Kepala daerah terjerat korupsi salah siapa ?

id pilkada

Kepala daerah terjerat korupsi salah siapa ?

Ilustrasi - Pilkada (ANTARA SUMBAR/Laras Robert) (ANTARA SUMBAR/Laras Robert/)

Padang, (Antaranews Sumbar) - Dibandingkan empat provinsi tetangga Sumatera Barat termasuk beruntung karena belum ada kepala daerahnya yang dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi.

Di Sumatera Utara secara berturut-turut dua gubernurnya harus mendekam di balik jeruji besi yakni Syamsul Arifin dan Gatot Pujo Nugroho.

Syamsul Arifin pada akhirnya divonis enam tahun penjara atas kasus tindak pidana korupsi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten Langkat 2000-2007.

Wakilnya Gatot Pujo Nugroho yang kemudian terpilih sebagai Gubernur juga divonis empat tahun penjara atas kasus gratifikasi sebesar Rp61,8 miliar kepada pimpinan dan anggota DPRD Sumut periode 2009-2014 dan 2014-2019.

Demikian juga dengan Bengkulu, Gubernur Agusrin Najmudin divonis empat tahun penjara dalam kasus korupsi dana bagi hasil Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Perolehan Tanah dan Bangunan yang merugikan negara hingga Rp21,3 miliar.

Penerusnya Ridwan Mukti tertangkap tangan pula oleh KPK saat menerima suap dari kontraktor sehingga dihukum delapan tahun penjara.

Di Riau, Gubernur Rusli Zainal di tingkat pengadilan tindak pidana korupsi, majelis hakim mengganjar 14 tahun penjara atas dua kasu, yakni PON Riau dan korupsi kehutanan.

Selanjutnya, Gubernur Annas Maamun diganjar Hakim MA hukuman menjadi tujuh tahun penjara, dari sebelumnya enam tahun atas kasus korupsi alih fungsi lahan.

Yang terbaru di Jambi Gubernur Zumi Zola ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menerima suap Rp6 miliar bersama Pelaksana Tugas Kepala Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Jambi Arfan.

Agaknya meski KPK telah banyak menangkap kepala daerah maupun pejabat penting lainnya, tidak membuat sejumlah pihak jera dan tetap berani melakukan korupsi.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Kementerian Dalam Negeri selama masa pemerintahan Jokowi- JK setidaknya sudah 33 kepala daerah yang harus berurusan dengan KPK, dan sejak lembaga anti rasuah itu berdiri sudah 351 kepala daerah yang ditangkap.

Pengamat politik Universitas Andalas (Unand) Padang Dr Asrinaldi menenggarai mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan kandidat saat pilkada turut andil menyuburkan perilaku korupsi di kalangan kepala daerah ketika terpilih.

"Biaya yang harus dikeluarkan seorang calon ikut pilkada terlalu mahal, logikanya partai sudah bersusah payah mendapatkan kursi ketika pemilu, tentu mereka tidak mau memberikan cuma-cuma saja kepada calon kepala daerah sebagai tiket pencalonan," kata dia.

Menurut dia karena besarnya biaya yang harus dikeluarkan partai politik saat pemilu kemudian meminta ganti kepada calon kepala daerah telah memicu munculnya apa yang disebut dengan politik mahar.

Ia menilai salah satu upaya efektif menekan mahar politik ini adalah partai harus berani legowo memberikan kursi secara cuma-cuma kepada calon yang dianggap kompeten.

"Memang sudah ada partai yang mau memberikan kursinya secara cuma-cuma tetapi belum banyak," katanya.

Pada sisi lain perilaku koruptif juga muncul akibat para elit yang minim gagasan saat mencalonkan diri, sehingga satu-satunya yang bisa ditawarkan kepada masyarakat selaku pemilih hanya uang.

"Seharusnya kan calon itu menawarkan gagasan dan program, tapi karena tidak mampu uang akhirnya yang bicara," katanya.

Ia menilai karena fenomena ini kerap terjadi, akhirnya masyarakat pun terbiasa dengan politik uang sehingga saat ada calon kepala daerah yang datang mereka pun bukan menanyakan program tapi minta uang.

Artinya lagi-lagi partai politik harus memperbaiki hal ini dengan tidak terus menerus membiarkan hal itu terjadi dan mendidik masyarakat menjadi pemilih yang lebih rasional, katanya.

Area Rawan

Dalam sejumlah kesempatan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo kerap mengingatkan kepala daerah agar memahami area rawan korupsi untuk mencegah terjebak perilaku korup.

Tjahjo memaparkan area rawan korupsi meliputi belanja perjalanan dinas, penyusunan anggaran, penerimaan pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, jual beli jabatan dan belanja hibah dan bansos.

Menurutnya untuk mencegah kepala daerah terlibat korupsi sudah dirancang penganggaran secara elektronik, perencanaan elektronik hingga memperkuat pengawasan seperti inspektorat daerah.

"Tidak hanya itu KPK juga sudah melakukan supervisi ke daerah, BPK sudah turun, Saber Pungli juga ada, setelah kepala daerah terpilih juga dibekali di Kemendagri," katanya.

Ia mengatakan selama ini perilaku korupsi selalu melibatkan orang dalam serta orang luar yaitu pihak ketiga berupa pengusaha.

"Hampir semua dengan pihak ketiga masalah perizinan, fee yang harus bayar di depan, izin yang akhirnya jadi temuan," katanya.

Namun ia menegaskan jika sudah dilakukan berbagai antisipasi namun masih ada kepala daerah yang korupsi maka itu kembali kepada pribadi masing-masing.

Mantan Sekjen PDI Perjuangan tersebut menceritakan saat baru menjabat sebagai Mendagri ternyata ada pegawai Kementerian yang digerebek KPK karena menerima titipan dari pemerintah daerah saat mengurus surat-surat ke salah satu Dirjen.

"Yang namanya membawa oleh-oleh dari daerah tentu boleh, tapi rupanya di dalam kantong oleh-oleh itu ada amplop berisi uang dan bodohnya lagi di amplop tersebut ditulis untuk si A, B dan C dan KPK tahu semua itu, katanya.

"Bahkan katanya sampai ke tempat penginapan KPK tahu yang membuat ia penasaran dari mana semua itu KPK dapat informasi," katanya.

Setelah diusut rupanya sekda dari daerah itu sebelum ke Jakarta mengumpulkan sekitar lima dinas minta patungan untuk beli oleh-oleh, katanya.

"Rupanya ada SKPD yang kena Rp1 juta dan ada yang Rp10 juta, ternyata SKPD yang kena banyak itu tidak terima dan lapor ke KPK ada rombongan pemda mau memberikan suap ke Kemendagri, hotelnya ini, jumlah orang segini, yang mau dijumpai ini dan uangnya ditaroh dalam bungkus oleh-oleh," lanjut dia.

Budaya Patronase

Selain itu budaya patronase yang ada di tengah masyarakat menjadi salah satu penyubur praktik korupsi di Tanah Air.

"Ada masyarakat yang hidupnya serba terbatas dan mereka butuh pemimpin yang mengayomi, apapun akan dilakukan asalkan kebutuhan terpenuhi, ini yang disebut budaya patronase," kata Pengamat Politik Unand Dr Asrinaldi.

Menurutnya budaya patronase memberi ruang kepada elit melakukan tindakan korupsi setelah berkuasa dan hal ini diperparah oleh masyarakat yang membiarkan saja apa yang dilakukan penguasa .

Ia memaparkan budaya patronase dan klientelisme itu dilakukan dalam bentuk memberi perlindungan serta pemberian barang dan uang, hingga pemberian jabatan, gelar dan pangkat.

Tidak hanya itu hal ini juga menyebabkan hilangnya sikap kritis masyarakat terhadap perilaku elit yang menyalahgunakan kekuasaan, katanya.

Lalu perlu ditanamkan kesadaran kepada elit agar tidak memenuhi janji politik dalam bentuk uang atau barang melainkan program pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat.

Selanjutnya perlu dibangun partai politik modern dengan menghilangkan personalisasi kelembagaan agar budaya patronase bisa hilang.

Oleh sebab itu ia menyarankan perlu membangun hubungan politik yang lebih rasional dan tidak dominatif dengan meningkatkan pengetahuan politik masyarakat.

Pihak berwenang juga perlu memberi sanksi tegas kepada pelaku politik uang dalam pilkada,"ujarnya.

Selanjutnya perlu dibangun partai politik modern dengan menghilangkan personalisasi kelembagaan agar budaya patronase bisa hilang.