Jakarta, (ANTARA) - Ekonom lembaga kajian Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Deniey A Purwanto menyarankan agar pemerintah Indonesia mengambil pelajaran dari kasus Jerman dalam upaya mendorong industri nasional memenuhi kebutuhan alat-alat kesehatan (alkes) seperti alat pelindung diri, rapid test kit dan ventilator dalam rangka menghadapi pandemi Covid-19.
"Diperlukan kebijakan-kebijakan terobosan yakni bagaimana pemerintah bisa mengalihfungsikan sementara industri nasional misalnya industri konveksi untuk memenuhi kebutuhan alat pelindung diri atau APD yang sangat dibutuhkan saat ini di Indonesia," ujar Deniey dalam seminar daring bertajuk "Kebijakan Penanganan COVID-19: Belajar dari Jerman dan Amerika Serikat" di Jakarta, Kamis malam.
Selain itu dalam paparannya, dia juga menyampaikan bahwa pemerintah Indonesia perlu melakukan realokasi sumber daya untuk meningkatkan kapasitas nasional guna menanggulangi dan mengantisipasi penyebaran COVID-19 lebih lanjut.
Promosi secara masif dan agresif, menurut Deniey, mengenai proteksi diri terutama dari terjangkit COVID-19 perlu dilakukan. Di samping itu perang melawan COVID-19 juga harus dilakukan bersama-sama dan terkoordinasi mulai dari pemerintah pusat, daerah sampai ke tingkat keluarga.
"Bagaimana bisa Jerman dengan kasus positif COVID-19 yang cukup tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, bisa menekan kasus kematian sedemikian rendah. Terdapat beberapa faktor yang setidaknya kita bisa jelaskan dari fenomena ini yang dapat dipelajari oleh negara-negara lainnya dalam menangani pandemi COVID-19," kata ekonom tersebut.
Faktor pertama yakni begitu seriusnya pemerintah Jerman dan pelaksana kesehatan terkait untuk melakukan gerakan testing, tracking, dan treatment atau 3T, contohnya di Kota Heidelberg tenaga medisnya dengan menggunakan mobil berkeliling kota lalu melakukan tes di jalan-jalan dalam rangka melacak penyebaran virus COVID-19.
"Faktor selanjutnya yakni ketersediaan alat-alat pelayanan kesehatan yang cukup memadai," ujar Deniey.
Menurut dia, kebutuhan alat pelindung diri dan kesehatan yang memadai tersebut tidak terlepas dari langkah Jerman mencuri start sebelum terjadinya kasus pertama pada 27 Februari di mana Jerman sudah mengantisipasi dengan mengembangkan alat-alat kesehatan,
APD dan test kit untuk menguji apakah pasien itu terjangkit COVID-19 atau tidak, dan industri Jerman telah memproduksi secara massal alat-alat tersebut. Hal Ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah Jerman yang sudah bisa melakukan tes SWAB hingga 500 ribu orang per pekan.
"Yang bisa dilakukan oleh Indonesia saat ini adalah bagaimana mengoptimalkan pelayanan kesehatannya. Jadi kalau saya melihat di Indonesia saat ini sudah mulai membicarakan dampak ekonominya tapi saya berharap belajar dari apa yang terjadi di Jerman kita dalam periode-periode awal lebih memfokuskan pada gerakan 3T," ujar Deniey.
Deniey juga menyarankan agar Indonesia untuk sementara dalam kondisi krisis seperti sekarang menggunakan dulu APD dan alat-alat kesehatan yang telah tersedia, apakah itu diimpor dari luar negeri dan sebagainya yang terpenting harus ada dulu saat ini dan fokus pada penanganan pandemi COVID-19.
Sebelumnya Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-Alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Randy H Teguh mengatakan industri alat kesehatan bisa meningkatkan produksi alat pelindung diri (APD) bagi tenaga kesehatan asalkan mendapatkan bantuan dari industri tekstil.
Randy meyakini peningkatan produksi APD seperti coverall atau baju hazmat yang memenuhi standar keselamatan dan keamanan tenaga medis dapat ditingkatkan melalui kerja sama industri alat kesehatan dengan industri tekstil nonalkes. (*)