Prof Bustanuddin Agus Sosiolog Islam di tengah arus melawan sekularisasi ilmu pengetahuan

id bustanuddin agus, berita padang, berita sumbar

Prof Bustanuddin Agus Sosiolog Islam di tengah arus melawan sekularisasi ilmu pengetahuan

Peluncuran Buku Bustanuddin Berkayuh Biduk Melawan Arus di Padang, Selasa (9/3) (Antara/Ikhwan Wahyudi)

Padang (ANTARA) - Selasa 9 Maret 2021 dalam rangkaian webinar yang diselenggarakan Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas dilaksanakan peluncuran buku Prof Bustanuddin Agus (Rahimahullah: Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya) bertema “Berkayuh Biduk Melawan Arus” melalui Zoom.

Diceritakan tentang napak tilas rangkaian kehidupan Bustanuddin Agus (BA) muda hingga menjadi seorang sosiolog agama yang diakui oleh Institut Pertanian Bogor (IPB) pada masa itu. BA merupakan anak ke-2 dari 12 bersaudara yang dimasa kecil kehilangan seorang abang laki-laki dan 2 adik laki-lakinya, sehingga menjadi anak sulung setelah kehilangan ketiga saudaranya.

Ayah Bustanuddin merupakan seorang tukang bangunan yang bernama Agus Abbas Tuanku Bagindo y taat beragama. Dibalik itu, ayah BA memiliki prinsip hidup yang kuat yang menjadi prinsip hidup juga bagi anak-anaknya, dengan pesan “Besarkanlah anak-anak dengan uang yang halal”. Prinsip tersebut menjadi prinsip bersama yang selalu dipegang teguh oleh putra-putrinya , termasuk BA muda sendiri.

Di tahun 1970, BA muda sudah menjadi sarjana muda di Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol, Padang. Ditengah keterbatasan ekonomi, BA tidak ada kata menyerah bahkan putus asa dalam kamus hidupnya karena tidak memiliki biaya untuk melanjutkan kuliah.

Setahun ketika itu, BA segera memasuki berkas-berkas persyaratan untuk kuliah melanjutkan pendidikan di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Tidak butuh lama bagi BA akhirnya diterima di Fakultas Syari`ah, Kairo, Mesir. Dua tahun setelahnya, tepatnya 1973 BA berhasil memperoleh gelar Licence atau setara S1. Tidak puas dengan gelar yang diperoleh, BA segera menanyakan kepada dosen pembimbingnya untuk segera melanjutkan S2. Pembimbing beliau segera menyambut baik dan mengamini ucapan BA tersebut.

Akhirnya, BA mengambil jurusan Ushul Fiqih Fakultas Syari`ah, Kairo, Mesir. Dan, ditahun 1975 BA muda berhasil meraih gelar Magister Ushul Fiqih. Uniknya, setelah wisuda S2, ia ditawari untuk melanjutkan pendidikan S3 namun beliau lebih memilih pulang ke tanah air demi alasan keluarga dan rindu tanah air. Sebelumnya pulang ke tanah air, ada satu kebiasaan BA muda yang menjadi momen yang tidak akan terlupakan bagi keluarga besar BA ketika itu, yaitu, pernah mengirim oleh-oleh ke Indonesia melalui jamaah haji yang tinggal sekampung dengan mengirim beberapa koper besar.

Keluarga yang datang melihat koper-koper tersebut, bertanya-tanya, apa isinya kira-kira? Pertanyaan salah seorang keluarga. Dalam asumsi keluarga, BA yang sudah sarjana akan membawa sekantong uang atau oleh-oleh permadani dari Timur Tengah. Setelah dibuka, tanpa disangka-sangka keluarga, ternyata berisi tumpukan buku-buku yang banyak jumlahnya sehingga para keluarga merasa kaget dan senang ketika itu.

Dari sini, telah tampak bahwa BA merupakan seorang intelektual yang rakus buku-buku bacaan, khususnya bukuyang menyangkut keislaman dan ilmu pengetahuan. Bahkan sebelum pulang ke Indonesia sudah produktif dari. BA telah melahirkan ratusan karya berupa jurnal, tulisan, artikel dan buku. Menurut Dr. Zaiyardam Zubir, M.Hum Sejarawan Unand BA adalah “orang yang “langka”. Tidak banyak Professor seperti beliau, hanya hitungan jari saja jumlahnya di Unand ketika itu.

Karya pertama BA dan populer ketika itu berjudul Al-Islam terbit 1993, dari buku ini ia membahas bagaimana gempuran pemikiran-pemikiran sekuler-barat telah menyelinap ke ruang-ruang akademik kampus. Dari situ, ia menjelaskan bahwa sekularisasi sangat bertentangan ajaran islam. Islam sebagai sebuah agama tidak boleh disatukan oleh pemikiran-pemikiran sekuler yang hanya berorientasi pada materi semata. Tapi, Islam sebagai agama lebih dari itu bahwa Islam mengajarkan untuk tidak berpikiran materialistis atau menganggap dunia hanya sebagai sarana untuk memenuhi hawa nafsu semata.

Beberapa tahun setelahnya, tahun 1993, BA berhasil menyandang gelar Doktor sebagai Doktor Ilmu Agama Islam pada IAIN Jakarta (Sekarang UIN Syarif Hidayatullah) atas beasiswa kerjasama Program Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah dengan Universitas Indonesia. Saat itu, Doktor BA pernah berucap ”Ilmu pengetahuan yang bermanfaat akan mendatangkan manfaat sedangkan ilmu pengetahuan yang salah akan mendatangkan laknat”.

Sebagai cendekiawan muslim, BA tidak saja aktif sebagai dosen di Universitas Andalas, tapi juga dosen di UIN Imam Bonjol, Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat (UMSB) dan dosen tamu didalam dan luar negeri lainnya. Disamping itu, ia juga mengemban sejumlah jabatan atau amanah diantaranya, komisi fatwa MUI Sumbar (2005), Ketua Majelis Tarjih Muhammadiyah Sumbar (1995), pengurus Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumbar (1997) dan Rektor UMSB tahun 2013.

Sebenarnya, dari perjalanan kisah hidup beliau mengapa beliau aktif disejumlah lembaga keagamaan, alasannya tidak lain bahwa ia memiliki hubungan dekat dengan Buya Hamka saat masih berkuliah di Mesir. Dibeberapa foto saat webinar berlangsung, terlihat BA sedang berfoto dengan Buya Hamka mengenakan setelan jas tahun 1976 saat Buya Hamka masih memegang jabatan sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia.

Akhirnya, sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa sebagai mahasiswa Prof Bustanuddin Agus yang pernah diajar langsung tahun 2015, walaupun kondisinya ketika itu sudah terbata-bata menyampaikan materi kuliah, dan ditambah menggunakan tongkat setiap berjalan disamping dipapah oleh anaknya ketika setiap masuk ke kelas mengajarkan mata kuliah Dasar-dasar Logika ketika itu.

Saya berpandangan bahwa bBA sebagai Sosiolog islam atau cendekiawan muslim telah menuntaskan amanah beliau sebagai Guru Besar Sosiologi Universitas Andalas yang konsenn dibidang Sosiologi Agama dalam menebas setiap arus pemikiran liberal, atheis, sosialis, dan sekularisme dalam ruang-ruang akademik anak didiknya menjadi islamisasi ilmu pengetahuan yang lebih humanis dan becita-rasa khas ketimuran atau ke-Indonesiaan.

BA berhasil menjaga tradisi nilai-nilai keislaman menjadi logis sehingga setiap mahasiswa yang pernah diajar beliau tahu sangat kesungguhan beliau dalam menbendung setiap pemikiran, ideologi dan arus barat yang tidak relevan dengan adat ketimuran Indonesia, khususnya di Sumatera Barat yang kuat nilai-nilai adat dan agama.

Semoga akan lahir bibit muda sosiolog Universitas Andalas yang akan menjadi penerus perjuangan beliau dalam meletakkan islam pada tempatnya sebagai bagian dari satu keilmuan yang dapat diterapkan ke dalam setiap model lapisan masyarakat Indonesia.

Penulis adalah Mahasiswa Magister Sosiologi UNAND