Padang Pariaman, Sumbar (ANTARA) - Hampir setiap malam Hendri memeriksa pasir di Pantai Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat dengan cahaya lampu motornya untuk mencari jejak penyu yang bertelur.

Ditemani debur ombak Samudra Hindia, ia menyisir pantai sepanjang 14 kilometer di Kecamatan Batang Anai. Penyisiran akan berhenti jika melihat jejak induk penyu merangkak dari laut menuju daratan untuk mengeluarkan ratusan butir telur.

Namun, hingga dini hari, Hendri belum juga melihat tanda-tanda yang dinantikan itu. Padahal sepanjang penyisiran tidak jarang hampir terjatuh karena medan yang ditempuh sulit.

Belum lagi ditambah dengan biaya yang dikeluarkan sekitar Rp30 ribu untuk sekali jalan. Tentu uang senilai itu dinilai besar baginya yang hanya seorang guru agama berstatus honorer di SDN 08 Batang Anai dengan menerima gaji Rp450 ribu per bulan.

Beruntung malam itu ia menemukan satu tempat bertelur penyu jenis lekang yang berisi puluhan butir telur yang baru saja ditinggalkan induknya.

Setelah menyelesaikan penelusuran, telur-telur itu langsung dibawa ke konservasi penyu di Kota Pariaman.

Telur penyu yang dibawanya dihargai senilai Rp3.150 per butir. Harga itu tentu lebih rendah jika bandingkan menjual telur-telur itu kepada oknum yang tidak bertanggungjawab.

Namun, ia lebih memilih menjual telur-telur itu kepada pihak konservasi penyu. "Saya hanya ingin ikut membantu pemerintah untuk melestarikan kehidupan penyu yang saat ini terancam punah," kata pemuda usia 33 tahun itu yang memiliki nama lengkap Dedi Zulhendri.

Menurutnya jika ia sudah memilih mengabdi kepada negara maka pengabdian itu harus maksimal. Hal yang ia lakukan itu telah dijalankannya semenjak 2009 lalu.

Di awal konservasi dibuka, telur yang dia bawa dihargai Rp3 ribu per butir dengan sistem pembayaran tunai. Namun sekarang harga telur tersebut naik Rp150 per butir dengan sistem pembayaran nontunai.

Menurut pengakuan Hendri, dalam beberapa tahun terakhir, telur yang ditemukan berkurang. Padahal pada 2009 dan 2010, dalam semalam dirinya dapat menemukan empat sampai delapan tempat bertelur induk penyu.

Sekarang untuk menemukan satu saja sudah sulit, sedangkan orang yang khusus mencari telur seperti hal yang dijalaninya bisa dikatakan tidak ada.

Dulu ia bisa mendapatkan uang Rp7 juta untuk sekali pencairan namun sekarang hanya Rp4 juta yang dikumpulkannya dalam beberapa bulan.

Karena mulai sulit ditemukan, maka dia sesekali keluar dari lokasi pencarian yang biasa yaitu hingga Pantai Kota Pariaman.

Risikonya, dia dihadang oleh sejumlah pemuda karena mereka menganggap pantai tersebut adalah wilayahnya sehingga orang lain dilarang masuk untuk mencari telur penyu.

Hal itu tidak membuat Hendri bergeming padahal dia tidak memiliki tanda pengenal dari pihak terkait yang memudahkannya dalam mencari telur.

Hendri menyampaikan keberaniannya muncul karena ia meyakini masih banyak orang mencari telur penyu untuk dijual kepada oknum yang tidak bertanggung jawab.

Dia mengungkapkan bahwa pencarian telur penyu dan dijual ke konservasi juga didasari oleh desakan ekonomi yang mana ia sekarang telah memiliki satu istri dan satu anak.

Jika, dia tidak keluar tengah malam untuk mencari telur maka ada dua kerugian yang ditimbulkan, yaitu telur akan diambil oleh oknum tidak bertanggungjawab dan pundi-pundi penghasilannya akan hilang.

Hal tersebut yang menguatkan hatinya untuk mengendarai motornya pada malam hari dengan jarak tempuh belasan kilometer mulai dari rumahnya di Kecamatan Sintuak Toboh Gadang ke lokasi awal penelusuran.

Pengetahuannya tentang telur penyu didapatkannya semenjak kecil. Pengetahuan itu diperoleh karena rumah orang tuanya berada di tepi pantai.

Hendri mengungkap ia selalu membaca tanda-tanda alam untuk mengetahui kapan penyu akan bertelur. Salah satu tanda tersebut yaitu ketika laut pasang naik.

Untuk melihat lokasi penyu menetaskan telurnya, dapat dilihat dari jejak yang ditinggalkan di pasir.

Jika, jejak tersebut berbentuk zig-zag maka induk penyu sedang mencari lokasi bertelur atau mempermudah pendakian. Namun jika jejaknya lurus ke arah laut maka induk penyu telah meninggalkan pantai.

Setiap pasang tiba, ia akan mendatangi pantai untuk memulai penelusuran dengan waktu yang berbeda setiap harinya. Jika hari pertama ia memulai pencarian pukul 22.00 WIB maka hari berikutnya pencarian akan dimulai pada pukul 23.00 WIB.

Begitu juga dengan pengetahuannya dalam mengambil telur dan membawanya ke konservasi. Ia akan menyertakan pasir tempat induk mengeluarkan telurnya guna menjaga kehangatan dan meminimalkan guncangan saat membawanya.

Ia menyampaikan ada musim penyu banyak bertelur ke pantai itu bahkan dalam semalam ia bisa menemukan empat lokasi.

Penelusuran pantai untuk mencari telur tersebut tidak dapat dijalankannya setiap hari serta berlanjut sampai nanti karena terbatas dengan fisik yang tentunya semakin lemah. "Jika tenaga saya masih kuat tentu pencarian akan tetap saya lakukan," katanya.

Oleh karena itu berharap warga di daerah itu peduli terhadap kelangsungan penyu yang mana saat ini hampir punah.

Menurut pihak Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) Kota Pariaman meski banyak warga yang mengantarkan telur penyu ke konservasi penyu itu, namun sebagian besar mereka tidak mengkhususkan mencarinya. Berbeda halnya dengan Hendri yang khusus mencari telur penyu dan menjualnya kepada pihak konservasi.

Koordinator KKPD Kota Pariaman M. Guntur mengatakan telur-telur penyu yang diantarkan warga tersebut diinkubasi di lokasi penetasan kisaran 50 sampai 63 hari.

Lama waktu penetasan tersebut tergantung dari musim. Apabila musim panas maka penetesan dapat dilakukan selama 50 hari sedangkan jika musim penghujan maka penetasan bisa mencapai 63 hari.

Pihaknya mencatat untuk periode Januari hingga Mei 2019 konservasi itu telah menetaskan 1.932 telur penyu dari 2.769 telur yang yang diinkubasi.

Tukik atau anak penyu tersebut nantinya dapat sebagai edukasi terhadap pengunjung. Apabila anak penyu tersedia maka pengunjung dapat melepaskannya ke laut lepas dengan biaya Rp5 ribu per ekor.

Ada tiga jenis penyu di konservasi tersebut yaitu sisik, lekang, dan hijau yang dapat dilihat dan sebagai edukasi bagi pengunjung.

Selain anak penyu, dikonservasi itu juga terdapat penyu usia 10 tahun yang dapat menambah ketertarikan pengunjung tentang penyu.

Melihat antusias pengunjung yang meningkat dari tahun ke tahun pada libur Lebaran 2019, pihaknya menyiapkan 19 petugas untuk melayani pengunjung yang mengunjungi konservasi itu. "Petugas itu kami bagi dalam berbagai tugas mulai dari menjual tiket hingga mendampingi wisatawan," ujarnya.

Ia mengatakan persiapan tersebut karena melihat dari tahun lalu jumlah kunjungan ke konservasi itu bisa mencapai ribuan orang sehingga perlu persiapan yang berbeda dari hari biasa.

Pada hari biasa, dia hanya menempatkan dua sampai tiga petugas untuk memberikan pendampingan dan edukasi kepada wisatawan.

Untuk bisa memasuki konservasi itu wisatawan dikenakan biaya tiket Rp2 ribu per orang untuk semua usia.

Dia berharap dengan edukasi yang dilakukan maka dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga kelestarian hewan langka itu dan tidak mengkonsumsi telurnya yang mana juga berbahaya untuk kesehatan.*

 

Pewarta : Aadiat M Sabir
Editor : Ikhwan Wahyudi
Copyright © ANTARA 2024