Harapan untuk kelestarian penyu dari pesisir Sumatera
Pada saat sekarang, siapa yang tidak kenal dengan penyu, salah satu spesies hewan laut yang dapat berusia puluhan dan bahkan ratusan tahun.
Akan tetapi belum semua masyarakat memahami bahwa salah satu jenis hewan purba ini masuk dalam kategori hewan yang dilindungi karena keberadaannya yang mulai langka.
Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab kenapa hewan satu ini berada diambang kepunahan, mulai dari ekploitasi oleh manusia hingga faktor alam.
Keberadaan penyu yang hampir punah tidak hanya menjadi persoalan lokal atau dalam negeri, akan tetapi sudah menjadi isu internasional, dimana penyu dikenal sebagai hewan penjelajah samudera.
Di Indonesia, perlindungan terhadap keberlangsungan hidup penyu diatur dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Adanya regulasi itu hendaknya dapat memberikan perlindungan terhadap hewan langka tersebut, sebab pada umumnya wilayah pesisir pantai di Indonesia merupakan kawasan yang sering dijadikan lokasi pendaratan oleh berbagai jenis penyu.
Selain itu, alasan pentingnya menjaga kelestarian penyu ialah karena dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia, enam diantaranya dapat ditemukan di perairan indonesia.
Enam spesies tersebut adalah penyu hijau (Chelonia Mydas), penyu pipih (Natattor Depressus), penyu belimbing (Dermochelys Coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta Caretta) dan penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea).
Upaya untuk melestarikan penyu tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah selaku pemangku kepentingan semata, akan tetapi keterlibatan masyarakat juga menjadi faktor penting dalam upaya tersebut.
Di wilayah pesisir pantai Sumatera, dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul kelompok-kelompok yang memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan hidup penyu.
Rasa prihatin terhadap maraknya pencurian telur serta pembantaian penyu untuk dikonsumsi menjadi salah satu alasan bagi para pegiat untuk melindungi penyu.
"Di daerah saya, masyarakat masih mengkonsumsi daging dan telur penyu dan bahkan daging dan telur tersebut juga diperjual belikan," ujar salah seorang pegiat konservasi penyu, Syahbudi Sikumbang.
Pria yang sehari-hari bergiat bersama kelompok Konservasi Pantai Binasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara tersebut menuturkan, hal itu kemudian membuatnya ingin menyelamatkan telur penyu agar tidak lagi dicuri dan dikonsumsi.
Sejak dulu di daerah tersebut merupakan lokasi pendaratan penyu, setelah penyu mendarat pada malam hari untuk bertelur, maka esok harinya ia akan menyaksikan telur serta penyu tersebut diperjualbelikan.
Berangkat dari hal itu, maka ia pun ikut ambil bagian untuk mengambil telur-telur tersebut. Bukan utuk diperjual belikan, melainkan untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman agar terlur itu dapat menetas.
Ketika pertama kali menyelamatkan telur penyu, pria yang akrab disapa Budi itu belum mengetahui bahwa penyu merupakan salah satu hewan langka yang keberadaannya dilindungi undang-undang.
Awal mula ia mengetahui bahwa penyu merupakan hewan yang dilindungi adalah ketika ia mengurus izin kelompok, tepatnya ketika bertemu dengan pejabat desa setempat.
Secara tidak langsung, ia menyebutkan tenyata pihaknya telah melakukan konservasi terhadap hewan tersebut.
Dianggap Gila
Keinginannya untuk melakukan konserasi terhadap penyu pada awalnya tidak begitu mendapat dukungan dari masyarakat dan bahkan mendapat cibiran dengan disebut sebagai orang gila.
"Pada awalnya saya malah disebut orang gila, karena menyelamatkan telur, ditetaskan dan kemudian dilepaskan," tuturnya.
Sembari tertawa kecil, pria berdarah Minang itu menceritakan, bukan tanpa alasan masyarakat tersebut menyebutnya gila, betapa tidak, setelah telur dikumpulkan hingga akhirnya dilepaskan dalam bentuk tukik, ia tidak mendapatkan keuntungan secara finansial.
Akan tetapi, lama kelamaan upayanya untuk melestarikan penyu mulai memperlihatkan hasil, selain dari adanya tukik yang dirilis ke laut, hal lainnya adalah berubahnya pola hidup masyarakat yang awalnya mengkonsumsi penyu dan malah berubah menjadi pegiat konservasi.
Hal tersebut diawalinya dengan memberikan pemahaman sekaligus mengajak masyarakat untuk menghentikan kebiasaan mengkonsumsi daging dan telur penyu.
Menurut Budi, saat ini ada sebuah daerah yang mana masyarakatnya sudah berubah 180 derajat, yang mana pada awalnya mereka adalah pengkonsumsi penyu, sekarang malah berbalik dan ikut melakukan konservasi.
Tidak hanya Budi, disebut sebagai orang gila karena melakukan konservasi terhadap penyu juga dialami oleh pegiat lain, salah satunya Pati Hariyose yang sehari-hari bergiat di kawasan Pantai Pasir Jambak, Kota Padang Sumatera Barat.
Telur-telur yang akan ditetaskan biasanya didapatkan langsung setelah penyu bertelur dan bahkan tidak jarang dia harus membeli telur penyu kepada para pemburu telur.
Bagaimana tidak disebut gila, Yose menuturkan untuk telur-telur yang dibeli tersebut ia harus mengeluarkan uang pribadi, setelah dibeli kemudian telur tersebut ditetaskan dan kemudian dilepaskan ke laut lepas, tanpa ada keuntungan ekonomi sama sekali.
Selain itu, untuk menutupi biaya sehari-hari serta untuk membeli telur, ia pernah menjual beberapa barang pribadi.
Maraknya pencurian terhadap telur penyu juga menjadi salah satu alasan bagi Haridman, pegiat konservasi penyu di kawasan Ampiang Parak Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar untuk melakukan konservasi.
Haridman yang bergerak bersama Kelompok Konservasi Laskar Pemuda Peduli Lingkungan itu menyebutkan di daerah tersebut pencurian terhadap telur penyu masih terjadi secara masif.
Menurut dia, hampir setiap malam di lokasi tempat penyu mendarat di kawasan tersebut selalu ada warga yang mencuri telur.
"Walaupun sudah diatur dalam undang-undang, akan tetapi pencurian terhadap telur penyu masih banyak dilakukan untuk diperjualbelikan," ujarnya.
Konservasi dan Kearifan Lokal
Berbeda dengan pegiat sebelumnya, pegiat lain, Murniadi yang bergiat di Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh menyebutkan bahwa di daerah itu sejak dahulu sebenarnya sudah upaya konservasi oleh masyarakat.
Akan tetapi lama kelamaan hal tersebut mulai terkikis, hal itu menurutnya mulai terlihat jelas terlihat semenjak daerah tersebut dilanda tsunami, masyarakat mulai menjarah telur penyu tanpa menyisakan sedikit pun.
"Kearifan lokal masyarakat dahulunya tidak mengambil seluruh telur, hanya sebagian, karena mereka tetap memikirkan keberlangsungan hidup penyu dan harus ada telur yang menetas," katanya.
Hal tersebutlah yang kemudian membuat pria yang kerap disapa Dedi Penyu itu bersama kelompok Aroen Mubanja mulai melakukan penyelamatan terhadap telur penyu.
Menurutnya, saat ini kearifan lokal yang dulu ada di tengah-tengah masyarakat itu mulai hilang yang disebabkan oleh banyak faktor. Akan tetapi pihaknya telah berkomitmen untuk terus berupaya menjaga kelestarian penyu.
Adanya masyarakat yang masih mengkonsumsi penyu tidak hanya ada di daerah Budi Sikumbang melakukan konservasi, akan tetapi juga ada di daerah Sumbar, tepatnya di daerah Kepulauan Mentawai.
Pegiat konservasi di daerah tersebut, Meriussoni Zai mengatakan hingga saat ini di daerah itu masih ada masyarakat yang mengkonsmsi daging penyu.
Zai yang menkonservasi penyu jenis belimbing (Dermochelys Coriacea) di Desa Betumonga Kecamatan Sipora Utara tersebut menuturkan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi penyu adalah tantangan tersendiri baginya.
Menurut dia, pihaknya harus semakin intensif dalam berjaga di sepanjang pantai, selain untuk mengawasi penyu yang mendarat, ia juga harus berjaga dari masyarakat yang diam-diam turun ke pantai untuk menangkap penyu.
Sekalipun demikian, sejak pertama kali melakukan konservasi pada tahun lalu, saat ini intensitas masyarakat yang mengkonsumsi penyu sudah mulai berkurang.
Selain karena terus memberikan pemahaman, saat ini juga sudah ada sebanyak enam orang masyarakat lokal yang ikut bergabung sebagai 'rangger' di lokasi konservasi tersebut.
Harapan untuk Kelestarian Penyu
Sekalipun dari berbagai daerah yang berbeda-beda, akan tetapi harapan dari para penggiat konservasi tersebut sama, yaitu kelestarian penyu untuk masa mendatang.
Budi Sikumbang menuturkan, sebelumnya anak-anak di kawasan tempat dia melakukan konservasi tidak ada yang mengenali tukik, karena belum ada telur yang dibiarkan menetas.
Murniadi yang bergiat di pantai barat Aceh mengharapkan agar tukik-tukik yang ia lepaskan dapat bertahan hidup sehingga generasi selanjutnya dapat menyaksikan sendiri hewan langka tersebut.
Selain itu, Meriussoni Zai mengatakan, ke depannya ia berharap kegiatan konservasi terhadap penyu belimbing yang ia lakukan dapat bergabung dengan komunitas penyu belimbing internasional, sehingga tidak hanya berdampak pada penyu, tapi juga masyarakat sekitar.
"Apalagi penyu belimbing merupakan spesies paling langka dibandingkan penyu lainnya," ujarnya.
Sementara itu Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, Suwardi menyebutkan, di wilayah sumatera setidaknya terdapat sebanyak lebih kurang 23 kelompok konservasi.
Ia menyebutkan, jumlah tersebut tersebar pada 7 provinsi yang menjadi wilayah kerja BPSPL.
Untuk pemberdayaan kelompok, Suwardi menjelaskan terdapat tiga tahap untuk pembentukan kelompok yang akan melakukan konservasi.
Tahap pertama pihaknya mengumpulkan informasi terkait potensi pendaratan penyu di seluruh pesisir pantai sumatera, dalam hal ini akan digali informasi terkait pemilik lahan tempat penyu mendarat serta melakukan sosialisasi dan mencari enumerator.
Setelah hal tersebut dilakukan, barulah masyarakat setempat didorong untuk membuat kelompok serta mengurus perizinan dan untuk tahap terakhir barulah pemberian bantuan.
"Bantuan yang diberikan tidak semata yang berkaitan dengan konservasi penyu, akan tetapi juga beberapa peralatan maupun fasilitas yang dapat menunjang perekonomian anggota kelompok tersebut," katanya. (*)
Akan tetapi belum semua masyarakat memahami bahwa salah satu jenis hewan purba ini masuk dalam kategori hewan yang dilindungi karena keberadaannya yang mulai langka.
Terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab kenapa hewan satu ini berada diambang kepunahan, mulai dari ekploitasi oleh manusia hingga faktor alam.
Keberadaan penyu yang hampir punah tidak hanya menjadi persoalan lokal atau dalam negeri, akan tetapi sudah menjadi isu internasional, dimana penyu dikenal sebagai hewan penjelajah samudera.
Di Indonesia, perlindungan terhadap keberlangsungan hidup penyu diatur dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Adanya regulasi itu hendaknya dapat memberikan perlindungan terhadap hewan langka tersebut, sebab pada umumnya wilayah pesisir pantai di Indonesia merupakan kawasan yang sering dijadikan lokasi pendaratan oleh berbagai jenis penyu.
Selain itu, alasan pentingnya menjaga kelestarian penyu ialah karena dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia, enam diantaranya dapat ditemukan di perairan indonesia.
Enam spesies tersebut adalah penyu hijau (Chelonia Mydas), penyu pipih (Natattor Depressus), penyu belimbing (Dermochelys Coriacea), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu tempayan (Caretta Caretta) dan penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea).
Upaya untuk melestarikan penyu tentu tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah selaku pemangku kepentingan semata, akan tetapi keterlibatan masyarakat juga menjadi faktor penting dalam upaya tersebut.
Di wilayah pesisir pantai Sumatera, dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul kelompok-kelompok yang memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan hidup penyu.
Rasa prihatin terhadap maraknya pencurian telur serta pembantaian penyu untuk dikonsumsi menjadi salah satu alasan bagi para pegiat untuk melindungi penyu.
"Di daerah saya, masyarakat masih mengkonsumsi daging dan telur penyu dan bahkan daging dan telur tersebut juga diperjual belikan," ujar salah seorang pegiat konservasi penyu, Syahbudi Sikumbang.
Pria yang sehari-hari bergiat bersama kelompok Konservasi Pantai Binasi Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara tersebut menuturkan, hal itu kemudian membuatnya ingin menyelamatkan telur penyu agar tidak lagi dicuri dan dikonsumsi.
Sejak dulu di daerah tersebut merupakan lokasi pendaratan penyu, setelah penyu mendarat pada malam hari untuk bertelur, maka esok harinya ia akan menyaksikan telur serta penyu tersebut diperjualbelikan.
Berangkat dari hal itu, maka ia pun ikut ambil bagian untuk mengambil telur-telur tersebut. Bukan utuk diperjual belikan, melainkan untuk direlokasi ke tempat yang lebih aman agar terlur itu dapat menetas.
Ketika pertama kali menyelamatkan telur penyu, pria yang akrab disapa Budi itu belum mengetahui bahwa penyu merupakan salah satu hewan langka yang keberadaannya dilindungi undang-undang.
Awal mula ia mengetahui bahwa penyu merupakan hewan yang dilindungi adalah ketika ia mengurus izin kelompok, tepatnya ketika bertemu dengan pejabat desa setempat.
Secara tidak langsung, ia menyebutkan tenyata pihaknya telah melakukan konservasi terhadap hewan tersebut.
Dianggap Gila
Keinginannya untuk melakukan konserasi terhadap penyu pada awalnya tidak begitu mendapat dukungan dari masyarakat dan bahkan mendapat cibiran dengan disebut sebagai orang gila.
"Pada awalnya saya malah disebut orang gila, karena menyelamatkan telur, ditetaskan dan kemudian dilepaskan," tuturnya.
Sembari tertawa kecil, pria berdarah Minang itu menceritakan, bukan tanpa alasan masyarakat tersebut menyebutnya gila, betapa tidak, setelah telur dikumpulkan hingga akhirnya dilepaskan dalam bentuk tukik, ia tidak mendapatkan keuntungan secara finansial.
Akan tetapi, lama kelamaan upayanya untuk melestarikan penyu mulai memperlihatkan hasil, selain dari adanya tukik yang dirilis ke laut, hal lainnya adalah berubahnya pola hidup masyarakat yang awalnya mengkonsumsi penyu dan malah berubah menjadi pegiat konservasi.
Hal tersebut diawalinya dengan memberikan pemahaman sekaligus mengajak masyarakat untuk menghentikan kebiasaan mengkonsumsi daging dan telur penyu.
Menurut Budi, saat ini ada sebuah daerah yang mana masyarakatnya sudah berubah 180 derajat, yang mana pada awalnya mereka adalah pengkonsumsi penyu, sekarang malah berbalik dan ikut melakukan konservasi.
Tidak hanya Budi, disebut sebagai orang gila karena melakukan konservasi terhadap penyu juga dialami oleh pegiat lain, salah satunya Pati Hariyose yang sehari-hari bergiat di kawasan Pantai Pasir Jambak, Kota Padang Sumatera Barat.
Telur-telur yang akan ditetaskan biasanya didapatkan langsung setelah penyu bertelur dan bahkan tidak jarang dia harus membeli telur penyu kepada para pemburu telur.
Bagaimana tidak disebut gila, Yose menuturkan untuk telur-telur yang dibeli tersebut ia harus mengeluarkan uang pribadi, setelah dibeli kemudian telur tersebut ditetaskan dan kemudian dilepaskan ke laut lepas, tanpa ada keuntungan ekonomi sama sekali.
Selain itu, untuk menutupi biaya sehari-hari serta untuk membeli telur, ia pernah menjual beberapa barang pribadi.
Maraknya pencurian terhadap telur penyu juga menjadi salah satu alasan bagi Haridman, pegiat konservasi penyu di kawasan Ampiang Parak Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar untuk melakukan konservasi.
Haridman yang bergerak bersama Kelompok Konservasi Laskar Pemuda Peduli Lingkungan itu menyebutkan di daerah tersebut pencurian terhadap telur penyu masih terjadi secara masif.
Menurut dia, hampir setiap malam di lokasi tempat penyu mendarat di kawasan tersebut selalu ada warga yang mencuri telur.
"Walaupun sudah diatur dalam undang-undang, akan tetapi pencurian terhadap telur penyu masih banyak dilakukan untuk diperjualbelikan," ujarnya.
Konservasi dan Kearifan Lokal
Berbeda dengan pegiat sebelumnya, pegiat lain, Murniadi yang bergiat di Kecamatan Panga, Kabupaten Aceh Jaya, Aceh menyebutkan bahwa di daerah itu sejak dahulu sebenarnya sudah upaya konservasi oleh masyarakat.
Akan tetapi lama kelamaan hal tersebut mulai terkikis, hal itu menurutnya mulai terlihat jelas terlihat semenjak daerah tersebut dilanda tsunami, masyarakat mulai menjarah telur penyu tanpa menyisakan sedikit pun.
"Kearifan lokal masyarakat dahulunya tidak mengambil seluruh telur, hanya sebagian, karena mereka tetap memikirkan keberlangsungan hidup penyu dan harus ada telur yang menetas," katanya.
Hal tersebutlah yang kemudian membuat pria yang kerap disapa Dedi Penyu itu bersama kelompok Aroen Mubanja mulai melakukan penyelamatan terhadap telur penyu.
Menurutnya, saat ini kearifan lokal yang dulu ada di tengah-tengah masyarakat itu mulai hilang yang disebabkan oleh banyak faktor. Akan tetapi pihaknya telah berkomitmen untuk terus berupaya menjaga kelestarian penyu.
Adanya masyarakat yang masih mengkonsumsi penyu tidak hanya ada di daerah Budi Sikumbang melakukan konservasi, akan tetapi juga ada di daerah Sumbar, tepatnya di daerah Kepulauan Mentawai.
Pegiat konservasi di daerah tersebut, Meriussoni Zai mengatakan hingga saat ini di daerah itu masih ada masyarakat yang mengkonsmsi daging penyu.
Zai yang menkonservasi penyu jenis belimbing (Dermochelys Coriacea) di Desa Betumonga Kecamatan Sipora Utara tersebut menuturkan kebiasaan masyarakat mengkonsumsi penyu adalah tantangan tersendiri baginya.
Menurut dia, pihaknya harus semakin intensif dalam berjaga di sepanjang pantai, selain untuk mengawasi penyu yang mendarat, ia juga harus berjaga dari masyarakat yang diam-diam turun ke pantai untuk menangkap penyu.
Sekalipun demikian, sejak pertama kali melakukan konservasi pada tahun lalu, saat ini intensitas masyarakat yang mengkonsumsi penyu sudah mulai berkurang.
Selain karena terus memberikan pemahaman, saat ini juga sudah ada sebanyak enam orang masyarakat lokal yang ikut bergabung sebagai 'rangger' di lokasi konservasi tersebut.
Harapan untuk Kelestarian Penyu
Sekalipun dari berbagai daerah yang berbeda-beda, akan tetapi harapan dari para penggiat konservasi tersebut sama, yaitu kelestarian penyu untuk masa mendatang.
Budi Sikumbang menuturkan, sebelumnya anak-anak di kawasan tempat dia melakukan konservasi tidak ada yang mengenali tukik, karena belum ada telur yang dibiarkan menetas.
Murniadi yang bergiat di pantai barat Aceh mengharapkan agar tukik-tukik yang ia lepaskan dapat bertahan hidup sehingga generasi selanjutnya dapat menyaksikan sendiri hewan langka tersebut.
Selain itu, Meriussoni Zai mengatakan, ke depannya ia berharap kegiatan konservasi terhadap penyu belimbing yang ia lakukan dapat bergabung dengan komunitas penyu belimbing internasional, sehingga tidak hanya berdampak pada penyu, tapi juga masyarakat sekitar.
"Apalagi penyu belimbing merupakan spesies paling langka dibandingkan penyu lainnya," ujarnya.
Sementara itu Kepala Seksi Pendayagunaan dan Pelestarian Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Padang, Suwardi menyebutkan, di wilayah sumatera setidaknya terdapat sebanyak lebih kurang 23 kelompok konservasi.
Ia menyebutkan, jumlah tersebut tersebar pada 7 provinsi yang menjadi wilayah kerja BPSPL.
Untuk pemberdayaan kelompok, Suwardi menjelaskan terdapat tiga tahap untuk pembentukan kelompok yang akan melakukan konservasi.
Tahap pertama pihaknya mengumpulkan informasi terkait potensi pendaratan penyu di seluruh pesisir pantai sumatera, dalam hal ini akan digali informasi terkait pemilik lahan tempat penyu mendarat serta melakukan sosialisasi dan mencari enumerator.
Setelah hal tersebut dilakukan, barulah masyarakat setempat didorong untuk membuat kelompok serta mengurus perizinan dan untuk tahap terakhir barulah pemberian bantuan.
"Bantuan yang diberikan tidak semata yang berkaitan dengan konservasi penyu, akan tetapi juga beberapa peralatan maupun fasilitas yang dapat menunjang perekonomian anggota kelompok tersebut," katanya. (*)