Lima jam mencekam di Malalak Timur

id bencana sumbar, malalak Oleh Iggoy el Fitra

Lima jam mencekam di Malalak Timur

Seorang jurnalis tv melintasi material banjir bandang di Malalak Timur, Agam, Sumatera Barat, Kamis (27/11/2025). ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra.

Padang (ANTARA) - Selepas sahur, saya menyiapkan jas hujan dan sepatu bot untuk pergi liputan. Di dalam rumah air terus masuk melalui polongan kamar mandi karena debitnya melimpah di halaman belakang. Saya menyedot air menggunakan pompa ke drainase. Hujan belum berhenti sejak empat hari lalu.

Saat itu Kamis, 27 November 2025. Dengan tekad dan doa, saya menembus hujan menggunakan motor dari Padang ke Nagari Malalak Timur, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, untuk meliput kondisi pasca banjir bandang yang kabarnya memakan banyak korban jiwa. Jaraknya sekitar 95 kilometer. Memakai motor adalah hal yang paling masuk akal untuk liputan bencana karena akses bisa saja tertutup bagi mobil.

Pada hari sebelumnya, Padang diterjang banjir bandang di kawasan Batu Busuk, Lambung Bukik. Dua rumah hanyut dan satu mushalla rusak berat. Saya masih sempat liputan ke pengungsian sampai malam, sebelum mendengar kabar kondisi lebih parah di Malalak Timur yang menimbulkan korban.

Di antara gelap dan terang, hujan deras menghunjam helm dan mantel sepanjang perjalanan. Di bawah jembatan layang tol Buayan, Batang Anai, Padang Pariaman, saya menyaksikan sejumlah alat berat dan truk terparkir di tepi jalan karena air sungai Batang Anai sudah meluap.

Sesampainya di Sicincin, air melimpah dari sawah-sawah yang ada di sisi kanan saya. Motor trail saya terendam nyaris hingga mesin, tetapi motor terus melaju menyibak banjir. Tidak jauh dari Simpang Koto Mambang, jalan baru saja tertutup longsor beberapa jam lalu. Akses memutar yang disarankan lebih jauh ke arah kota Pariaman.

Seorang warga menunjukkan akses dekat yang bisa ditempuh melalui jalan setapak di perkampungan. Saya langsung gas ke arah sana sekitar satu kilometer, dan melintasi jalan yang penuh lumpur. Ban belakang motor meliuk-liuk melewatinya. Tidak lama, saya berhasil tembus ke seberang lokasi longsor dan melanjutkan perjalanan ke Malalak Timur.

Sepanjang perjalanan, terdapat banyak titik longsor yang menutupi sebagian jalan. Kawasan Malalak memang sudah dikenal dengan lokasi yang rawan longsor. Jalan alternatif ke Bukittinggi ini biasanya tidak akan dilewati dalam kondisi hujan, karena banyak sekali tebing-tebing di tepi jalan yang tidak memiliki turap.

Sebelum sampai ke titik bencana, sebuah tenda BNPB rebah di tengah jalan. Barangkali karena badai. Jalan tersisa hanya di bagian tanah untuk satu motor. Saya melewatinya, kemudian tidak jauh sampai di lokasi. Saya memarkirkan motor di depan rumah yang selamat dari terjangan banjir bandang. Sepanjang jauh ke depan, jalan tertutup material longsor.

Jam di ponsel menunjukkan pukul 07.00 WIB. Sinyal internet benar-benar hilang, bahkan untuk menelepon sekali pun.

Karena tidak memungkinkan mengeluarkan kamera, saya bertanya pada warga yang rumahnya selamat itu, apakah ada payung? Seorang lansia yang saya tidak catat namanya mengatakan hanya ada payung patah, lalu saya pun tetap meminjamnya, sebagai upaya melindungi kamera.

Seorang warga lainnya, dengan mantel plastik merah muda menyambut saya di sana, dan bersedia mengantar ke titik-titik paling parah. Ia mengatakan, saya adalah wartawan pertama yang tiba di sana.

"Kejadian pukul 16.00 sore, banyak korban di sini, Pak, mayatnya kami letakkan saja di lokasi menunggu dijemput keluarganya, tim SAR sudah masuk malam tadi, tapi hujan terus jadi tidak bisa evakuasi," kata warga tersebut.

Kami berhati-hati meniti jalan di atas lumpur agar tidak terbenam lebih dalam. Setelah kejadian pada Rabu (26/11/2025), menurut warga, material longsor sangat tebal, namun hujan deras yang terus turun mengikis lumpur ke jurang.

"Nah di sini ada korban ibu-ibu bersama anaknya, Pak, tapi belum ditemukan," kata warga sambil menunjuk rumah dan lereng di sisi kiri jalan. Di rumah itu ada sebuah mobil di terasnya dengan material kayu yang terbawa arus banjir bandang.

Kondisi bencana di Jorong Toboh Tangah, Malalak Timur itu menimpa dua titik yang berada dari longsoran perbukitan dari arah sisi kanan jalan, sementara di sisi kiri jalan adalah jurang dan terus menurun. Banyak areal pesawahan terasering di kawasan itu.

Sementara saya dan warga lainnya, berada di jalan yang sebenarnya dalam kondisi sangat tidak aman. Bisa saja longsoran baru datang dari arah perbukitan, karena hujan terus turun begitu derasnya tanpa semenit pun berhenti.

Titik pertama sudah saya lewati dan di depan adalah titik kedua yang memutus jalan dengan aliran sungai yang deras. Di sana sebenarnya adalah akses untuk menuju rumah-rumah yang terdampak di perbukitan sebelah kanan, tapi tidak bisa ditempuh. Warga mengajak saya melewati areal pesawahan.

Setelah melewati beberapa tingkat sawah, pematang lunak dan longsor saat dipijak. Saya tidak bisa fokus antara berpegangan dengan melindungi kamera yang tergantung dan memegang payung patah. Akhirnya saya memutuskan untuk turun dulu, menyelamatkan kamera yang sudah basah.

Seorang warga mengantar saya ke pos ronda, di mana ada jenazah korban yang diletakkan di keranda dan ditutup kain. Darah mengucur dari bagian kaki ke genangan air di bawahnya. Sejumlah warga lainnya menunggui jenazah itu, karena belum ada keluarga yang menjemput.

Pukul 08.00 WIB, tim Basarnas dan Brimob Polda Sumbar yang sudah tiba sejak sehari sebelumnya, masuk ke lokasi. Mereka membantu evakuasi jenazah termasuk korban di pos ronda yang tidak dijemput pihak keluarganya, sekaligus mengevakuasi korban yang luka-luka. Teman-teman wartawan juga mulai datang.

Seorang warga menggunakan jas hujan plastik biru dengan lampu darurat di kepala menjelaskan kronologi kejadian yang mereka sebut galodo itu.

"Waktu hujan kira-kira jam 4 itu, hujan reda sedikit. Saya menyaksikan detik-detik kejadian itu, Pak. Nah, dari sana saya lihat itu datang, terus saya lari ke sana bilang ke orang-orang kampung suruh keluar, ada galodo," katanya sambil menunjukkan tangan ke arah perbukitan. Kepanikan masih tersirat di wajahnya.

Kamera ponsel kabur, embun sudah menutupi sebagian lensanya. Begitu juga kamera yang saya gunakan, sesekali harus dilap agar tetap jernih. Selain hujan, suhu di Malalak Timur termasuk sangat dingin karena berada di kaki gunung Singgalang dan Tandikek. Ketika berbicara, mulut kita mengeluarkan uap tapi disamarkan oleh hujan yang tidak berhenti.

Semakin deras hujan, saya bersama beberapa teman wartawan berteduh di rumah warga yang ditinggalkan. Di sana ada meja dan kursi untuk duduk. Dua anggota Brimob juga ikut bergabung. Sebagian tim SAR pergi ke lereng sawah di bawah karena warga memberikan informasi ada jenazah di sana, sebagian lagi pergi ke atas dengan tiga kantong mayat.

Hujan sangat deras mengurungkan niat saya bersama sejumlah teman wartawan untuk ikut evakuasi. Angin kencang juga dapat mematahkan dan menerbangkan payung. Kami menunggu di rumah warga yang ditinggalkan itu, namun hati tetap khawatir dengan longsor susulan dari atas bukit.

Rumah yang menjadi tempat berteduh menghadap ke jalan yang di seberangnya jurang, sementara di belakang rumah adalah perbukitan. Air mengalir deras di jalan menuju ke tempat yang lebih rendah.

Tidak ada informasi daerah aman di sana, tidak ada yang mengimbau atau mengingatkan.

Sinyal di ponsel hilang, saya tidak tahu sama sekali kabar dari Padang dengan kondisi yang seperti ini. Sebelumnya, saya sempat bisa menelepon Kepala Biro ANTARA Sumatera Barat untuk memberi informasi saya sudah di Malalak Timur. Saya juga sempat bisa menelepon istri melalui panggilan biasa, yang mengabarkan air sungai Lubuk Minturun di Padang meluap.

Pukul 11.00 WIB, sejumlah tim SAR kembali turun namun tidak membawa jenazah. Menurut mereka, jenazah korban banjir bandang langsung dikuburkan oleh pihak keluarga. Mereka juga sempat mengevakuasi seorang lansia yang terjebak di rumahnya.

Hujan tidak berhenti, saya tidak bisa menerbangkan drone sama sekali. Karena dirasa foto darat sudah cukup, saya mengajak teman-teman jurnalis untuk keluar dari lokasi. Selain karena tidak memungkinkan dan masih rawan, hasil liputan kami harus segera dikirim.

Saya bersama jurnalis dari Pariaman, Rozi dan Eka, berjalan beriringan menggunakan motor. Sedangkan, teman-teman jurnalis lainnya masih di belakang kami menggunakan mobil.

Sekitar satu kilometer keluar dari lokasi, tiba-tiba perjalanan kami dihentikan oleh warga setempat.

"Jalan amblas da, ndak bisa lewat dulu," kata mereka. Di sana saya melihat sebagian jalan bolong, dan menyisakan lapisan aspal di atasnya.

Saya pikir, tidak mungkin berhenti di sini, karena akses akan terputus total. Saya paksakan untuk tetap bisa lewat dan mengatakan kepada warga, bahwa kami wartawan, jika tidak keluar dari sini, orang-orang tidak akan tahu apa yang terjadi di dalam sana.

Warga pun mengerti, dan mempersilahkan kami lewat, namun harus berhati-hati dan mengambil bagian sisi kiri jalan. Tanpa pikir panjang, saya gas kencang. Teman saya, Rozi cemas melihat motor saya dari belakang melaju dengan jalan yang berayun. Akhirnya kami dapat keluar dari sana.

Kami kemudian mencari lokasi yang cukup sinyal internet, yakni di rumah orangtua Rozi di Malalak Selatan. Di sanalah, ponsel kami mulai berdenting tanda masuknya pesan-pesan WhatsApp yang tertunda.

Saya terkejut, ternyata banjir bandang juga melanda kawasan Lubuk Minturun Padang yang membuat porak-poranda perumahan dan permukiman. Ah, hari yang mengerikan. Selepas mengirim foto, saya putuskan untuk kembali ke Padang. Malalak masih saja hujan hingga saya tinggalkan.

Data terbaru dikeluarkan Agam Media Center, 11 warga di Nagari Malalak Timur ditemukan meninggal dunia akibat banjir bandang, sedangkan 4 orang lagi masih dalam pencarian.

Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: Lima jam mencekam di Malalak Timur


Editor: Antara Sumbar
COPYRIGHT © ANTARA 2025

Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.