Mentalitas khas bangsa Jerman di balik lanjutnya lagi Bundesliga
Jakarta, (ANTARA) - Lampu hijau sudah menyala begitu Kanselir Angela Merkel menyampaikan maklumat kepada pers 6 Mei lalu di Berlin bahwa "Pertandingan (olah raga) akan diizinkan di bawah aturan-aturan yang telah disepakati."
Sehari kemudian Asosiasi Sepak Bola Jerman (DBF) menyatakan 16 Mei 2020 sebagai awal mulai bergulirnya lagi musim kompetisi 2019-2020 yang terhenti karena pandemi virus corona.
Selain memupus kabar kelam sepekan sebelumnya ketika Ligue 1 Prancis memutuskan untuk menyudahi musim yang sama, langkah Jerman yang membuat Bundesliga menjadi liga sepak bola terkemuka Eropa pertama yang meneruskan kompetisi ini seketika menyuntikkan semangat tidak cuma ke sesama liga sepak bola Eropa, tetapi juga dunia dan cabang olah raga lainnya.
"Ini kabar yang sangat baik bagi sepak bola Eropa, untuk kembali ke normal baru dan demi mengaktifkan kembali kehidupan ekonomi dan sosial yang penting ini," kata La Liga Spanyol, salah satu liga top Eropa lainnya.
Bundesliga merupakan satu-satunya dari lima liga sepak bola top Eropa yang sejak awal percaya diri menuntaskan kompetisi yang terhenti, padahal Jerman dan Prancis adalah paling telat menghentikan kompetisi.
Serie A Italia menghentikan kompetisi pada 9 Maret, disusul La Liga pada 12 Maret. Sehari kemudian Liga Premier Inggris mengikuti mereka pada 13 Maret. Ketiga negara ini, dan juga Prancis, adalah zona-zona merah membara COVID-19 di Eropa.
Bundesliga baru menyatakan menghentikan kompetisi sebulan setelah itu pada 24 April, bersamaan dengan Ligue 1.
Bundesliga menjadi 'yang paling telat datang ke acara tetapi juga yang paling cepat meninggalkan acara' ketika Merkel mempersilakan berlanjutnya lagi kompetisi musim ini yang menyisakan sembilan pertandingan lagi di mana Bayern Muenchen memuncaki klasemen dengan selisih empat poin dari Borussia Dortmund.
Mengingat Jerman baru mau mencabut larangan berkerumun pada 31 Agustus, maka sembilan laga tersisa itu akan dimainkan di stadion-stadion tanpa penonton sampai selesai sebelum 30 Juni.
"Laga tanpa penonton itu bukanlah solusi ideal bagi siapapun. Meskipun begitu, dalam suasana krisis yang mengancam eksistensi beberapa klub, maka ini adalah satu-satu caranya untuk mempertahankan liga ini pada bentuknya saat ini," kata Kepala Eksekutif DBF Christian Seifert.
Meskipun sudah ditetapkan 16 Mei sebagai mulainya lagi kompetisi tertunda dengan derbi Ruhr antara Dortmund dan Schalke menjadi partai pembuka, masih ada kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang bisa membuyarkan semua ekspektasi positif.
Taruhlah ulah striker Hertha Berlin Salomon Kalou yang kedapatan melanggar social distancing karena bersalaman dengan rekan-rekannya saat latihan. Dia sudah diskors dan sudah minta maaf. Kedua, saat sepuluh kasus positif COVID-19 ditemukan dari gelombang pertama tes COVID-19 yang meliputi 1.724 tes.
Namun tindakan tegas otoritas sepak bola Jerman terhadap citra-citra negatif itu membuat kekhawatiran itu tidak membesar.
Lalu, ada lagi suara-suara yang mengkhawatirkan bakal nekat berkumpulnya para penggemar di luar stadion ketika klub kesayangan mereka bertanding di dalam stadion-stadion yang senyap. Dan ini pun ditepis kelompok pendukung fanatiknya yang di Eropa yang biasa disebut "ultra".
Menganalisis semua hal
Semua elemen kompak, dari politisi dan birokrat sampai penyelenggara liga, dari atlet dan ofisial sampai penggemar. Semua seiring ingin menuntaskan segala sesuatu hal yang sudah dirancangkan yang ternyata bagian dari mentalitas khas bangsa Jerman.
Belgia, Belanda dan Prancis boleh menyerah, tapi sejak awal Jerman tak mau begitu, lebih mirip Jepang yang sempat ngotot tak mau memundurkan jadwal Olimpiade Tokyo.
Kepatuhan Jerman kepada agenda dan pantang bubar di tengah jalan itu salah satunya dikupas oleh Live Science dalam salah satu edisinya pada 2018, "Bangsa Jerman itu efisien, pekerja keras, dan tekun, serta menekannya pada pentingnya memastikan 'kereta datang tepat waktu'. Waktu dikelola secermat mungkin, dan kalender, jadwal serta agenda haruslah dihormati."
Tapi mereka tak mau jadwal dipatuhi hanya dengan berharap, melainkan dengan kerja keras dan logika yang salah satunya terekspos ketika mereka memerangi pandemi.
Tak seperti tetangga-tetangganya, Jerman melakukan segalanya dengan terukur, terorganisasi dan menolak hingar bingar, tapi mereka pula yang dianggap yang berhasil meredam pandemi di Eropa.
Jerman juga menyelamatkan muka demokrasi liberal Barat di era pandemi ketika negara-negara otoriter mencatat kesuksesan melalui pendekatan-pendekatan tangan besi dan acap menolak keragaman pendapat yang sulit ditiru negara demokrasi liberal.
"Corona telah dikendalikan," kata pemimpin negara bagian Bavaria Markus Soder saat mencabut sejumlah aturan lockdown di negara bagian Jerman yang paling parah dihantam COVID-19 itu.
Menurut Institut Robert Koch, sampai Rabu 6 Mei lalu, ada 164.807 kasus COVID-19 terkonfirmasi di Jerman dengan 137.000 sembuh dan 6.996 meninggal dunia.
Angka itu jauh lebih rendah ketimbang Italia, Spanyol, Prancis, dan Inggris yang masuk lima negara terparah di dunia, bersama Amerika Serikat. Dan empat negara di Eropa itu juga tempatnya empat dari lima liga sepak bola top Eropa.
Jerman berhasil tanpa menempuh langkah-langkah super-keras seperti Korea Selatan dan apalagi negara otoriter seperti China, karena seperti tim sepak bola mereka, Jerman mengandalkan determinasi dan kesabaran dalam menganalisis kekuatan diri dan lawan untuk dipakai balik menghantam lawan.
"Kami siap karena kami bukan negara pertama di Eropa yang terdampak dan kami melihat serta menganalisis perkembangan di mana-mana," kata duta besar Jerman untuk Amerika Serikat Emily Haber yang ditanya pers AS soal rahasia Jerman meredam COVID-19.
Haber menunjuk sejumlah faktor kunci yang membuat Jerman diuntungkan, yakni tes massal di mana-mana, berkah memiliki penduduk mayoritas usia muda yang lebih tahan dari serangan virus corona, hikmah memiliki fasilitas kesehatan yang ekstensif, dan cadangan alat kelengkapan medis yang melimpah.
Seperti timnas Jerman pada Piala Dunia yang lambat start namun pandai menyerap kekuatan lawan untuk dipakai menusuk lawan, ini pula yang terjadi saat Jerman menjinakkan COVID-19. Determinasi, koordinasi, logika, dan teknik.
Jadi perhatian Eropa
Keempat hal itu tercermin dari langkah Jerman dalam menghambat COVID-19 yang inti responsnya selaras sekali dengan rekomendasi-rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia: bersiaplah, lakukan tes, dan mitigasi penyebaran virus.
Kebanyakan negara fokus kepada mitigasi dan menerapkan strategi jaga jarak fisik guna mengurangi penularan. Tetapi tanpa tes skala luas, sebuah negara tak akan tahu siapa yang terinfeksi, tak akan mampu memastikan isolasi, dan akhirnya tak akan mampu mengendalikan pandemi.
Jerman tidak seperti itu.
"Hampir tiga bulan sejak kasus-kasus positifnya, Jerman sudah menggelar lebih dari 1,3 juta tes dan penelusuran kontak yang menjadi sentral dari strateginya," ulas BuzzFeed News.
Dan jangan lupakan faktor pemimpin.
Seperti halnya saat timnas Jerman berjaya pada empat dari delapan final Piala Dunia yang diikutinya mulai era kapten Franz Beckenbauer sampai era kapten Philipp Lahm, di medan perang melawan pandemi Jerman memiliki pemimpin tangguh pada diri Angela Merkel yang disanjung dunia sebagai salah satu dari sedikit pemimpin yang paling efektif melawan pandemi.
Pers AS malah memanfaatkan ketokohan Merkel yang wanita ini untuk memojokkan Presiden Donald Trump yang tak punya strategi jelas dalam melawan pandemi dan acap menganggap rendah wanita.
"Mungkin kekuatan terbesar kami adalah pembuatan kebijakan yang rasional pada level tertinggi pemerintahan, ditambah kepercayaan rakyat kepada pemerintah," kata Hans-Georg Krausslich, kepala virologi University Hospital di Heidelberg kepada New York Times.
Merkel yang berlatar belakang pendidikan fisika yang membuatnya mendekati fenomena virologis yang sangat saintifik ini dengan paradigma sains, berhasil memimpin Jerman yang rasional dalam melawan musuh tak terlihat tetapi hanya sains yang paling tepat dan efektif dalam menjawabnya itu.
Dan kini, rasionalitas Merkel pula yang memberi lampu hijau kepada Bundelsiga guna menuntaskan kompetisi agar hidup masyarakat yang terkungkung pandemi ceria kembali oleh hadirnya lagi sepak bola.
"Sepak bola itu berarti bagi masyarakat. Manakala kami mulai lagi bermain pertengahan Mei ini maka akhir pekan pun akan lebih menentramkan semua orang," kata CEO Bayern Muenchen Karl-Heinz Rummenigge kepada Sky Sports.
Dan ketenteraman dan keceriaan itu pula membuat dunia ingin segera mengikuti Bundesliga. Dunia juga antusiastis mengikuti bagaimana di tengah pandemi yang masih dahsyat marajalela ini Jerman menuntaskan sebuah kompetisi olahraga yang paling banyak ditonton umat manusia ini.
Oleh karena itu, "mata Eropa dan seluruh dunia akan tertuju ke kami," kata kapten Jerman dan Bayern Muenchen Manuel Neuer. (*)
Sehari kemudian Asosiasi Sepak Bola Jerman (DBF) menyatakan 16 Mei 2020 sebagai awal mulai bergulirnya lagi musim kompetisi 2019-2020 yang terhenti karena pandemi virus corona.
Selain memupus kabar kelam sepekan sebelumnya ketika Ligue 1 Prancis memutuskan untuk menyudahi musim yang sama, langkah Jerman yang membuat Bundesliga menjadi liga sepak bola terkemuka Eropa pertama yang meneruskan kompetisi ini seketika menyuntikkan semangat tidak cuma ke sesama liga sepak bola Eropa, tetapi juga dunia dan cabang olah raga lainnya.
"Ini kabar yang sangat baik bagi sepak bola Eropa, untuk kembali ke normal baru dan demi mengaktifkan kembali kehidupan ekonomi dan sosial yang penting ini," kata La Liga Spanyol, salah satu liga top Eropa lainnya.
Bundesliga merupakan satu-satunya dari lima liga sepak bola top Eropa yang sejak awal percaya diri menuntaskan kompetisi yang terhenti, padahal Jerman dan Prancis adalah paling telat menghentikan kompetisi.
Serie A Italia menghentikan kompetisi pada 9 Maret, disusul La Liga pada 12 Maret. Sehari kemudian Liga Premier Inggris mengikuti mereka pada 13 Maret. Ketiga negara ini, dan juga Prancis, adalah zona-zona merah membara COVID-19 di Eropa.
Bundesliga baru menyatakan menghentikan kompetisi sebulan setelah itu pada 24 April, bersamaan dengan Ligue 1.
Bundesliga menjadi 'yang paling telat datang ke acara tetapi juga yang paling cepat meninggalkan acara' ketika Merkel mempersilakan berlanjutnya lagi kompetisi musim ini yang menyisakan sembilan pertandingan lagi di mana Bayern Muenchen memuncaki klasemen dengan selisih empat poin dari Borussia Dortmund.
Mengingat Jerman baru mau mencabut larangan berkerumun pada 31 Agustus, maka sembilan laga tersisa itu akan dimainkan di stadion-stadion tanpa penonton sampai selesai sebelum 30 Juni.
"Laga tanpa penonton itu bukanlah solusi ideal bagi siapapun. Meskipun begitu, dalam suasana krisis yang mengancam eksistensi beberapa klub, maka ini adalah satu-satu caranya untuk mempertahankan liga ini pada bentuknya saat ini," kata Kepala Eksekutif DBF Christian Seifert.
Meskipun sudah ditetapkan 16 Mei sebagai mulainya lagi kompetisi tertunda dengan derbi Ruhr antara Dortmund dan Schalke menjadi partai pembuka, masih ada kekhawatiran-kekhawatiran kecil yang bisa membuyarkan semua ekspektasi positif.
Taruhlah ulah striker Hertha Berlin Salomon Kalou yang kedapatan melanggar social distancing karena bersalaman dengan rekan-rekannya saat latihan. Dia sudah diskors dan sudah minta maaf. Kedua, saat sepuluh kasus positif COVID-19 ditemukan dari gelombang pertama tes COVID-19 yang meliputi 1.724 tes.
Namun tindakan tegas otoritas sepak bola Jerman terhadap citra-citra negatif itu membuat kekhawatiran itu tidak membesar.
Lalu, ada lagi suara-suara yang mengkhawatirkan bakal nekat berkumpulnya para penggemar di luar stadion ketika klub kesayangan mereka bertanding di dalam stadion-stadion yang senyap. Dan ini pun ditepis kelompok pendukung fanatiknya yang di Eropa yang biasa disebut "ultra".
Menganalisis semua hal
Semua elemen kompak, dari politisi dan birokrat sampai penyelenggara liga, dari atlet dan ofisial sampai penggemar. Semua seiring ingin menuntaskan segala sesuatu hal yang sudah dirancangkan yang ternyata bagian dari mentalitas khas bangsa Jerman.
Belgia, Belanda dan Prancis boleh menyerah, tapi sejak awal Jerman tak mau begitu, lebih mirip Jepang yang sempat ngotot tak mau memundurkan jadwal Olimpiade Tokyo.
Kepatuhan Jerman kepada agenda dan pantang bubar di tengah jalan itu salah satunya dikupas oleh Live Science dalam salah satu edisinya pada 2018, "Bangsa Jerman itu efisien, pekerja keras, dan tekun, serta menekannya pada pentingnya memastikan 'kereta datang tepat waktu'. Waktu dikelola secermat mungkin, dan kalender, jadwal serta agenda haruslah dihormati."
Tapi mereka tak mau jadwal dipatuhi hanya dengan berharap, melainkan dengan kerja keras dan logika yang salah satunya terekspos ketika mereka memerangi pandemi.
Tak seperti tetangga-tetangganya, Jerman melakukan segalanya dengan terukur, terorganisasi dan menolak hingar bingar, tapi mereka pula yang dianggap yang berhasil meredam pandemi di Eropa.
Jerman juga menyelamatkan muka demokrasi liberal Barat di era pandemi ketika negara-negara otoriter mencatat kesuksesan melalui pendekatan-pendekatan tangan besi dan acap menolak keragaman pendapat yang sulit ditiru negara demokrasi liberal.
"Corona telah dikendalikan," kata pemimpin negara bagian Bavaria Markus Soder saat mencabut sejumlah aturan lockdown di negara bagian Jerman yang paling parah dihantam COVID-19 itu.
Menurut Institut Robert Koch, sampai Rabu 6 Mei lalu, ada 164.807 kasus COVID-19 terkonfirmasi di Jerman dengan 137.000 sembuh dan 6.996 meninggal dunia.
Angka itu jauh lebih rendah ketimbang Italia, Spanyol, Prancis, dan Inggris yang masuk lima negara terparah di dunia, bersama Amerika Serikat. Dan empat negara di Eropa itu juga tempatnya empat dari lima liga sepak bola top Eropa.
Jerman berhasil tanpa menempuh langkah-langkah super-keras seperti Korea Selatan dan apalagi negara otoriter seperti China, karena seperti tim sepak bola mereka, Jerman mengandalkan determinasi dan kesabaran dalam menganalisis kekuatan diri dan lawan untuk dipakai balik menghantam lawan.
"Kami siap karena kami bukan negara pertama di Eropa yang terdampak dan kami melihat serta menganalisis perkembangan di mana-mana," kata duta besar Jerman untuk Amerika Serikat Emily Haber yang ditanya pers AS soal rahasia Jerman meredam COVID-19.
Haber menunjuk sejumlah faktor kunci yang membuat Jerman diuntungkan, yakni tes massal di mana-mana, berkah memiliki penduduk mayoritas usia muda yang lebih tahan dari serangan virus corona, hikmah memiliki fasilitas kesehatan yang ekstensif, dan cadangan alat kelengkapan medis yang melimpah.
Seperti timnas Jerman pada Piala Dunia yang lambat start namun pandai menyerap kekuatan lawan untuk dipakai menusuk lawan, ini pula yang terjadi saat Jerman menjinakkan COVID-19. Determinasi, koordinasi, logika, dan teknik.
Jadi perhatian Eropa
Keempat hal itu tercermin dari langkah Jerman dalam menghambat COVID-19 yang inti responsnya selaras sekali dengan rekomendasi-rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia: bersiaplah, lakukan tes, dan mitigasi penyebaran virus.
Kebanyakan negara fokus kepada mitigasi dan menerapkan strategi jaga jarak fisik guna mengurangi penularan. Tetapi tanpa tes skala luas, sebuah negara tak akan tahu siapa yang terinfeksi, tak akan mampu memastikan isolasi, dan akhirnya tak akan mampu mengendalikan pandemi.
Jerman tidak seperti itu.
"Hampir tiga bulan sejak kasus-kasus positifnya, Jerman sudah menggelar lebih dari 1,3 juta tes dan penelusuran kontak yang menjadi sentral dari strateginya," ulas BuzzFeed News.
Dan jangan lupakan faktor pemimpin.
Seperti halnya saat timnas Jerman berjaya pada empat dari delapan final Piala Dunia yang diikutinya mulai era kapten Franz Beckenbauer sampai era kapten Philipp Lahm, di medan perang melawan pandemi Jerman memiliki pemimpin tangguh pada diri Angela Merkel yang disanjung dunia sebagai salah satu dari sedikit pemimpin yang paling efektif melawan pandemi.
Pers AS malah memanfaatkan ketokohan Merkel yang wanita ini untuk memojokkan Presiden Donald Trump yang tak punya strategi jelas dalam melawan pandemi dan acap menganggap rendah wanita.
"Mungkin kekuatan terbesar kami adalah pembuatan kebijakan yang rasional pada level tertinggi pemerintahan, ditambah kepercayaan rakyat kepada pemerintah," kata Hans-Georg Krausslich, kepala virologi University Hospital di Heidelberg kepada New York Times.
Merkel yang berlatar belakang pendidikan fisika yang membuatnya mendekati fenomena virologis yang sangat saintifik ini dengan paradigma sains, berhasil memimpin Jerman yang rasional dalam melawan musuh tak terlihat tetapi hanya sains yang paling tepat dan efektif dalam menjawabnya itu.
Dan kini, rasionalitas Merkel pula yang memberi lampu hijau kepada Bundelsiga guna menuntaskan kompetisi agar hidup masyarakat yang terkungkung pandemi ceria kembali oleh hadirnya lagi sepak bola.
"Sepak bola itu berarti bagi masyarakat. Manakala kami mulai lagi bermain pertengahan Mei ini maka akhir pekan pun akan lebih menentramkan semua orang," kata CEO Bayern Muenchen Karl-Heinz Rummenigge kepada Sky Sports.
Dan ketenteraman dan keceriaan itu pula membuat dunia ingin segera mengikuti Bundesliga. Dunia juga antusiastis mengikuti bagaimana di tengah pandemi yang masih dahsyat marajalela ini Jerman menuntaskan sebuah kompetisi olahraga yang paling banyak ditonton umat manusia ini.
Oleh karena itu, "mata Eropa dan seluruh dunia akan tertuju ke kami," kata kapten Jerman dan Bayern Muenchen Manuel Neuer. (*)