Perjuanganku memang sulit dalam mengusir penjajah, namun perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.- Bung Karno
Ucapan proklamator Indonesia ini bukan isapan jempol belaka. Lihatlah apa yang terjadi dengan Indonesia saat ini. Begitu mudahnya diadu domba, mengingatkan kembali pada masa devide et impera mulai berjaya di nusantara.
Ironi yang nyata di usia ke-72 semestinya Indonesia semakin jaya di mata dunia, namun sebaliknya seolah tiada berdaya. Masih banggakah kita menjadi Indonesia? Jawabnya bukan pada kartu tandak penduduk saja, bukan pula pada kibaran bendera di halaman rumah semata, tetapi jawaban ada di hati masing-masing warga negara Indonesia.
Sadarkah kita begitu mudahnya Indonesia dilemahkan saat ini, cukup benturkan dengan isu agama, hembuskan isu etnis, bangkitkan isu komunis, bakar sentimen kelas ekonomi, gusur komitmen Pancasila dan kebhinekaan, delegitimasi pemerintahan yang sah dan masukkan paham asing sebagai ideologi perjuangan.
Mengapa sepertinya kita tidak boleh berbeda lagi? Mengapa kita harus seragam? Bukankah Indonesia itu memang berwarna-warni? Indonesia itu kuat dan kaya karena keberagamannya, tapi itu dulu. Ketika lagu dari Sabang sampai Merauke masih dinyanyikan dengan semangat nasionalisme yang membara.
Sekarang apa dikata, keberagaman itu pula yang menjadi sumber petaka, karena dimanfaatkan oleh orang-orang miskin jiwa dan tergerus ideologi Pancasilanya. Bahkan ada yang tinggal di Indonesia, hidup di tanah Indonesia, minum dari air Indonesia dari lahir hingga beranak-pinak, tetapi hobinya mencaci-maki Indonesia.
Pernahkah mendengar fenomena echo chamber? Para pengamat media sosial sudah tidak asing dengan gejala ini. Echo chamber atau fenomena ruang gema adalah situasi dimana orang-orang berkomunikasi hanya dengan yang sepikiran. Mereka menolak pemikiran atau ide-ide lain yang tidak sejalan dengan pemikirannya.
Seperti saat kita berada di sebuah gua yang kemudian menggemakan suara kita. Kita hanya percaya dengan pantulan suara sendiri, ketika ada suara lain yang terdengar maka kita langsung menganggap bahwa itu adalah suara asing yang harus diwaspadai.
Demikian pula gema di media sosial, ketika facebook dan kawan-kawannya mengubah algoritmanya dengan memunculkan informasi yang sering diakses terlebih dahulu. Informasi ini didasarkan pada ketertarikan penggunanya. Misalkan kita suka mencari dan berbagi informasi tentang kuliner, maka yang muncul terlebih dahulu pada feed media sosial kita adalah informasi terkait kumpulan resep, festival jajanan, ajakan untuk bergabung dengan berbagai grup pecinta kuliner, dan sejenisnya.
Bayangkan jika kita berteman dengan akun hoax, lalu mengakses dan mengikuti informasi dari akun yang selalu memprovokasi tersebut, yang terjadi adalah kita akan terus digiring ke arah pemikiran radikal, propaganda dan indoktrinasi.
Mengutip hasil Studi Pew Research dan Rutgers University yang temuannya dirilis Agustus 2014 silam dari tulisan blogger Moerwanto Kris, mencatat bahwa kaum yang aspirasinya lebih minoritas, cenderung tak berani menyampaikan pendapatnya, secara apa adanya.
Yang merasa pendapatnya berbeda dari versi mainstream, cenderung memilih bungkam demi kenyamanan dirinya. Mereka khawatir, jika gara-gara pendapatnya yang berbeda tadi, ia harus menghadapi sikap perlawanan dan penentangan, kemudian dimusuhi atau dikucilkan bahkan jadi korban tindakan bullying.
Jauh sebelumnya Elizabeth Noelle_Neumann, seorang profesor emerita penelitian komunikasi dari Institute fur Publiziztik Jerman mengutarakan pemikiran senada melalui teori spiral of silence.
Secara ringkas teori ini ingin menjawab pertanyaan mengapa orang-orang dari kelompok minoritas sering merasa perlu untuk menyembunyikan pendapat dan pandangannya ketika berada dalam kelompok mayoritas (Nurudin, 2003: 171). Singkatnya, orang enggan mengutarakan pendapat pribadinya, jika pendapatnya tak sejalan dengan aspirasi yang dominan.
Jika begitu, apakah media sosial adalah salah satu pemicu keretakan bangsa? Ya, jika tidak digunakan secara bijak. Pada dasarnya setiap orang bebas berpendapat dan ini termaktub dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 3.
Kebebasan mengemukakan pendapat ini disamping menganut prinsip bebas, juga harus bertanggung jawab. Bebas artinya bahwa segala ide, pikiran atau pendapat kita tanpa tekanan dari siapa pun, sedangkan bertanggung jawab maksudnya bahwa ide, pikiran atau pendapat tersebut mesti dilandasi akal sehat, niat baik dan norma-norma yang berlaku.
Apa yang terjadi sekarang justru berbeda. Ada yang tidak bertegur sapa karena berbeda pendapat, bahkan putus hubungan pertemanan. Banyak teman yang sudah jadi lawan dan saudara yang jadi musuh, karena tidak berjiwa besar melihat perbedaan yang berujung pada debat kusir dan saling sindir.
Mungkin sudah saatnya diet medsos kita lakukan. Tepatnya diet mengkonsumsi berita sampah. Paling tidak dengan membiasakan untuk melakukan self-censorship atau penyensoran sendiri. Penyensoran sendiri adalah tindakan untuk menyensor atau mengklasifikasikan isi blog, buku, film, atau bentuk media milik seseorang (Wikipedia). Hal ini tidak sebatas menyensor konten secara keseluruhan, tetapi juga menyensor pertemanan dan setiap aktivitas di media sosial.
Siapa sangka dengan memberikan satu klik berupa like atau share itu dapat menggiring kita kepada konten yang membahayakan keutuhan bangsa. Karenanya, jangan asal like. Sedangkan untuk dapat keluar dari echo chamber tadi, kita dapat mengikuti status pro dan kontra terhadap sebuah postingan. Selagi ada argumen yang menyertainya, kita pun dapat belajar banyak dengan membandingkan pendapat orang-orang terhadap sebuah isu.
Ingatlah bahwa kita satu, kita Indonesia. Jika kita bangga menjadi Indonesia, berhentilah saling hujat dengan saudara sebangsa. Jangan jadikan beda pendapat, beda pilihan, dan beda pemikiran sebagai alat untuk saling mencaci-maki, tetapi mulailah mencari solusi untuk negeri yang lebih baik. Kembalikanlah jati diri dimana kita berbudaya tinggi, saling menghargai dan menghormati. Kibarkanlah merah putih di hati dan bawalah rasa cinta kepada ibu pertiwi kemana pergi. ***
*Penulis adalah Mahasiswi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Andalas Padang