Adukan nasib ke Dishub Pasbar, masyarakat Koto Sawah pertanyakan larangan kendaraan tronton membawa TBS
Simpang Empat (ANTARA) - Puluhan masyarakat Koto Sawah Kecamatan Lembah Melintang Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat mendatangi Dinas Perhubungan setempat mempertanyakan kebijakan adanya pelarangan tonase kendaraan tronton pembawa tandan buah segar sawit (TBS) di atas 8 ton di daerah itu, Kamis.
Salah seorang petani kelapa sawit Rajamudin di Simpang Empat, Kamis, mengatakan kebijakan melarang kendaraan lebih dari 8 ton atau kendaraan tronton membawa TBS mengakibatkan kerugian bagi petani.
"Saat ini kendaraan yang bisa membawa TBS hanya diperbolehkan kendaraan dump truck di bawah 8 ton mengakibatkan harga kelapa sawit turun Rp150 per kilogramnya karena biaya bertambah," katanya.
Apalagi, masyarakat disana pada umumnya adalah petani kelapa sawit. Ada tiga nagari atau desa yang terdampak akibat pelarangan tronton itu yakni Nagari Ranah Koto Tinggi Kecamatan Koto Balingka, Nagari Koto Sawah dan Nagari Koto Gunung Kecamatan Lembah Melintang.
Menurutnya ada sekitar 350-400 ton per hari hasil TBS yang keluar dari daerah itu. Jika hanya menggunakan dump truck maka masyarakat mengalami kerugian sekitar Rp60 juta per harinya.
"Kami masyarakat sangat berharap pelarangan kendaraan tronton di atas 8 ton agar ditinjau ulang karena menyangkut dengan masyarakat," harapnya.
Kalau persoalan kerusakan jalan masyarakat menilai akan lebih merusak kalau menggunakan kendaraan dump truck. Sebab jika menggunakan tronton hanya lima unit perhari. Sedangkan dump truck bisa 40 sampai 50 kali per hari membawa TBS.
Padahal, katanya, beberapa waktu lalu sudah ada kesepakatan untuk trayek tronton dengan waktu operasional pukul 22.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB.
Keputusan itu berdasarkan hasil kesepakatan masyarakat, forum komunikasi pimpinan kecamatan dan pihak terkait lainnya. Namun entah apa sebabnya beberapa hari ini tronton tidak boleh lagi beroperasi membawa TBS.
"Kami berharap tronton bisa kembali beroperasi membawa TBS. Kami juga akan menyurati DPRD Pasaman Barat karena saat hearing terkait itu pihak masyarakat dan pengusaha tidak diikutsertakan," katanya.
Sementara itu Sekretaris Dinas Perhubungan Sukarni didampingi Kepala Bidang DLLAJ Berhat Nanang Kesuma mengatakan pihaknya telah menerima aspirasi masyarakat dari Koto Sawah terkait persoalan larangan angkutan.
Menurutnya secara aturan kelas jalan di daerah itu memang jenis jalan K1 atau kelas tiga yang memang kapasitas kendaraan yang bisa melalui jalan itu bertonase maksimal 8 ton.
Pemasangan rambu-rambu maksimal 8 ton itu sudah sesuai aturan dan setelah hearing dengan DPRD beberapa waktu lalu.
"Pemasangan rambu-rambu itu juga kami berlakukan di daerah lain tidak hanya di jalan Koto Sawah," ujarnya.
Namun, dengan adanya keluhan masyarakat terkait hal itu maka pihaknya memberikan saran atau solusi kepada masyarakat untuk kembali bermusyawarah agar jalan itu bisa dilalui kendaraan tronton.
"Jika memeng nanti ada kesepakatan maka akan kembali di tinjau ulang karena menyangkut ekonomi masyarakat," katanya.
Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) terkait persoalan kapasitas jalan itu.
"Kalau persoalan kelas jalan tentu DPUPR yang punya kewenangan. Artinya tetap taat aturan namun tentunya tidak merugikan masyarakat," sebutnya. ***3***
Salah seorang petani kelapa sawit Rajamudin di Simpang Empat, Kamis, mengatakan kebijakan melarang kendaraan lebih dari 8 ton atau kendaraan tronton membawa TBS mengakibatkan kerugian bagi petani.
"Saat ini kendaraan yang bisa membawa TBS hanya diperbolehkan kendaraan dump truck di bawah 8 ton mengakibatkan harga kelapa sawit turun Rp150 per kilogramnya karena biaya bertambah," katanya.
Apalagi, masyarakat disana pada umumnya adalah petani kelapa sawit. Ada tiga nagari atau desa yang terdampak akibat pelarangan tronton itu yakni Nagari Ranah Koto Tinggi Kecamatan Koto Balingka, Nagari Koto Sawah dan Nagari Koto Gunung Kecamatan Lembah Melintang.
Menurutnya ada sekitar 350-400 ton per hari hasil TBS yang keluar dari daerah itu. Jika hanya menggunakan dump truck maka masyarakat mengalami kerugian sekitar Rp60 juta per harinya.
"Kami masyarakat sangat berharap pelarangan kendaraan tronton di atas 8 ton agar ditinjau ulang karena menyangkut dengan masyarakat," harapnya.
Kalau persoalan kerusakan jalan masyarakat menilai akan lebih merusak kalau menggunakan kendaraan dump truck. Sebab jika menggunakan tronton hanya lima unit perhari. Sedangkan dump truck bisa 40 sampai 50 kali per hari membawa TBS.
Padahal, katanya, beberapa waktu lalu sudah ada kesepakatan untuk trayek tronton dengan waktu operasional pukul 22.00 WIB sampai pukul 05.00 WIB.
Keputusan itu berdasarkan hasil kesepakatan masyarakat, forum komunikasi pimpinan kecamatan dan pihak terkait lainnya. Namun entah apa sebabnya beberapa hari ini tronton tidak boleh lagi beroperasi membawa TBS.
"Kami berharap tronton bisa kembali beroperasi membawa TBS. Kami juga akan menyurati DPRD Pasaman Barat karena saat hearing terkait itu pihak masyarakat dan pengusaha tidak diikutsertakan," katanya.
Sementara itu Sekretaris Dinas Perhubungan Sukarni didampingi Kepala Bidang DLLAJ Berhat Nanang Kesuma mengatakan pihaknya telah menerima aspirasi masyarakat dari Koto Sawah terkait persoalan larangan angkutan.
Menurutnya secara aturan kelas jalan di daerah itu memang jenis jalan K1 atau kelas tiga yang memang kapasitas kendaraan yang bisa melalui jalan itu bertonase maksimal 8 ton.
Pemasangan rambu-rambu maksimal 8 ton itu sudah sesuai aturan dan setelah hearing dengan DPRD beberapa waktu lalu.
"Pemasangan rambu-rambu itu juga kami berlakukan di daerah lain tidak hanya di jalan Koto Sawah," ujarnya.
Namun, dengan adanya keluhan masyarakat terkait hal itu maka pihaknya memberikan saran atau solusi kepada masyarakat untuk kembali bermusyawarah agar jalan itu bisa dilalui kendaraan tronton.
"Jika memeng nanti ada kesepakatan maka akan kembali di tinjau ulang karena menyangkut ekonomi masyarakat," katanya.
Pihaknya juga telah berkoordinasi dengan Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) terkait persoalan kapasitas jalan itu.
"Kalau persoalan kelas jalan tentu DPUPR yang punya kewenangan. Artinya tetap taat aturan namun tentunya tidak merugikan masyarakat," sebutnya. ***3***