Jakarta, (Antara) - Jatuhnya meteor di Chelyabinsk, Rusia Tengah memiliki kemiripan dengan peristiwa serupa di perairan Bone, Sulsel, 8 Oktober 2009, yang ditandai bola api dan jejak kabut tebal di langit disertai suara ledakan dan kaca rumah bergetar. "Namun analisis data 'ultrasound' menyimpulkan yang jatuh di Rusia berukuran sekitar 17 meter, sedangkan di Bone sekitar 10 meter. Jadi, dampaknya tidak sebesar di Rusia. Selain itu, asteroid Bone jatuhnya jauh di perairan Bone," kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) Prof Dr Thomas Djamaluddin di Jakarta, Senin. Jatuhnya asteroid di Chelyabinsk, Rusia pada 15 Februari 2013 diakuinya, mencederai lebih dari 1.000 orang, namun bukan disebabkan kejatuhan puing-puing meteor, tetapi gelombang kejut yang merusakkan bangunan di kota itu. Asteroid di Rusia seukuran rumah itu masuk ke atmosfer bumi dengan kecepatan sekitar 20 km/detik atau sekitar 70.000 km/jam dan tampak sebagai bola api ketika masuk ke atmosfer padat di ketinggian 120 km yang kemudian disertai dengan jejak kabut tebal, ujarnya. Ketika ketinggian sekitar 30-20 km, dengan kecepatan yang berkurang namun masih lebih cepat dari kecepatan suara (kecepatan supersonik), meteor (asteroid yang masuk ke atmosfer bumi) itu menimbulkan efek gelombang kejut dan suara ledakan (sonic boom), ujarnya. Asteroid juga mengalami pemanasan dan pengereman oleh atmosfer berdampak pada pecahnya asteroid, namun tidak menghujani warga, dan hanya beberapa keping yang melesat mencapai permukaan bumi, antara lain yang jatuh di danau beku dan membuat lubang besar di lapisan es. "Gelombang kejutlah yang merusakkan banyak bangunan dan memecahkan kaca-kacanya dan mencederai lebih dari 1.000 orang, termasuk suara ledakan keras akibat gelombang itu. Jadi bukan disebabkan oleh tumbukan ke bumi atau pecahnya asteroid," katanya. Dikatakannya, asteroid kecil seperti di Bone atau Rusia sangat sulit terdeteksi karena hanya tampak seperti bintang yang sangat redup, walau pun diamati oleh teleskop canggih dalam program patroli antariksa pencarian objek-objek dekat bumi. "Karena redupnya, kalau pun terdeteksi biasanya jaraknya sudah sangat dekat dengan bumi, sehingga tidak mungkin lagi dilakukan antisipasi. Lagi pula belum ada teknologi untuk menghadang asteroid yang kecepatannya sekitar 70.000 km/jam," katanya. Satu-satunya meteor yang terekam teleskop pemantau asteroid hanya asteroid 2008 TC3 yang jatuh di Sudan 19 jam sejak ditemukan dan ditaksir berukuran kecil, sekitar 6 meter. (*/sun)

Pewarta : 22
Editor :
Copyright © ANTARA 2024