Jakarta (ANTARA) - Festival Pamalayu yang digelar oleh Pemerintah Kabupaten Dharmasraya bekerja sama dengan sejumlah lembaga, resmi diluncurkan di Museum Nasional, Jakarta, Kamis (22/8).
Peluncuran festival tersebut ditandai dengan makan sirih bersama pejabat pemerintah dan pimpinan adat. Yakni, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, Bupati Dharmasraya Sutan Riska Tuanku Kerajaan, Wakil Bupati H. Amrizal Dt Rajo Medan bersama raja-raja di Kabupaten Dharmasraya.
Selain Sutan Riska yang juga Raja Koto Besar, ikut dalam prosesi tersebut Raja Siguntur Sutan Hendri Tuanku Bagindo Ratu, Raja Pulau Punjung H. Abdul Haris Tuanku Sati serta Raja Padang Laweh Sutan Alif Tuanku Bagindo Sutan Muhammad.
Dalam sambutannya, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, gagasan Pemerintah Kabupaten menggelar Festival Pamalayu berkontribusi kepada Indonesia sebagai sebuah bangsa.
Bupati Sutan Riska dalam sambutannya mengatakan, ide festival Pamalayu berangkat dari sejarah Ekspedisi Pamalayu pada 22 Agustus 1286. Untuk memperingati peristiwa tersebut, maka peluncuran dilakukan pada tanggal yang sama.
"Ekspedisi Pamalayu dilakukan oleh Kerajaan Singasari di Pulau Jawa menuju Kerajaan Malayu di Dharmasraya, yang disebut-sebut sebagai negeri emas," katanya.
Dalam narasi resmi yang beredar, menurut Sutan Riska, ekspedisi ini disebutkan sebagai upaya penakhlukan Singasari atas Dharmasraya.
"Kami sebagai generasi muda merasa ada yang aneh dengan istilah penakhlukan tersebut," kata bupati termuda di Indonesia tersebut.Kalau memang penakhlukan, ia mempertanyakan, mungkinkah mereka membawa hadiah Arca Amogapasha untuk Raja Malayu Dharmasraya?
"Sementara, Arca Amogapasha adalah perlambang kasih sayang. Kalau memang penakhlukan, mungkinkah Singasari membawa dua putri raja Dharmasraya, Dara Petak dan Dara Jingga yang kemudian menjadi istri Raja di Pulau Jawa?" ujarnya.
Sutan Riska berharap ahli dan sejarawan bisa meluruskan hal-hal yang dirasa janggal tersebut dalam seminar yang digelar tepat setelah peluncuran festival.
Selain itu, menurutnya, festival Pamalayu diharapkan menjadi pintu menjemput nilai-nilai kebaikan di masa lalu.
"Menurut pandangan kami, di masa lalu bangsa kita mempunyai peradaban tinggi yang selaras dengan alam. Manusia menjaga alam dengan baik dan alam melindungi manusia," katanya.
Sementara, saat ini, menurut Sutan Riska, berbagai kerusakan alam terjadi. "Seolah kita lupa bahwa kehidupan ini akan dilanjutkan oleh generasi berikutnya."
Melalui Festival Pamalayu, Pemkab Dharmasraya menurutnya ingin menyemai benih baru. "Benih yang lama disimpan dalam peradaban nenek moyang kita, kemudian kita tawarkan untuk masa mendatang," ujarnya.Pemkab Dharmasraya bekerja sama dengan Tempo Media Grup dalam peluncuran festival dan seminar tersebuut. Sementara, untuk beberapa kegiatan lainnya bekerja sama dengan berbagai lembaga, antara lain Langgam Production.
Sejumlah lomba, kegiatan seni, olah raga, pameran dan pesta rakyat telah disiapkan hingga berakhir pada 7 Januari 2002 nanti, saat Dharmasraya memperingati ulang tahun kabupaten ke-16.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengapresiasi gagasan Dharmasraya lewat Festival Pamalayu. "Kita perlu melihat kembali peristiwa bersejarah dalam sejarah kita dengan cara pandang yang mungkin berbeda dari apa yang selama ini kita kenal," katanya
Ekpedisi dalam dalam historiografi dan penulisan sejarah Indonesia kita, menurut Hilmar, adalah istilah yang dipakai oleh orang Belanda ketika membicarakan ekspansi kekuasaan mereka di seluruh Nusantara. "Bukan serangan atau agresi, tapi ekspedisi militer."
Boleh jadi, katanya, ekspedisi Pamalayu dianggap penakhlukan karena bernama ekspedisi. "Biasa dalam histografi, kita akan berhadapan dengan soal-soal semacam ini."
Melihat kembali istilah-istilah yang kita gunakan secara cermat, menurutnya, penting dalam penulisan sejarah.
Menurutnya, Ditjen Kebudayaan memikirkan, untuk menulis kembali sejarah nasional. Hal tersebut agar tidak dilupakan generasi saat ini. "Ada kebutuhan yang cukup mendesak untuk memperbarui penulisan sejarah nasional kita. Melihat kembali hal-hal yang terjadi di masa lalu. Melihat istilah-istilah yang digunakan di masa lalu," tuturnya.
Acara peluncuran dilanjutkan dengan seminar yang dipandu Direktur Tempo.co Tomi Aryanto. Dalam seminar itu, Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Badan Penelitian Arkeologi Nasional menyebutkan, arca Amogapasha yang memahatkan nama Dharmasraya, menurutnya, menandakan nama itu sudah dikenal oleh Kertanegara sebelum itu.
"Ekspedisi Pamalayu terjadi karena Raja Singasari menganggap penting posisi Malayu - Dharmasraya. Dalam kedudukan untuk mencegah seranga Mongol," katanya.
Kertanegara, menurut Utomo, tidak melakukan pendudukan secara militer. "Tetapi menjalin persahabatan," tegasnya.
Dalam lapik arca Amogaphasa, ungkap Bambang, tertulis bahwa pengiriman arca Amogapasha membuat rakyat Dharmasraya gembira.
"Seluruh rakyat Malayu dari keempat kasta bersuka cita, terutama rajanya Srimat Tribhuwanaradja Mauliwarmmadewa," katanya, menyebut tulisan pada arca.
Di lapik arca juga tertulis lengkap, nama-nama petinggi Kerajaan Singosari yang ditugaskan membawa arca tersebut ke Dharmasraya. Mereka adalah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah Sugatabrahma, Samgat Payanan Harj Dipangkaradasa dan Rakryan Dmunj Pu Wira.
Wenri Wanhar, peneliti sejarah dari Perkumpulan Wangsamudra mengatakan, berbagai bukti tersebut menunjukkan bahwa ekspedisi tersebut memang digelar untuk persahabatan. Bukannya penakhlukan.
Selain arca, bukti kebesaran Kerajaan Dharmasraya, menurut Wenri tersimpan dalam naskah kuno Tanjung Tanah yang disimpan di Kerinci. "Setelah uji karbon, Uli Kozok menyebutkan usia naskah ini sudah lebih dari 600 tahun. Naskah ini adalah Kitab Niti Saramuscaya yang merupakan undang-undang yang berlaku zaman Kerajaan Dharmasraya berkuasa."
Yang memulai narasi 'penahkhlukan' tersebut menurut Wenri adalah Nicholas Johannes Krom. . "Kantornya di sini, di Museum Nasional yang dulunya bernama Bataviaasch Genootchaap, tempat berkumpulnya para ilmuwan kolonial."Krom adalah seorang arkeolog dan juga peneliti sejarah dan budaya Indonesia berkebangsaan Belanda. Pendapat Krom kemudian diikuti beberapa ilmuwan lainnya. Namun, beberapa literatur juga menyebut ahli lain yang membantahnya, seperti CC Berg dan Carparis.
Penjajahan Belanda, menurutnya, bukan saja oleh militer. "Mereka juga membawa antropolog, arkeolog, peneliti sejarah dan ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu," katanya.
Pendapat banyak ahli di zaman penjajahan Belanda tersebut, menurut Wenri, banyak yang tidak cocok dengan konteks orang Indonesia.
Ia menganalogikan dengan bunga bangkai yang disebutkan ditemukan pertama kali oleh Thomas Stanford Raffles sehingga bunga tersebut diberi nama Raflesia. "Kalau orang Eropa yang pertama melihat mungkin iya. Tapi kalau penemu, tentu tidak. Seperti tidak ada orang saja sebelum itu di negeri kita," tuturnya.
Begitu juga dalam penulisan sejarah Dharmasraya, menurut Wenri, banyak yang tak sesuai dengan arca Amogapasha sebagai bukti sejarah yang nyata.
Selain itu, dalam makalahnya Wenri menyebut, ilmu pengetahuan dipergunakan rezim kolonial untuk mengatur alam dan masyarakat kolonial secara sistematis, begitu pula yang terjadi pada Bataviaasch Genootschap."Ilmuwan Bataviaasch Genootschap dengan sadar selalu mencoba mencocokkan arah penelitiannya sesuai dengan kepentingan pemerintah kolonial.
Lucunya, sejak Republik ini merdeka, narasi yang diproduksi para ilmuwan kolonial tersebut terus direproduksi hingga hari ini."
Peluncuran festival dan seminar tersebut, dihadiri oleh ratusan orang. Selain pejabat Pemerintah Kabupaten Dharmasraya, hadir Forkompimda setempat, anggota DPR RI dan DPRD, pemerhati sejarah, jurnalis dan berbagai kalangan. (***)