Solok (ANTARA) - Produksi minyak serai wangi di salah satu usaha kecil menengah (UKM) Rumah Harum Atsiri di Kota Solok, Sumatera Barat, mencapai 15 ton per bulan dengan omzet mencapai Rp75 juta.
"Rumah Harum Atsiri merupakan salah satu usaha minyak atsiri yang ada di Kota Solok, dari kelompok tani Dharmasraya, Sijunjung, Sawahlunto, Solok Selatan, Kabupaten Solok, dan Kota Solok," kata Kepala Cabang Rumah Atsiri Solok, Indra di Solok, Selasa.
Ia menjelaskan murah dan mahalnya harga minyak atsiri dilihat dari tingginya citranola (kandungan minyak daun serai) yang dicek melalui alat neterlak.
"Kalau kadar citranolanya 40 ke atas itu harganya mencapai Rp150 ribu per kilogram dan minyak atsiri yang masuk dalam golongan ini berasal dari Kota Solok, berbeda dengan minyak atsiri asal Pasaman citranolanya hanya 36 dihargai Rp130 ribu per kilogram," ujarnya.
Bedanya kondisi citanola ini dikarenakan bedanya letak geogragis, pengaruh tanah, dan bibit. Bibit serai di Kota Solok bagus karena di bawah naungan Balaitropika, dan tidak ada campuran bibit lainnya, jelasnya.
"Aromaterapi di jual mulai dari Rp15 ribu, lotion Rp20 ribu, dan karbol dengan harga Rp15 ribu," katanya.
Sedangkan penjualan minyak atsiri dengan kemasan 50-100 ml mulai dari harga Rp15 ribu.
Untuk mencapai omzet Rp75 juta per bulan. Dalam sekali produksi ketel mampu menampung 650 kilogram penyulingan. Dengan hitungan 1 hektare, bisa memanen 10 ton dengan sekitar 10.000 tampang serai wangi.
Ia berharap empat bulan ke depan akan ada pertemuan dewan atsiri Indonesia, sehingga membuka peluang dan berpengaruh merambah pasar ekspor.
"Karena pernah ada pasar ekspor di Jakarta, Australia mulai melirik minyak serai wangi dan mau membeli Rp500 ribu perkilogramnya, Lalu Turki juga mau membeli Rp 400 ribu perkilogram, sementara di Solok harga baru dihargai Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per kilogram," ujarnya.
Kehadiran Rumah Harum Atsiri di Kota Solok ini, tidak hanya membeli minyak atsiri dari petani, tetapi juga memberikan sejumlah pelatihan dan pendampingan bagi petani sereh untuk penggarapan lahan, serta penyediaan bibit unggul.
Dalam tiga bulan belakangan untuk meningkatkan kemitraan, Rumah Harum Atsiri telah menjalin CSR dengan BUMN Pertamina. Dari CSR ini, mereka menganggarkan bantuan modal Rp1,6 miliar bagi petani di bawah Rumah Atsiri Pasaman.
Melalui program ini, masing-masing petani diberikan bantuan pinjaman modal sekitar Rp 200 juta yang disesuaikan dengan luas garapan serainya, yang dapat digunakan untuk bibit serai dan lainnya.
Tapi untuk Kota Solok, program untuk mendapatkan CSR bantuan petani ini masih dalam proses tahap survei oleh pihak Pertamina.
Indra mengungkapkan selama empat bulan terakhir, Rumah Harum Atsiri menjadi eksportir minyak atsiri yang masih eksis di Sumbar, yang dalam sebulan menghasilkan minyak atsiri hingga 15 ton, salah satunya untuk BUMN Silk Biofarma.
"Kendala sulit yang ditemui di lapangan ketika harga turun, maka kami pun mulai bingung mematok harga minyak, karena ketika petani sereh panen, harus memikirkan upah panen, biaya penyulingan dan lainnya," sebutnya.
"Rumah Harum Atsiri merupakan salah satu usaha minyak atsiri yang ada di Kota Solok, dari kelompok tani Dharmasraya, Sijunjung, Sawahlunto, Solok Selatan, Kabupaten Solok, dan Kota Solok," kata Kepala Cabang Rumah Atsiri Solok, Indra di Solok, Selasa.
Ia menjelaskan murah dan mahalnya harga minyak atsiri dilihat dari tingginya citranola (kandungan minyak daun serai) yang dicek melalui alat neterlak.
"Kalau kadar citranolanya 40 ke atas itu harganya mencapai Rp150 ribu per kilogram dan minyak atsiri yang masuk dalam golongan ini berasal dari Kota Solok, berbeda dengan minyak atsiri asal Pasaman citranolanya hanya 36 dihargai Rp130 ribu per kilogram," ujarnya.
Bedanya kondisi citanola ini dikarenakan bedanya letak geogragis, pengaruh tanah, dan bibit. Bibit serai di Kota Solok bagus karena di bawah naungan Balaitropika, dan tidak ada campuran bibit lainnya, jelasnya.
"Aromaterapi di jual mulai dari Rp15 ribu, lotion Rp20 ribu, dan karbol dengan harga Rp15 ribu," katanya.
Sedangkan penjualan minyak atsiri dengan kemasan 50-100 ml mulai dari harga Rp15 ribu.
Untuk mencapai omzet Rp75 juta per bulan. Dalam sekali produksi ketel mampu menampung 650 kilogram penyulingan. Dengan hitungan 1 hektare, bisa memanen 10 ton dengan sekitar 10.000 tampang serai wangi.
Ia berharap empat bulan ke depan akan ada pertemuan dewan atsiri Indonesia, sehingga membuka peluang dan berpengaruh merambah pasar ekspor.
"Karena pernah ada pasar ekspor di Jakarta, Australia mulai melirik minyak serai wangi dan mau membeli Rp500 ribu perkilogramnya, Lalu Turki juga mau membeli Rp 400 ribu perkilogram, sementara di Solok harga baru dihargai Rp150 ribu hingga Rp200 ribu per kilogram," ujarnya.
Kehadiran Rumah Harum Atsiri di Kota Solok ini, tidak hanya membeli minyak atsiri dari petani, tetapi juga memberikan sejumlah pelatihan dan pendampingan bagi petani sereh untuk penggarapan lahan, serta penyediaan bibit unggul.
Dalam tiga bulan belakangan untuk meningkatkan kemitraan, Rumah Harum Atsiri telah menjalin CSR dengan BUMN Pertamina. Dari CSR ini, mereka menganggarkan bantuan modal Rp1,6 miliar bagi petani di bawah Rumah Atsiri Pasaman.
Melalui program ini, masing-masing petani diberikan bantuan pinjaman modal sekitar Rp 200 juta yang disesuaikan dengan luas garapan serainya, yang dapat digunakan untuk bibit serai dan lainnya.
Tapi untuk Kota Solok, program untuk mendapatkan CSR bantuan petani ini masih dalam proses tahap survei oleh pihak Pertamina.
Indra mengungkapkan selama empat bulan terakhir, Rumah Harum Atsiri menjadi eksportir minyak atsiri yang masih eksis di Sumbar, yang dalam sebulan menghasilkan minyak atsiri hingga 15 ton, salah satunya untuk BUMN Silk Biofarma.
"Kendala sulit yang ditemui di lapangan ketika harga turun, maka kami pun mulai bingung mematok harga minyak, karena ketika petani sereh panen, harus memikirkan upah panen, biaya penyulingan dan lainnya," sebutnya.