Kawasan Saribu Rumah Gadang salah satu kawasan unik di Sumatera Barat. Bayangkan, 175 rumah gadang dari 11 suku ada dalam satu wilayah dan aktivitas kehidupan masih berjalan di sana.
Artinya, kawasan ini bukan sekadar bangunan, melainkan masyarakat setempat masih menjalankan kesehariannya. Rumah gadang di sini masih berfungsi sebagai rumah kaum dan rumah adat, tempat upacara adat diselenggarakan.
Dari 175 rumah gadang, 135 masih berfungsi berpenghuni. Mereka berhimpitan dengan rumah penduduk biasa yang dibangun bersebelahan.
Di antara rumah biasa, rumah tradisional dengan atap yang bergonjong, berlekuk dengan tiga pasang ujung yang lancip menjulang ke langit, kontras dengan atap rumah biasa.
Indahnya, jika dalam kawasan itu, hanya terdapat rumah gadang saja. Langit kawasan itu dipenuhi dengan atap lancip menusuk langit khas rumah tradisional Minang. Namun, kebutuhan untuk bernaung dan berkembang biaknya anak dan keponakan menjadikan rumah gadang tidak cukup menampung anggota kaum.
Kondisinya seperti saat ini, di sela 175 rumah gadang dibangun rumah biasa untuk tempat bernaung anak keponakan, sanak famili.
Kondisi itu tidak mengurangi kekhasan Kawasan Saribu Rumah Gadang di Jorong Koto Baru, Nagari Muaralabuh, Kecamatan Sungai Pagu, Solok Selatan, 30 kilometer dari Padang Aro, ibu kota kabupaten atau 161 kilometer, 3,5 jam dari Padang, Ibu Kota Provinsi Sumatera Barat.
Puteri Proklamator
Saribu Rumah Gadang, semula nama itu dicetuskan oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta ketika berkunjung ke kawasan itu pada tahun 2008. Putri proklamator Indonesia Mohammad Athar (Bung Hatta) itu terkesan dengan banyaknya rumah tradisional Minang di Kabupaten Solok, khususnya di kawasan itu, lalu menyebutnya sebagai Nagari Saribu Rumah Gadang.
Kala itu, Solok Selatan baru empat tahun eksis sebagai kabupaten. Terkait langsung atau tidak, penamaan Nagari Saribu Rumah Gadang menjadikan kawasan itu terus menanjak populer.
Banyak pihak yang datang untuk melihat Kawasan Saribu Rumah Gadang. Sesungguhnya, rumah gadang tersebar merata di kawasan Sumatera Barat, bahkan terdapat rumah gadang di Negeri Sembilan, Malaysia.
Sesungguhnya diperlukan sejumlah persyaratan sebelum diizinkan mendirikan rumah gadang, di antaranya jika suatu kawasan sudah memiliki status sebagai nagari.
Atap rumah gadang, sangat khas, yakni melengkung ke langit menyerupai tanduk kerbau dan dahulu jurai atap terbuat dari ijuk. Semua bahan utama bangunan dari kayu dengan pasak-pasak pengikat juga dari kayu, tanpa paku.
Tiang utama dari pilar kayu besar yang didirikan di atas batu lebar, tidak ditanamkan ke dalam tanah. Fungsinya, jika terjadi gempa, sosok bangunan hanya bergoyang dan tidak rubuh.
Pada bagian dinding terdapat ukiran khas dengan motif bunga, akar, binatang atau aktivitas manusia. Di depan rumah gadang biasanya terdapat satu atau dua rangkiang, yakni pondok kecil untuk menyimpan padi dengan atap yang juga khas, yakni melengkung.
Jumlah kamar dalam rumah gadang disesuaikan dengan jumlah keluarga di dalamnnya, biasanya mengacu pada jumlah anak perempuan sebagaimana sistem keluarga di Minang yang mengacu pada ibu (matrilineal), sementara anak laki yang balig dan belum menikah tidur di surau.
Rumah Kuno
Rumah gadang di Kawasan Saribu Rumah Gadang relatif tua, sebut saja Rumah Gadang Gajah Maram yang dibangun tahun 1794 dengan warna kayu yang sudah memudar.
Rumah ini milik suku Melayu Buah Anau yang didirikan oleh Rapun Datuak Lelo Panjang dengan dua pintu masuk, sembilan ruang dan dua anjuang. Kini, rumah ditempati oleh generasi kelima pimpinan Datuak Azhar Datuak Lelo Panjang.
Rumah gadang Rajo Mulie didirikan pada tahun 1836 oleh Datuak Rajo Mulie juga dari suku Melayu. Direnovasi pada tahun 1937 dan selesai pada tahun 1939. Di rumah ini terdapat tongkat (tungkek) pengangkatan Rajo Bagindo Sutan Besar yang kerajaannya berada di Batang Labuah.
Rumah Gadang bentuk Serambi Aceh ini memiliki beragam ukiran, di antaranya itiak pulang patang (itik pulang sore), kucing tidua (kucing tidur), dan taluak paku (teluk paku, sejenis tanaman pakis). Rumah ini dihuni oleh generasi keempat yang sekaligus menjadikannya sebagai penginapan (home stay).
Terdapat 11 suku yang mendiami kawasan tersebut, yakni Sikumbang, Melayu, Bariang, Durian, Kampai, Panai, Tigo Lareh, Koto Kaciak, Panai, Chaniago, dan Koto Anyir. Setiap suku tersebut memiliki rumah gadang kaumnya.
Kini terdapat 10 penginapan di Kawasan Saribu Rumah Gadang dengan tarif beragam mulai dari Rp250 ribu per malam, wisatawan bisa merasakan sensasi tidur di rumah gadang yang berbentuk panggung dan menikmati makanan tradisional.
Bantuan Pemerintah
Memelihara rumah gadang tidak murah dan mudah karena sebagian besar berbahan kayu. Oleh karena itu, dibutuhkan biaya besar untuk menjaganya agar tetap menarik dan bersinar.
Mungkin karena itu pula terdapat 40 rumah gadang yang sudah tidak berpenghuni dan tak berfungsi.
Pemerintah mengulurkan tangan untuk merevitalisasi Kawasan Saribu Rumah Gadang pada tanggal 9 Februari 2018. Prasasti pencanangan revitalisasi itu terdapat di samping Rumah Gadang Gajah Maram yang ditandatangani Presiden RI Joko Widodo.
Permasalahan muncul ketika anggaran negara untuk memperbaiki fasilitas milik pribadi atau kaum, seperti rumah gadang.
Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Baru Jalaluddin Datuak Lelo Dirajo mengatakan bahwa pihaknya mendukung Kawasan Saribu Rumah Gadang menjadi cagar budaya.
Datuak dari Suku Sikumbang itu juga menghargai bantuan pemerintah untuk merevitalisasi kawasan tersebut karena untuk memelihara rumah gadang tidak mudah dan tidak murah.
Permasalahan muncul ketika pemerintah pusat mensyaratkan penyerahan sertifikat sebagai pemenuhan administrasi revitalisasi rumah gadang sebagai cagar budaya. Pertanyaan muncul, apakah rumah itu masih akan jadi milik kaum dan kerapatan adat jika hak kepemilikan berpindah?
KAN Koto Baru menginginkan tidak ada perpindahan kepemilikan dan ketentuan itu diperkuat oleh peraturan daerah, tak cukup hanya peraturan gubernur (pergub).
Lokasi Film
Siang itu, langit cerah, satu dua tumpuk awan tampak mewarnai langit nan biru. Surau Menara (abad 20) tampak menonjol diantara bangunan lainnya.
Tingginya sekitar 13 meter dengan dua jenjang menara teratas yang masih asli dan satu pengunjung bisa naik ke atas untuk melihat penuh Kawasan Saribu Rumah Gadang.
Kawasan ini, dengan segala keasliannya sudah mengundang para kreator untuk membuat film di sini, satu di antaranya Di Bawah Lindungan Kakbah yang diangkat dari novel karya Buya Hamka.
Kawasan ini butuh uluran tangan semua pihak untuk menjaga keasliannya, keunikan budaya, adat istiadat, dan bangunan di dalamnya. Uluran tangan itu hendaknya tanpa syarat yang memberatkan agar budaya terjaga, kelestarian jadi milik bersama dan ninik mamak tak gamang karenanya. (*)
Berita Terkait
Seribu rumah pada delapan nagari di Pesisir Selatan terdampak banjir
Senin, 2 Desember 2024 18:45 Wib
PKK Solok sosialisasikan gizi seimbang seribu hari pertama kehidupan
Selasa, 12 November 2024 5:58 Wib
Polisi kerahkan seribu lebih petugas gabungan amankan aksi buruh
Kamis, 31 Oktober 2024 10:54 Wib
Pembentangan bendera Merah Putih seribu meter di Karanganyar
Senin, 28 Oktober 2024 11:19 Wib
Baznas Sawahlunto salurkan zakat tahap III senilai 600 juta untuk seribu mustahiq
Rabu, 16 Oktober 2024 15:32 Wib
Pemkab Agam wajibkan 24 operator bersihkan seribu data Admindu
Jumat, 6 September 2024 16:16 Wib
Memakai baju putih, lebih seribu masyarakat antarkan Yulianto-M Ihpan daftar ke KPU ikuti pilkada
Selasa, 27 Agustus 2024 14:03 Wib
Dinas Pertanian: Seribu lebih ternak jadi hewan kurban di Bukittinggi
Sabtu, 15 Juni 2024 17:17 Wib