Semarang (ANTARA) - Demo bukanlah satu-satunya cara menyelesaikan pelbagai masalah bangsa. Jika emosi massa sulit dikendalikan, timbul kericuhan yang berujung korban jiwa, seperti demo pada bulan September lalu.
Kericuhan kemungkinan kecil terjadi bila berada di koridor hukum. Segala penyampaian unek-unek, termasuk tuntutan pembatalan revisi UU KPK, sepanjang mematuhi peraturan perundang-undangan, sah-sah saja.
Seperti diwartakan sejumlah media, mahasiswa akan melakukan unjuk rasa besar-besaran pada hari Kamis, 17 Oktober 2019, atau bertepatan dengan jadwal pemberlakuan Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (revisi UU KPK).
Mereka akan meminta Presiden RI Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Perppu KPK). Ada pula yang mendesak Presiden menetapkan Perppu Penangguhan atas Pemberlakuan UU KPK.
Presiden memang berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Namun, sebelumnya harus memenuhi syarat sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945 Pasal 22 Ayat (1). Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Apakah sekarang ini dalam keadaan yang genting sehingga Presiden perlu menetapkan Perppu KPK atau perppu penangguhan revisi UU KPK? Penafsiran "hal ihwal kegentingan yang memaksa" bergantung pada subjektivitas Presiden.
Jika merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, sublema "kegentingan" bermakna: keadaan yang genting; krisis; kemelut. Namun, itu semua berada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI yang akan menilainya.
Di dalam UUD NRI Tahun 1945 pada Pasal 22 Ayat (2) disebutkan bahwa peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut.
DPR RI periode 2019-2024 yang diketuai Puan Maharani yang akan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap perppu. Dalam posisi ini, DPR RI hanya ada dua pilihan: menerima atau menolak perppu. Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah itu harus dicabut (vide UUD NRI Tahun 1945 Pasal 22 Ayat 3).
JR ke MK
Sebelumnya, DPR RI periode 2014-2019 bersama Pemerintah pada tanggal 17 September 2019 menyetujui pengesahan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang-Undang.
Atas pengesahan tersebut, sebagian mahasiswa dan elemen masyarakat menolak karena mereka beranggapan revisi UU KPK itu bakal melemahkan KPK dalam rangka penegakan hukum tindak pidana korupsi.
Namun, tidak semua mahasiswa bersikap sama terhadap revisi UU KPK. Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, misalnya, sebelum bersikap mengadakan Seminar Kenegaraan Pro dan Kontra Quo Vadis UU KPK: "Perppu atau Judicial Review?" di Yogyakarta, Minggu (13/10).
Mereka mengundang sejumlah pakar hukum sebagai narasumber, yakni Guru Besar Hukum Universitas Borobudur Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H., Guru Besar Hukum Tata Negara UII Prof. Dr. Ni'matul Huda, S.H., M.Hum., dan Guru Besar Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia Dr. Suparji Ahmad, S.H. Panitia seminar juga mengundang tenaga ahli utama Kantor Staf Presidenan (KSP) Ifdhal Kasim, S.H., M.H. dan Penasihat KPK periode 2013-2015 Suwarsono Muhammad, M.A.
Prof. Faisal Santiago sebagai narasumber melihat bahwa Presiden RI Joko Widodo tidak perlu mengeluarkan Perppu KPK. Hal ini menjadi pencerahan bagi mahasiswa dalam pengambilan keputusan menuntut perppu atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam seminar itu, pilihannya adalah mengajukan uji materi revisi UU KPK ke MK. Hal ini lebih baik daripada meminta Presiden untuk menetapkan perppu. Apalagi, dengan cara turun ke jalan.
Namun, revisi UU KPK baru bisa diujimaterikan ke MK setelah UU KPK itu terdapat di dalam Lembaran Negara.
Selanjutnya, Mahkamah Konstitusi yang akan memutuskan apakah pasal-pasal dalam revisi UU KPK bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 atau tidak.
Oleh karena itu, calon pemohon uji materi mulai sekarang menginventarisasi pasal mana saja yang mereka anggap bermasalah. Misalnya, menyangkut independensi KPK terkait dengan pegawai KPK yang masuk kategori aparatur sipil negara (ASN), keberadaan Dewan Pengawas, dan hal lain yang mereka nilai bermasalah.
Legislative Review
Sebagian di antara mereka yang menolak revisi UU KPK ada yang berpendapat pembatalan undang-undang itu melalui legislative review. Dalam hal ini, Presiden maupun DPR RI bisa mengajukan usulan rancangan undang-undang (RUU) tersebut.
Jika RUU dari Presiden, sebagaimana ketentuan Pasal 50 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Apabila DPR menggunakan hak inisiatifnya, usulan RUU tentang Perubahan UU KPK dari DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden (vide Pasal 49 UU No. 12/2011).
Mengubah suatu undang-undang melalui DPR (legislative review) merupakan salah satu cara untuk mengakomodasi tuntutan elemen masyarakat yang keberatan atas revisi UU KPK.
Dengan demikian, banyak cara untuk menganulir pasal-pasal kontroversial daripada turun ke jalan, baik melalui peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu KPK maupun Perppu Penangguhan atas Pemberlakuan UU KPK), judicial review ke MK, maupun melalui DPR periode 2019-2024.
Jika legislative review menjadi pilihan, sebaiknya DPR RI bersama Pemerintah melibatkan semua pihak yang terkait, termasuk KPK, sebelum membahas RUU KPK yang baru. Jangan sampai di kemudian hari menimbulkan pro dan kontra berkepanjangan di tengah masyarakat yang bakal mengganggu roda pemerintahan.
Memang tidak semua peraturan perundang-undangan memuaskan semua pihak. Namun, setidaknya dengan sosialisasi draf RUU kepada publik, meminimalkan tingkat konflik sosial. Kalau perlu, masih berupa naskah akademik sudah menjadi wacana publik.