Gapki Usulkan Revisi Permentan 98/2013

id Gapki Usulkan Revisi Permentan 98/2013

Jakarta, (Antara) - Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia mengusulkan kepada pemerintah untuk merevisi Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Ketua Umum Gapki Joefly Bachroeny di Jakarta, Rabu mengatakan, usulan revisi tersebut khususnya pada pembatasan luasan lahan perkebunan kelapa sawit yang ditetapkan maksimum 100 ribu hektar. "Akibat ketentuan ini beberapa perusahaan besar sulit melakukan ekspansi areal perkebunan sawit," katanya ketika menyampaikan Refleksi Industri Kelapa Sawit 2013 dan Prospek 2014. Menurut dia, pembatasan luasan maksimum terhadap areal perkebunan sawit tersebut dikuatirkan justru akan mengganggu pencapaian target produksi minyak sawit mentah (CPO) sebanyak 40 juta ton pada 2020 yang ditetapkan pemerintah. Sementara itu Sekjen Gapki, Djoko Supriyono mengatakan, dasar pembatasan luasan maksimum tersebut sebenarnya tidak kuat. "Dari evaluasi kami, itu tak ada dasarnya membatasi sepertinya direvisi saja," katanya. Menanggapi dasar terbitnya Permentan 98/2013 itu untuk keadilan bagi petani sawit atau perkebunan plasma, Djoko mengatakan, pihaknya sangat mendukung upaya pemerintah dalam mengembangkan plasma, termasuk kewajiban perusahaan inti menyediakan 20 persen areal perkebunannya untuk petani plasma. Namun demikian, lanjutnya, jika perusahaan besar tidak diizinkan melakukan ekspansi areal dengan sendirinya juga sulit mengembangkan petani plasma. "Kalau perkebunan sawit besar itu tidak ekspansi maka yang membantu plasma tidak ada, sehingga Permentan 98 akan kontraproduktif. Satu pihak mendorong plasma, kalau tidak ada ekspansi siapa yang membantu," katanya. Oleh karena itu, tambahnya, revisi terhadap Permentan 98/2013 perlu dilaksanakan supa tidak menghambat industri sawit di dalam negeri. Selain mengusulkan revisi Permentan 98/2013, pada kesempatan tersebut Gapki juga meminta kepada pemerintah untuk menyelesaikan persoalan kepastian hukum yang menyangkut tata ruang. Sampai saat ini, menurut Djoko Supriyono, sebagian besar propinsi produsen utama sawit belum memiliki rencana tata ruang wilayah provinsi yang tuntas dan disahkan, sehingga para pengusaha tidak memiliki kepastian hukum dalam berusaha. "Kepastian hukum tentang tata ruang mutlak dibutuhkan agar rencana usaha dapat dilakukan dengan baik dan berkelanjutan. Gapki berharap agar soal RTRWP bisa diselesaikan secepat mungkin," katanya. (*/jno)