Padang - Pantai Muaro Lasak Kota Padang, Selasa sore menjelang matahari terbenam diupuk barat, ribuan mata melotot melihat ke beberapa kapal yang tengah menyisiri perairan pesisir pantai barat itu.
Satu di antara kapal yang ada agak beda, dan baru hanya kali itu melintasi di kawasan pantai Padang. Namun, mendapatkan sambutan hangat masyarakat di tanah tepi karena kapal niaga bangsawan mengarah ke pantai tersebut. Kapal bangsawan itu, ternyata milik Malin Kundang pulang dari perantauan.
Sore Selasa pada 6 Februari 2018 itu, di pantai muaro lasak Purus diramaikan pula dengan beragam kesenian pendukung dan dihadiri juga dikalangan pejabat dan elemen masyarakat menyaksikan.
Kegiatan itu adalah menyaksikan seni tari kolosal yang digagas sejumlah budayawan Minang dengan koreografer atau maestro tari Minang kelas internasional Eri Merfi mengangkat tema "Penyangek Siso Api- Si Malin Kundang" yang merupakan rangkaian peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2018.
Seakan kegiatan tersebut, menemukan jalan untuk menjawab stigma terhadap kisah legenda Malin Kundang..?. Stigma atau persepsi yang ada dibenak masyarakat selama ini Malin Kundang adalah "anak durhaka".
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno dalam sambutannya pada kegiatan itu, menyatakan dengan adanya tari kolosal yang digagas koreografer internasional Eri Merfi, menunjukan orang Minang bukan anak durhaka
Hadir dalam kesempatan itu para tamu HPN 2018, Forkopimda, tokoh Pers Nasional, Budayawan Sumatera Barat, beberapa kepala OPD dilingkungan Pemprov Sumbar serta masyarakat yang Kota Padang yang memadati Muaro Lasak.
Gubernur menyampaikan, kisah legenda Malin Kundang merupakan sesuatu kisah nasehat bagaimana seorang anak tidak boleh durhaka kepada orang tuanya --disini kepada ibunya--.
Malin Kundang sosok orang miskin dan merasa terhina di kampung halaman, pergi merantau mengadu nasib peruntungan di rantau orang.
Ada pepatah Minang "Karantau madang di hulu, Babuah ba bungo balun, Marantau bujang dahulu, Dirumah paguno balun". Si anak bujang yang dianggap belum berguna, disuruh merantau, mencari ilmu, harta dan pangkat.
Kelak kalau sudah di dapat barulah berguna, bersama doa dan kerelaan mandeh (ibunya) pergi merantau merobah nasib. Malin terusir merantau menghindari cercaan sebagai pinyangek siso api pergi merantau yanh jauh, ungkap Irwan Prayitno.
Gubernur mengatakan, ada sesuatu yang rasa tidak masuk akal dari cerita legenda ini, dimana orang minang itu jati dirinya bukan anak durhaka kepada ibunya.
Apakah benar orang minangkabau itu berprilaku durhaka? Muncul pertanyaan yang kadang mengelitik kita. Karena seperti yang diketahui orang minangkabau itu memakai garis keturunan ibu (matrilinial). Betapa orang minang itu amat menyanyangi ibunya.
Untuk itu kepada Dinas Kebudayaan agar melakukan kajian dan penelitian khusus ini dalam meretas nilai-nilai cerita malin kundang ini secara baik.
Apakah legenda Malin Kundang sebagai cerita nasehat bohong belaka untuk mendidik anak-anak kita tidak boleh durhaka pada ibunya. Tolong ini lebih kaji secara nilai-nilai budaya dan karakter masyarakat minang yang sebenarnya melalui para ahli sejarah dan kebudayaan, apa benar orang minangkabau itu durhaka kepada ibunya ?, pinta Gubernur Irwan Prayitno.
Gubernur juga menyatakan banyak cara orang membuat kisah-kisah legenda dan cerita unik agar membuat daerahnya menjadi magnet kunjungan wisatawan, walau cerita itu tidak benar. Orang minang membudayakan prilaku perantau bertujuan untuk membangkit batang tarandam.
Cerita seni yang indah dan menghanyutkan dapat meluruskan Malin Kundang bukam sosok yang durhaka melainkan sosok yang sangat menyayangi ibunya.
Tidak ada orang minang kabau yang durhaka. Mudah-mudahan tampilan tarian kolosal ini menjadi hiburan dan hikmah dalam menjadi pribadi masyarakat minangakabau yang baik, tegas Irwan Prayitno diantara sunset sore pantai Pandang.***