Puasa Ramadhan dan pengendalian nafsu korupsi

id Berita sumbar,Berita padang

Puasa Ramadhan dan pengendalian nafsu korupsi

Imaam Yakhsyallah Mansur

Jakarta (ANTARA) - Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Ayat yang terletak setelah rangkaian ayat tentang syariat puasa Ramadhan, menurut Imam As-Sa'di, ayat tersebut memberi pesan akan keharaman memakan harta orang lain dengan jalan yang tidak benar, baik dengan mencuri, merampas, menipu, berlaku curang ataupun pemalsuan.

Termasuk dalam kategori merampas dengan cara sembunyi-sembunyi adalah korupsi. Selain itu menurutnya, suap (risywah) yang dibayarkan kepada hakim agar memberikan putusan yang tidak sesuai dengan kebenaran juga merupakan salah satu tindakan korupsi.

Selama sebulan penuh, Ramadhan mendidik kita melalui ibadah puasa. Inti dari ibadah puasa adalah melatih manusia untuk mengendalikan dirinya dari segala godaan hawa nafsu.

Puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan minum, melakukan hubungan sah suami istri, dan lainnya pada waktu yang ditentukan, tapi juga menghindarkan diri dari sikap dan perbuatan yang dapat merusak nilai puasa itu sendiri.

Menurut Guru Besar psikologi dan pakar pengendalian diri (self control), Dr Roy Baumeister menyatakan, sejumlah penelitian menunjukan kontrol diri yang kuat juga membantu seseorang hidup lebih lama.

Sementara pakar psikolog Islam, Dr. Zakiah Daradjat mengatakan, salah satu ciri seseorang yang mentalnya sehat adalah ia mampu mengendalikan diri dan menahan hawa nafsunya.

Sebagai makhluk yang dikaruniai akal dan nafsu, pengendalikan diri dari perbuatan maksiat serta merugikan orang lain, merupakan modal terpenting dalam mengarungi kehidupan dunia ini.

Jika manusia tidak mampu mengendalikan diri, maka ia akan sangat rentan tergelincir ke dalam jurang dosa yang membawa dirinya ke lembah kesengsaraan dan kenistaan. Ibarat mobil, jika nafsu adalah gasnya, maka remnya adalah pengendalian diri.

Pengendalian diri tersebut akan membentuk manusia memiliki mentalitas (akhlak) yang mulia, berupa kejujuran dan kesetiaan pada amanah yang diembannya.

Masalah korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan praktik-praktik ketidakjujuran yang terjadi di negeri ini, penyebab utamanya adalah hilangnya kemampuan pengendalian diri dari para pemegang amanah.

Islam membagi istilah korupsi dalam beberapa poin, yakni risywah (suap), saraqah (pencurian), al-gasysy (penipuan atau pengkhianatan). Ketiga hal tersebut adalah perbuatan tercela dan yang melakukannya akan mendapatkan dosa besar.

Dalam aspek organisasi, penyebab korupsi bisa terjadi karena beberapa hal, seperti kurang adanya keteladan kepemimpinan, tidak adanya kultur organisasi yang benar, kurang memadainya sistem akuntabilitas yang benar, serta kelemahan sistim pengendalian manajemen dan lemahnya pengawasan.

Sedangkan dalam aspek personal, sifat tamak (rakus), merasa selalu kurang dengan apa yang telah dimilikinya, hasrat untuk menambah harta serta kekayaannya menjadi motif paling banyak terjadinya praktik korupsi.

Seseorang yang tidak memiliki moral yang kuat tentunya juga akan mudah tergoda melakukan perbuatan korupsi. Moral merupakan tonggak bagi ketahanan diri seseorang dalam kehidupannya.

Bila seseorang memang sudah tidak memiliki moral yang kuat, atau kurang konsisten memegang amanah, maka ia akan sangat mudah terpengaruh dengan keadaan, ajakan ataupun ancama dari orang lain.

Sementara dari faktor eksternal, gaya hidup konsumtif menjadi salah satu penyebab praktik korupsi. Bila seseorang memiliki gaya hidup yang konsumtif dan pendapatannya lebih kecil dari konsumsinya tersebut, maka hal ini akan menjadi penyebab korupsi.

Jadi, pelajaran yang diberikan oleh Ramadhan memiliki relevansi kuat terhadap pemberantasan korupsi di negeri kita. Puasa yang menumbuhkan semangat pengendalian diri dan solidaritas kemanusiaan berupa kepedulian untuk membantu wong cilik melalui syariat zakat, infaq dan sedekah.

Platform Ramadhan sangat gamblang, yaitu membentuk pribadi bertakwa sebagai puncak kesadaran akal budi, yang mampu ‘menghadirkan Allah’ dalam setiap aktifitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Jika saja seseorang bisa menghadirkan ‘kesadaran ketuhanan’ dalam dirinya, maka tidak ada lagi korupsi, penyelewengan anggaran, suap dan lain sebagainya yang membuat kerugian negara dan masyarakat.

Sebagai penutup, sebuah hadits Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa salam layak untuk kita renungkan bersama:

“Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan terbebas dari tiga perkara, yaitu kesombongan (takabur), ghulul (korupsi) dan hutang (dain), maka ia (dijamin) masuk surga. (HR Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah).

*Penulis Imaam Yakhsyallah Mansur adalah Pembina Jaringan Ponpes Al-Fatah, Indonesia.