegiatan perfilman seperti festival film di sebuah kota, dapat menjadikan kota itu menjadi lebih hidup pula.
"Ada kegiatan dan identitas di kota itu sendiri secara nasional atau global yang akan hadir di festival tersebut, dan ada banyak platform dan gagasan yang dipertukarkan, menjadi ruang percakapan untuk bertukar ide, pembacaan, dan informasi, wahana untuk saling mengenal lewat media audio-visual yang terus berkembang," imbuhnya.
Sineas Garin Nugroho pun sependapat. Ia mencontohkan Festival Film Internasional Gangneung di Korea Selatan, yang turut memberikan percikan semangat di kota kecil tersebut.
"Festival film dibangun atas dasar keberagaman sudut pandang, fokus, dan subjek. Di Gangneung sendiri, festival berfokus kepada karakter daerah itu yang merupakan kota sastra di Korea, sehingga menampilkan film-film yang diadaptasi dari karya sastra," papar Garin.
"Tidak peduli apakah festival itu kecil atau besar, yang penting adalah nilai dan cara pandang. Festival film dengan beragam karakter memang diperlukan, bukan soal besar-kecilnya," imbuhnya.
Bicara soal Jakarta yang menjadi rumah sejumlah festival film baik lokal maupun internasional, Garin mengatakan ibu kota memiliki ruang publik intelektual dan kebersamaan.
"Tanpa ruang publik yang sehat dan kritis, kota tidak punya identitas. Oleh karena itu, salah satunya dari festival film adalah membangkitkan ruang publik yang juga membangun identitas kota. Tanpa suatu ruang publik bersama, sebuah kota tak akan menjadi sebuah kota," imbuhnya.
Pengamat film sekaligus Board Festival Film Internasional Madani 2021 Ekky Imanjaya, menambahkan bahwa pemangku kepentingan perfilman Indonesia adalah seluruh masyarakat Indonesia.
"Stakeholder film Indonesia adalah seluruh masyarakat, bukan hanya para pekerja film. Dengan film kita bisa saling bertukar ide tak hanya dengan mereka yang hidupnya memang suka film, tapi sebanyak mungkin orang dengan kesamaan ide di festival film," ujarnya.