Penetapan tiga kawasan di Sumatera Barat sebagai geopark nasional oleh Komite Nasional Geopark Indonesia awal Desember 2018, masing-masing Silokek, Sianok Maninjau dan Sawahlunto, menjadi angin segar bagi pariwisata daerah itu yang sedang menggeliat bangkit.
Geopark yang tidak hanya mengedepankan kawasan sebagai sebuah destinasi, tetapi sebuah kesatuan utuh dengan adat budaya yang hidup dalam keseharian masyarakat, dinilai sangat cocok dengan Sumbar yang identik dengan Minangkabau, budaya yang dominan di Sumatera bagian barat itu.
Budaya Minang relatif masih kental dalam keseharian masyarakat Sumbar, termasuk masyarakat yang berada di sekitar kawasan geopark. Serangkaian upacara adat seperti kenduri perkawinan, pengangkatan penghulu (Pimpinan kaum/suku) dan kegiatan adat lain masih bisa ditemui dengan mudah.
Uniknya, meski berada di bawah "payung" adat Minangkabau, tetapi masing-masing daerah memiliki keunikan tersendiri. Bahkan pada nagari (desa adat) berbeda dalam satu kabupaten, bisa saja ada perbedaan pelaksanaan prosesi adat dan varian pakaian adat yang digunakan.
Kekayaan budaya itu sejak dulu memang menjadi salah satu kekuatan wisata Ranah Minang, selain destinasi yang beragam dan lengkap. Namun harus diakui pengelolaannya masih terlalu lemah.
Keunikan geologis dan adat budaya itu jika dikelola dengan baik diyakini akan berpilin berkelindan dengan apik, saling menguatkan potensi yang ada dalam kawasan.
Pengelolaan itu erat kaitannya dengan Sumber Daya manusia (SDM) bidang pariwisata, terutama yang berada dalam tataran pengambil kebijakan.
Orang-orang yang berorientasi proyek tanpa memiliki pemahaman dan visi yang sejalan tentang pengembangan geopark akan menjadi "predator", penghambat, dan penghancur potensi geopark di daerahnya.
Penggiat pariwisata Sumbar Nofrin Napilus menilai banyak pemerintah daerah yang salah kaprah tentang geopark atau taman bumi sehingga pengembangannya menjadi terkendala.
Harus diakui dalam pengembangan destinasi termasuk geopark memang diperlukan dukungan infrastruktur. Jalan, fasilitas umum terutama toilet yang baik dan terawat harus tersedia. Namun, infrastruktur dukungan infrastruktur itu harus disesuaikan dengan konsep geopark yang ada. Tidak asal bangun yang malah bisa "merusak" kawasan.
Salah kaprah tentang infrastruktur tersebut malah telah terjadi sejak proses awal pengusulan geopark ke pusat.
Pemerintah daerah menyangka, pengusulan sebuah kawasan jadi geopark semua infrastruktur harus sudah siap sehingga perlu anggaran besar. Padahal, sebaliknya dengan ditetapkan jadi geopark, pemerintah pusat akan menggelontorkan anggaran untuk pengembangan.
Menurutnya jika tidak ada salah kaprah itu, sudah ada lebih banyak geopark di Sumbar saat ini, karena kawasan dengan potensi struktur geologi yang unik dan beragam disamping budaya yang tetap terjaga, sangat banyak di provinsi itu.
Ke depan untuk tiga daerah yang telah jadi geopark nasional, Nofrin mendorong pemerintah daerah untuk lebih memberdayakan masyarakat sekitar terutama dalam menjaga seni budaya agar menjadi satu kesatuan yang saling menguatkan dengan potensi struktur geologi yang ada.
Ia yakin tiga geopark itu nanti akan berkontribusi besar bagi pariwisata Sumbar karena berdasarkan survey, wisatawan yang datang pada satu daerah 65 persen adalah karena keunikan seni budaya. Hanya 30 persen yang disebabkan destinasi dan sisanya karena destinasi buatan.
Masih belum meratanya SDM bidang pariwisata di Sumbar termasuk di kabupaten dan kota diakui Kepala Bidang Pemasaran Dinas Pariwisata Sumbar Didit P Santoso.
Menurutnya tidak harus 19 kabupaten dan kota di Sumbar fokus pada pariwisata sebagai potensi utama daerah. Namun bagi daerah yang serius, harus benar-benar memiliki konsep dan kesamaan visi dalam pengembangannya.
Membangun sebuah lembaga dengan dukungan SDM mumpuni di bidang pariwisata adalah sebuah keniscayaan. Koordinasi antar daerah terutama untuk kawasan geopark yang melibatkan dua daerah seperti Sianok Maninjau (Agam dan Bukittinggi) harus terjalin baik, termasuk dengan provinsi.
"Untuk geopark ini, Pemprov Sumbar memang harus aktif agar pengembangan dan pengelolaannya bisa terlaksana dengan baik.
Salah satu ancaman dalam pengembangan kawasan geopark di Sumbar adalah makin maraknya destinasi wisata duplikasi di daerah itu.
Destinasi-destinasi kenamaan tidak hanya di Indonesia, tetapi di dunia diduplikasi untuk menarik wisatawan agar berkunjung.
Kampung eropa di Lembah Harau menjadi salah satu contohnya. Dalam jangka pendek, wisata jenis itu memang bisa menarik banyak peminat, tetapi terbatas pada wisatawan lokal.
Dalam jangka panjang, jenis wisata itu tidak akan mendapat perhatian, apalagi dari wisatawan mancanegara.
Lembah Harau yang menjadi salah satu potensi geopark di Sumbar "terancam" oleh jenis wisata tersebut. Tercerabut dari sifat alamiahnya.
Ke depan, konsep pengembangan pariwisata daerah harus benar-benar matang agar tidak hanya sekadar mencari keuntungan sesaat, tetapi rugi dalam jangka panjang.
Provinsi Sumbar memiliki banyak potensi geopark yang bisa dikembangkan masing-masing Goa Batu Kapal Solok Selatan, Danau Maninjau (Agam), Terusan Kamang Mudiak (Agam), Lembah Harau (Limapuluhkota), Danau Singkarak (Tanah Datar dan Solok), dan Danau Kembar (Solok). (*)