Jakarta, (Antaranews Sumbar) - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai target penerimaan pajak dalam RAPBN 2019 sebesar Rp1.572,4 triliun lebih realistis untuk dicapai.
"Target penerimaan pajak hanya naik 15,39 - 16,68 persen dari proyeksi kami atas realisasi penerimaan pajak pada APBN 2018, yakni 94,6-95,6 persen dari target tanpa melakukan perubahan APBN. Target ini lebih realistis melihat kemajuan reformasi perpajakan yang berjalan telah memberikan hasil positif bagi kinerja Ditjen Pajak," ujar Yustinus dalam keterangan resminya yang diterima Antara di Jakarta, Jumat.
Selain kinerja, lanjut Yustinus, reformasi perpajakan telah mendorong peningkatan kepatuhan pajak pasca amnesti, perbaikan kualitas pelayanan, pemeriksaan yang lebih kredibel dan adil, pemanfaatan informasi atau data keuangan dari Automatic Exchange of Information (AEoI) serta insentif yang lebih terukur dan tepat sasaran.
Menurut Yustinus, perlu fokus dan prioritas yang lebih baik agar harapan masyarakat akan sistem perpajakan yang lebih adil, transparan, dan akuntabel dapat segera tercapai.
Kepastian revisi UU Perpajakan seperti UU Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP), UU Pajak Penghasilan (PPh), dan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN), perlu disampaikan, termasuk penurunan tarif pajak, simplifikasi administrasi dan sengketa, transformasi kelembagaan menjadi badan semi-otonom, dan perlindungan hukum bagi fiskus.
Peranan penerimaan perpajakan dalam APBN juga semakin signifikan, yaitu naik dari 74 persen pada 2014 menjadi 83,1 persen pada 2019. Penerimaan perpajakan dipatok Rp1.781 triliun dengan rincian penerimaan pajak Rp1.572,4 triliun, penerimaan kepabeanan dan cukai Rp 208,6 triliun. Sedangkan penerimaan PNBP sebesar Rp361,1 triliun.
"Target penerimaan negara lain seperti cukai juga dipatok secara realistis. Jika dibandingkan dengan perkiraan 2018, kenaikan target penerimaan cukai naik sebesar 6,5 persen," ujar Yustinus.
Ia mengatakan, pemerintah tinggal konsisten menjalankan kebijakan eksisting seperti PMK-146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, agar hasilnya lebih optimal dan menjamin kepastian usaha.
Selain itu, kebijakan kepabeanan juga semakin menunjukkan keseimbangan peran, antara pengumpulan pendapatan (revenue collection) dan fasilitator perdagangan (trade facilitator), bantuan terhadap industri (industrial assistance), pelindung komunitas (community protector) melalui kemudahan layanan, simplifikasi administrasi, perbaikan 'dwelling time", optimalisasi Pusat Logistik Berikat, dan penerbitan importir berisiko tinggi.
"Lahirnya UU Penerimaan Negara Bukan Pajak yang baru juga akan berdampak signifikan untuk meningkatkan pendapatan negara karena adanya kepastian hukum, simplifikasi administrasi, transparansi pemungutan, dan akuntabilitas pengelolaan," ujar Yustinus. (*)