Dalam sebulan terakhir sejumlah pedagang di Sentral Pasar Raya Padang mengeluhkan sepi pembeli hingga minim omzet. Mulai dari pedagang pakaian, kaca mata hingga aksesoris merasakan lesunya pembeli sehingga masyarakat yang datang berbelanja ke salah satu plaza tersebut tak lagi ramai seperti biasa.
Meski pun pusat perbelanjaan modern yang ada di pusat kota itu lokasinya cukup strategis dan bangunannya juga masih terbilang baru tidak membuat lokasi itu menjadi salah satu pilihan belanja utama yang ramai didatangi.
Yuni salah seorang pedagang kaca mata mengakui penjualan tak seramai dulu lagi, hanya orang-orang yang benar-benar butuh kaca mata yang datang ke sini.
"Sepi sekarang kak, kalau dulu masih banyak pembeli, sekarang sudah susah," ujarnya mengeluh.
Usut punya usut ternyata maraknya penjualan secara daring atau online turut berkontribusi terhadap penurunan jumlah pembeli.
"Kini jika masyarakat ingin beli kaca mata tinggal cari di internet, modelnya banyak, harganya murah cuma Rp100 ribu," lanjut Yuni.
Kondisi itu membuat para pedagang yang memiliki toko kena imbas karena terjadi perubahan pola berbelanja konsumen dari langsung menjadi daring.
Salah seorang pengusaha kaos Firman mengatakan serbuan jual beli secara daring membuat dia harus memutar akal agar usahanya tak gulung tikar dan tetap bertahan.
Dia mengakui rugi hingga Rp100 juta, untuk sewa toko saja setahun Rp40 juta, lalu stok barang hingga Rp60 juta, tapi penjualan tak seberapa, barang menumpuk, sementara selera pasar cepat berubah.
Akhirnya ia mengubah strategi dengan tidak lagi menyewa toko dan cukup membuat contoh produk kemudian memajangnya di intenet jika ada pesanan tinggal cetak sehingga tak ada barang terbuang.
"Saya tidak perlu lagi menggaji pegawai toko, cukup desainer gambar saja, lalu bagian produksi, jauh lebih hemat," ujarnya.
Keluhan seperti itu ternyata juga dirasakan sektor pariwisata karena semua kebutuhan untuk berlibur kini bisa diakses dengan mudah oleh orang per orang secara daring.
Ketua Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata (Asita) Sumbar Ian Hanafiah mengungkapkan di Jawa Barat khususnya Bandung para pengelola biro perjalanan dan agen mulai sepi pesanan tiket hingga hotel.
Dia mengungkapkan, para turis asal Malaysia yang mau ke Bandung pesan tiket secara daring, kemudian tiba di bandara mau ke hotel juga naik transportasi daring, lalu hotel juga pesan online, agen tidak dapat apa-apa.
"Kemudian turis yang mau jalan-jalan juga mencari petunjuk serta akses menuju lokasi secara daring, ini benar-benar berdampak bagi biro wisata," lanjutnya.
Ia bersyukur di Sumbar hal itu belum terjadi karena jika wisatawan hendak berlibur ke Bukittinggi misalnya tetap membutuhkan mobil sewa.
Lain lagi kisah Faradika seorang mahasiswa asal Bukittinggi yang menikmati berjualan secara daring karena cukup bermodalkan akun media sosial instagram, facebook dan whatsap ia bisa melayani pembeli bahkan dari seluruh Indonesia.
"Lebih enak online, nggak perlu nyewa toko, lebih aman uangnya, apalagi sekarang ekspedisi juga banyak bisa jemput ke alamat lagi," katanya.
Ia melihat pembeli zaman sekarang juga suka instan dari pada ke pasar atau toko berbelanja lebih baik secara daring dan barang langsung sampai ke depan pintu rumah.
Evolusi Bisnis
Pada satu sisi kemajuan teknologi telah memudahkan banyak pihak untuk bisa menikmati beragam layanan mulai dari berbelanja, berwisata, hingga mengurus beragam izin dan surat secara mudah.
Sebaliknya para pedagang konvensional yang harus membuka toko kemudian menyediakan stok barang mulai kewalahan menghadapi gempuran pedagang daring
Praktisi bisnis yang juga menjabat Komisaris Garuda Indonesia Donny Oskaria melihat dunia usaha berubah begitu cepat sehingga kesempatan untuk berwirausaha jauh lebih besar dan lebih mudah.
"Tren ke depan kesempatan untuk membuka usaha lebih besar karena terjadi evolusi luar biasa cara berbisnis dari konvensional ke digital," kata dia.
Ia memberi contoh dulu untuk berdagang pakaian harus beli toko kemudian mengisi barang, namun hanya mampu diakses pembeli dengan area yang terbatas.
Sekarang untuk berbisnis pakaian cukup punya modal ratusan ribu, bikin lima sampel baju, foto kemudian masukan di internet seluruh dunia bisa membeli.
Selain itu jika dulu orang membayangkan perusahaan besar itu adalah memiliki pabrik besar dengan karyawan ribuan sekarang tidak berlaku lagi.
Kapitalisasi perusahaan besar General Elektrik sekarang bisa dikalahkan oleh usaha transportasi dalam jaringan yang tak pernah punya kendaraan satu pun, tetapi pasarnya jauh lebih besar karena mampu memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat.
Ia juga membandingkan perusahaan penyedia tiket pesawat Traveloka dengan total penjualan tiket per tahun Rp17 triliun dan baru saja ditawar seharga Rp26 triliun, namun tidak punya cabang dengan karyawan hanya 350 orang.
"Ini dunia masa depan, cara memenangkan persaingan adalah memahami kebutuhan konsumen dan perilakunya," ujar dia.
Ia melihat dalam memenangkan persaingan bisnis pada era digital kuncinya adalah terus melakukan inovasi.
Saat ini jumlah barang di pasar meningkat drastis sehingga ada banyak pilihan bagi konsumen, pemenangnya adalah pelaku usaha yang paling kreatif dan inovatif.
Menurut dia semakin pelaku usaha kreatif dan mengenal target pasar maka akan dapat memenangkan persaingan.
Ia memberi contoh dulu toko kerudung hanya sekitar 20, sekarang karena orang dapat berdagang melalui internet bisa mencapai 1.000 penjual menyebabkan produk lebih variatif dan kompetitif.
Oleh sebab itu pelaku usaha harus mampu berinovasi dan bersaing untuk memenangkan pasar.
Selain itu akibat banyaknya produk yang beredar di pasar kecenderungan terhadap tren suatu barang menjadi lebih pendek.
Dulu suatu barang bisa bertahan hingga enam bulan, sekarang dua bulan sudah berganti model terbaru.
Artinya kemajuan teknologi jika digunakan dengan tepat merupakan peluang besar bagi pelaku usaha, sebaliknya jika tidak melakukan inovasi alamat akan digilas persaingan usaha yang kian ketat. (*)